Terkadang menjadi mahasiswi arsitektur membuat saya seperti terkena OCD dan kritis cendrung nyinyir.
Itu terasa tiap saya memasuki ruang. Bukan ruangan saya. Ruangan orang lain. Kurang ajar, bukan? Salah satunya di rumah om saya yang menjadi tempat kumpul keluarga.
Keluarga saya sering sekali kumpul. Entah dalam rangka apapun itu. Ada makanan atau tidak sama sekali, asalkan dari yang kecil sampai yang tua hadir sekedar untuk haha-hihi dan sharing cerita.
Tempat kumpulnya selalu di rumah om saya, laki-laki tertua dari tujuh anak nenek saya.
Rumahnya besar, cukup untuk menampung lima penghuni utama, satu asisten rumah tangga, tiga buah mobil, dan tentunya cukup untuk kumpul keluarga besar.
Kami biasanya berkumpul di ruang tengah bersama sepupu-sepupu dan tante-tante saya. Di sana berbincang apapun, bercanda dengan sepupu, menertawakan slapstick jokes keluarga saya (ya, di keluarga saya sangat lumrah dengan jokes ini), atau karaoke lagu-lagu Rosa hingga tembang melayu.
Di tengah kegiatan itu, saya memperhatikan ruang tengah tersebut.
Ruangan itu dibatasi oleh dinding warna putih dengan sedikit ornamen geometris pada bingkai-bingkai lubang cahaya dan tepi anak tangga. Railing tangga berwarna hitam tanpa banyak besi yang dilengkung menyerupai daun, hanya elemen garis-garis sebagai pembatas. Ada TV plasma besar yang melengkung dan cocok untuk penyuka film atau penikmat pertandingan sepak bola (tapi di keluarga saya lebih sering dipakai untuk karaoke). Ada juga piano hitam, sofa three seats berbahan kulit (ada dua buah), dapur bersih untuk piring-piring dan makanan, meja tipe coffee table dengan tumpukan katalog IKEA dan majalah interior juga Tempo di bawahnya, serta chandelier yang menggantung pada langit-langit yang tinggi menjulang. Dalam uraian di atas, ruangan tersebut saya dapat katakan nyaman secara penerangan dan fasilitas untuk berkumpul.
Namun, ada yang selalu menarik perhatian saya---Kipas. Tiga buah kipas yang berdiri di dekat dinding dan mengarah pada sofa. Ya, tanpa tiga benda ini, ruangan akan terasa panas sekali. Bayangkan, kami berkumpul tiap minggu dan tiga benda ini terus menyala ditiap minggunya.
Saat itu saya mulai menuding tumpukan katalog IKEA dan majalah interior di bawah meja. Menurut saya ini (terkadang) patut disalahkan untuk mendorong pembacanya mengelu-elukan minimalis pada rumah tanpa memikirkan terlebih dahulu 'modal minimal' yang perlu diterapkan pada rumah. Majalah seperti ini (terkadang) mendorong tampilan sebagai pertimbangan kenyamanan dibandingkan pertimbangan kenyamanan secara visual, thermal, audio dan kenyamanan lain yang mempengaruhi fungsi atau kegiatan pengguna.
Untungnya, beberapa majalah interior dan arsitektur sekarang sudah banyak membahas dari segi tropis. Ini penting, karena kondisi iklim di Indonesia termasuk iklim tropis di mana hanya ada dua musim (kemarau dan hujan), intensitas hujan tinggi, serta suhu panas dan terkadang lembab.
Ketika mendengar kata tropis biasanya orang langsung melayangkan pikiran pada pohon kelapa, pohon palem, pantai, bunga-bunga, bambu, atau hal lain yang menggambarkan alamiah.
Padahal, tidak selalu begitu. Tidak selalu rumah dengan nuansa tropis dipenuhi dengan tanaman-tanaman atau hal-hal yang membuat pikiran tertuju pada tema lagu-lagu Beach Boys.
Nuansa tropis dapat diartikan dengan adanya penanggapan ruang pada rumah pada iklim tropis. Misal, membuat jendela besar pada ruangan agar banyak angin sejuk yang masuk ke dalam.
Beberapa rumah teman dan keluarga yang saya kunjungi sudah menerapkan ini termasuk di rumah om saya yang meletakan pintu geser besar sebagai pengganti jendela pada ruang tengahnya. Namun, kenapa masih panas?
Sebelum membagi sedikit apa yang saya pelajari, ada baiknya memaparkan dulu beberapa pernyataan dan pertanyaan yang berkaitan dengan rumah tropis dan rumah minimalis yang mungkin pernah terpikir oleh pembaca juga.
Langit-langit rumah yang tinggi bikin rumah sejuk.
