Pendapat Keliru Tentang Perkawinan Berdasarkan Adat Batak Toba "Dalihan Na Tolu"
Oleh: Hasudungan Hutasoit
Prinsip yang paling mudah diketahui dalam perkawinan sesuai adat Batak Toba ialah bahwa perkawinan harus eksogami marga yaitu perkawinan tidak bisa dilakukan dalam satu marga.Â
Seseorang hanya diperbolehkan menikah dengan seseorang dari marga yang lain. Tapi persyaratan itu masih persyaratan dasar. Selain itu masih aturan-aturan lain yang didasarkan pada suatu sistem bermasyarakat.Â
Sistem tersebut dinamakan "Dalihan Na Tolu", Â yang terjemahan bebasnya adalah "Tungku Nan Tiga", sebuah sistem bermasyarakat yang digambarkan sebagai tungku berkaki tiga. Tiga pilar yang menopang tatanan hidup bermasyarakat dalam adat Batak Toba.
Salah satu aspek yang terkait dengan Dalihan Na Tolu adalah perkawinan. Untuk memberi gambaran, saya memaparkan sedikit tentang Dalihan Na Tolu. Uraian dari Dalihan Na Tolu ialah: manat mardongan tubu (sikap hati-hati, tidak jumawa terhadap sesama satu klan marga), elek marboru (selalu penuh kasih dan sabar kepada pihak putri -- marga yang mengambil istri dari marga kita), dan somba marhulahula (hormat kepada marga tempat mengambil istri, ibu, nenek).
Dalam kerangka Dalihan Na Tolu ini dikenal juga satu prinsip "sisada anak, sisada boru" (anak bersama, putri bersama). Dalam kekerabatan satu klan marga Batak Toba tidak dikenal namanya keponakan dan paman.Â
Oleh karena itu anak dari saudara semarga adalah anak kita (baik putra maupun putri). Dari prinsip ini, maka setiap satu klan menjadi satu posisi dalam sistem Dalihan Na Tolu.
 Jika seseorang disebut "ego", maka ego akan terkait dengan tiga posisi tadi: dongan tubu, boru, dan hulahula. Boru dari ego merupakan boru dari dongan tubunya, demikian juga hulahula dari ego menjadi hulahula dari dongan tubunya.
Seringkali berdasarkan prinsip "sisada anak, sisada boru" itu, beberapa penulis telah menyimpulkan bahwa Dalihan Na Tolu menjadi berbasis marga (dongan tubu). Seperti telah saya sebutkan di atas, hulahula dari satu ego menjadi hulahula dari dongan tubu (teman semarga), demikian halnya boru-nya (marga yang menikahi putrinya atau saudarinya) juga menjadi boru dari dongan tubu-nya.
Lalu apa hubungannya dengan sistem perkawinan eksogami marga tadi? Perkawinan Batak Toba juga menganut prinsip perkawinan yang searah (konnubium yang asimetris), yang berarti dari pihak hulahula, kelompok ego (dan dongan tubu-nya, semarganya) tidak boleh mengambil menantu laki-laki.Â
Dari pihak boru, kelompok ego (dan dongan tubu-nya) tidak boleh mengambil menantu perempuan. Jika hal itu dilanggar, maka perkawinan menjadi tidak searah. Perkawinan tidak searah tadi mengacaukan tatanan Dalihan Na Tolu, karena boru bisa menjadi hulahula dan sebaliknya. Secara teoritis dapat disimpulkan seperti itu.
Biasanya silsilah marga Batak Toba itu dapat menunjukkan nomor generasinya (seperti penulis adalah nomor 18 dalam marga Hutasoit). Ini sudah sangat jauh dari generasi kakek moyang saya. Kadang dalam beberapa nomor generasi, kita sudah tidak tahu kakek kita menikah atau mengambil istri dari marga mana.Â
Seharusnya menurut prinsip Dalihan Na Tolu, marga nenek saya pada generasi 1 atau 2 dan seterusnya adalah hulahula saya, dengan demikian marga itu tidak bisa mengambil menantu perempuan dari marga kami. Karena jika itu terjadi maka marga itu menjadi boru dari marga kami.
Satu marga yang merupakan satuan kekerabatan sangat banyak warganya, dan seorang yang menjadi partisipan dalam marga sudah berada 20 generasi atau lebih. Tidak mungkin setiap orang dari satu marga dapat saling kenal. Tidak mungkin juga melakukan konfirmasi terhadap setiap partisipan dalam satu marga.
Gambaran seperti itu yang membuat prinsip "sisada anak, sisada boru" dalam lingkup marga tidak mungkin diterapkan lagi. Dengan demikian, Dalihan Na Tolu juga tidak mungkin diterapkan dalam berbasis marga.Â
Dalihan Na Tolu hanya bisa diterapkan dalam lingkup marga yang lebih kecil (cabang atau ranting), yang disebut saompu yakni mereka yang berada dalam satu klan keturunan yang memiliki satu kakek bersama dan nyata-nyata masih melakukan upacara kekerabatan secara bersama-sama.
***
Karena penulis bukan praktisi adat, penulis terbuka terhadap koreksi, kritik, dan masukan atas pendapat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H