Apalagi jika kita meneladani baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam. meski pangkat beliau seorang nabi, panglima tertinggi kaum muslimin dan imam umat, namun saat ada hal-hal pribadi beliau menyempatkan membantu istri-istrinya seperti menjahit baju sendiri, membersihkan rumah dan lain-lain.
Sudah barang tentu nabi adalah teladan umat kepada siapa lagi kita berteladan kalau bukan padanya.
Ketimpangan akan terjadi bila salah satu pasangan tidak memahami fungsi kebersamaan padahal berumah tangga itu artinya saling melengkapi.
Al-Quran menyatakan bahwa suami-istri laksana pakaian. Artinya saling melengkapi, saling menutupi kekurangan tidak bisa seorang suami menampakan keegoisannya karena menganggap diri sebagai kepala keluarga. Begitu pun istri tidak bisa bermanja-manja hanya karena seorang Istri yang notabene harus dimanjakan, ada saatnya istri mengabdi kepada suami ada saatnya suami harus mandiri. Begitu sebaliknya ada saatnya suami memanjakan istri ada juga saatnya istri harus bertindak mandiri.
Saling memahami dan saling pengertian, ini menjadi penanda romantisnya sebuah rumah tangga. Tidak ada kekanak-kanakan dalam berumah tangga karena ia awal dari kedewasaan segalanya.
Namun perlu diingat bahwa berumahtangga, tidak ada sekolahnya. Jadi setiap hari adalah belajar dan belajar.
Sesekali keributan dalam rumah tangga wajar seolah bumbu dalam sayuran, tak akan ada rasa jika tidak ada garam. Anggap saja keributan merupakan garam dalam rumah tangga. Seperti juga sendok dan garpu suatu saat mesti beradu dalam piring yang sama.
Itulah kehidupan berumahtangga sebagaimana perilaku burung dara, hal yang baik yang mesti diikuti oleh pelaku rumah tangga yakni suami-istri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H