Lubang angin sudah cukup membuat ruangan sejuk.
Kenapa saya masih harus pakai AC? Padahal sudah ada jendela di kamar saya.
Rumah saya atapnya datar karena mau bergaya minimalis. Atap miring sudah kuno.
Saya tidak mau ada lubang angin karena mengganggu tampilan rumah saya. Jendela sudah cukup.
Rumah saya kecil dan berhimpit tetangga. Bagaimana cara menerapkan pertukaran udara?
Jujur, pernyataan dan pernyataan itu membuat saya berpikir "ah, wajar. Orang-orang ini memang gak tau makanya rumahnya begitu." Tapi ada juga yang 'ikut-ikutan kritis' dengan berpura-pura nyaman pada rumahnya karena sudah terlanjur 'didandani cantik' sampai tuntas.
Berikut saya jawab per nomor sesuai apa yang pernah saya pelajari selama di kelas dan studio perancangan.
Ingat, kita hidup di iklim tropis, maka rumah pun memerlukan cross ventilation (sirkulasi udara silang). Apa itu? Sirkulasi udara silang adalah udara dingin yang mengalir dari luar masuk ke dalam ruangan lalu keluar lagi membaca udara panas. Udara panas sendiri dihasilkan dari udara yang dikeluarkan pada suhu tubuh manusia, TV, radio, kompor, atau material lain yang memungkinkan mengeluarkan suhu panas. Suhu panas tersebut kemudian dibawa oleh udara dingin yang masuk ke ruangan. Maka dari itu diperlukan bukaan yang bersebrangan, bisa dengan jendela atau lubang angin atau bahkan pintu. Akan lebih baik bila bukaan tersebut selalu mengalirkan udara tanpa perlu repot buka-tutup. Jadi, apakah langit-langit tinggi membuat sejuk? Bisa, asalkan tetap ada cross ventilation. Perlu diingat pula, sifat udara panas mengalir ke atas (seperti uap yang keluar dari segelas kopi yang masih panas), sehingga langit-langit tinggi namun tidak memilikicross ventilation hanya membuat udara panas berkumpul di langit-langit.
Lubang angin sudah membuat ruangan sejuk? Tergantung perletakannya. Apakah sudah bersebrangan dan membuat sirkulasi udara silang? Besarnya apakah sudah cukup membuat banyak angin masuk dan keluar? Besarnya apakah sudah cukup membuat ruangan sejuk sesuai kebutuhan? Jangan sampai lubang angin pada ruang tengah besarannya seperti besar lubang angin di kamar.
Kenapa masih harus pakai AC? Coba dilihat lagi, apakah sudah ada sirkulasi udara silang pada ruangan? Apakah besaran lubang angin atau jendela sudah mencukupi? Apakah lubang angin di ruangan sudah memadai? Jika belum, maka itu bisa jadi penyebab ruangan tetap menggunakan pendingin ruangan.
Siapa bilang atap miring kuno? Curah hujan yang tinggi karena iklim tropis di Indonesia membuat atap miring meminimalisir resiko kebocoran, resiko runtuhnya atap karena beban dari air hujan. Atap miring membuat air hujan cepat mengalir dan mengurangi resiko-resiko tersebut. Kuno atau tidak, itu tergantung bagaimana bentuk rancangannya.
Atap datar pun bukan berarti minimalis dan bukan berarti rentan akan kebocoran. Kebocoran pada atap datar memang cukup riskan namun itu tergantung pada mutu beton yang dipakai, cara pemasangan, derajat kemiringan dak beton, serta jumlah pipa dan rancangan talang.
Lubang angin mengganggu tampilan rumah? Tidak selalu, itu tergantung bagaimana penanggulangannya. Namun, jika memang lubang angin tidak dikehendaki, maka bisa diselesaikan dengan rancangan jendela atau pintu yang bisa membuat udara masuk terus menerus. Misal, jendela yang hanya terdiri dari teralis atau kawat atau pintu tipe double door yang terdiri dari pintu kayu solid dan pintu kawat nyamuk.
Rumah yang berhimpit dengan tetangga bukan berarti menjadi batas untuk membuat udara masuk dan keluar. Sama seperti rumah saya, rumah bisa diselesaikan dengan adanya horizontal vent (lubang angin mendatar) sebagai lubang keluar udara panas. Sementara untuk udara masuknya bisa menggunakan lubang angin biasa. Perlu diingat lagi, sifat udara panas keluar dengan cara naik ke permukaan, sehingga horizontal vent seperti ini dapat membantu adanya cross ventilation.
==thanks. feel free to comment.
dudukbungkuk
--11:23
Dipati Ukur
unknown song
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H