Saat kita mengamati aktivitas sepasang burung dara yang sangat familiar di keseharian kita, akan banyak terlihat sisi positif dari perilaku burung tersebut.
Mulai dari setia kepada pasangan yang ditunjukkan dengan monogami, saling bekerja sama membuat sarang telur, bekerja sama mengerami telur dan saat menetas keduanya bekerja sama saling menyuapi anaknya.
Tak ada kata terpaksa bagi sang jantan untuk membantu betinanya karena instingnya memang demikian.
Sang jantan siap menjaga sarang dari gangguan eksternal, sanggup mencarikan makan untuk anak-anak dan kewajiban-kewajiban lainnya layaknya seorang pelindung.
Ini yang terjadi dari fenomena burung dara, burung jinak yang selalu ada di sekitar kita.
Ada pelajaran yang sangat berharga bagi manusia meniru hal positif dari perilaku burung dara.
Mengapa tidak semua suami berperilaku layaknya burung dara jantan. Dia harus menjadi pelindung, pencari nafkah sekaligus pendidik bukan sebaliknya.
Manusia diberi akal dengan demikian manusia harus lebih paham lagi apa yang layak dilakukannya.
Akal manusia membimbing dia untuk berbuat sesuatu apakah baik atau buruk. Saling pengertian dan saling memahami fungsi sekaligus tugas masing-masing dalam mengurus rumah tangga.
Layak ditiru dari perilaku burung dara, tidak terpaksa untuk berbuat satu kebaikan demi keluarga dan bekerja dengan sepenuh hati.
Apalagi jika kita meneladani baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam. meski pangkat beliau seorang nabi, panglima tertinggi kaum muslimin dan imam umat, namun saat ada hal-hal pribadi beliau menyempatkan membantu istri-istrinya seperti menjahit baju sendiri, membersihkan rumah dan lain-lain.
Sudah barang tentu nabi adalah teladan umat kepada siapa lagi kita berteladan kalau bukan padanya.
Ketimpangan akan terjadi bila salah satu pasangan tidak memahami fungsi kebersamaan padahal berumah tangga itu artinya saling melengkapi.
Al-Quran menyatakan bahwa suami-istri laksana pakaian. Artinya saling melengkapi, saling menutupi kekurangan tidak bisa seorang suami menampakan keegoisannya karena menganggap diri sebagai kepala keluarga. Begitu pun istri tidak bisa bermanja-manja hanya karena seorang Istri yang notabene harus dimanjakan, ada saatnya istri mengabdi kepada suami ada saatnya suami harus mandiri. Begitu sebaliknya ada saatnya suami memanjakan istri ada juga saatnya istri harus bertindak mandiri.
Saling memahami dan saling pengertian, ini menjadi penanda romantisnya sebuah rumah tangga. Tidak ada kekanak-kanakan dalam berumah tangga karena ia awal dari kedewasaan segalanya.
Namun perlu diingat bahwa berumahtangga, tidak ada sekolahnya. Jadi setiap hari adalah belajar dan belajar.
Sesekali keributan dalam rumah tangga wajar seolah bumbu dalam sayuran, tak akan ada rasa jika tidak ada garam. Anggap saja keributan merupakan garam dalam rumah tangga. Seperti juga sendok dan garpu suatu saat mesti beradu dalam piring yang sama.
Itulah kehidupan berumahtangga sebagaimana perilaku burung dara, hal yang baik yang mesti diikuti oleh pelaku rumah tangga yakni suami-istri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H