Dari pihak boru, kelompok ego (dan dongan tubu-nya) tidak boleh mengambil menantu perempuan. Jika hal itu dilanggar, maka perkawinan menjadi tidak searah. Perkawinan tidak searah tadi mengacaukan tatanan Dalihan Na Tolu, karena boru bisa menjadi hulahula dan sebaliknya. Secara teoritis dapat disimpulkan seperti itu.
Biasanya silsilah marga Batak Toba itu dapat menunjukkan nomor generasinya (seperti penulis adalah nomor 18 dalam marga Hutasoit). Ini sudah sangat jauh dari generasi kakek moyang saya. Kadang dalam beberapa nomor generasi, kita sudah tidak tahu kakek kita menikah atau mengambil istri dari marga mana.Â
Seharusnya menurut prinsip Dalihan Na Tolu, marga nenek saya pada generasi 1 atau 2 dan seterusnya adalah hulahula saya, dengan demikian marga itu tidak bisa mengambil menantu perempuan dari marga kami. Karena jika itu terjadi maka marga itu menjadi boru dari marga kami.
Satu marga yang merupakan satuan kekerabatan sangat banyak warganya, dan seorang yang menjadi partisipan dalam marga sudah berada 20 generasi atau lebih. Tidak mungkin setiap orang dari satu marga dapat saling kenal. Tidak mungkin juga melakukan konfirmasi terhadap setiap partisipan dalam satu marga.
Gambaran seperti itu yang membuat prinsip "sisada anak, sisada boru" dalam lingkup marga tidak mungkin diterapkan lagi. Dengan demikian, Dalihan Na Tolu juga tidak mungkin diterapkan dalam berbasis marga.Â
Dalihan Na Tolu hanya bisa diterapkan dalam lingkup marga yang lebih kecil (cabang atau ranting), yang disebut saompu yakni mereka yang berada dalam satu klan keturunan yang memiliki satu kakek bersama dan nyata-nyata masih melakukan upacara kekerabatan secara bersama-sama.
***
Karena penulis bukan praktisi adat, penulis terbuka terhadap koreksi, kritik, dan masukan atas pendapat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H