Mohon tunggu...
Dudi safari
Dudi safari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Literasi

Aktif di Organisasi Kepemudaan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lepas dari Mulut Harimau Masuk ke Mulut Buaya

9 Mei 2023   13:30 Diperbarui: 9 Mei 2023   13:57 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Eskalasi politik nasional semakin tinggi. Di tahun politik ini para pendukung mulai berebut simpati rakyat.

Cara atau metode berkampanye pun bermacam-macam, sosial media menjadi alat yang paling populer digunakan untuk meraih dukungan.

Namun tak sedikit para influencer memakai medsos sebagai alat propaganda black campaign, semakin lama rasanya semakin biasa saja.

Saling tuduh para hater terhadap lawan politiknya seakan menjadi lumrah. Adat ketimuran seperti terkoyak hanya untuk memenangkan hasrat sesaat.

Tidak usah berbicara masalah agama apakah perilaku itu dibenarkan atau tidak, sebab agama mana pun dengan terang melarang umatnya untuk saling membenci.

Para hater dengan memakai akun anonim dan diikuti ribuan follower terus "menghasut" jamaah medsos.

UU ITE seakan tidak berlaku lagi saking begitu banyaknya status-status yang saling hujat dan saling mencaci.

Terkecuali kasus besar seperti yang telah lalu, tentang ancaman yang disebar oleh oknum BRIN terhadap warga Muhammadiyah.

Baca juga: Harga Diri

Para influencer dari pihak-pihak yang ingin jagoannya menang terus berkampanye saling mengekspos kejelekan lawan, padahal sejatinya semakin kejelekan lawan diekspos keterkenalan dia makin melekat di pikiran warga. Entah sadar atau tidak mereka telah mengiklankan lawan politiknya secara gratis.

Debat gagasan/ide harusnya dikedepankan dari hanya sekadar mengekspos kejelekan lawan. Mengumbar kejelekan lawan salah satu bukti nyata jagoannya tak mempunyai prestasi apa pun selain mengambil keuntungan dari kejelekan lawan.

Sayangnya perilaku-perilaku kurang terpuji ini dilakukan oleh mereka yang merasa menjadi publik figur, banyak pengikut. Dari kubu mana pun perilaku yang mengedepankan nir prestasi hanyalah tempat bersembunyi di balik topeng ketidakmampuan berprestasi.

Demokrasi Sakit di Negeri Berkembang

Cerminan itu menandakan sakitnya sebuah upaya berdemokrasi, unsur penyerta dalam demokrasi adalah saling menghargai perbedaan pendapat. Bahkan perbedaan tajam pun dianggap sebagai sesuatu dinamika di negeri demokrasi.

Setiap kali berganti rezim, pro dan oposan itu pasti tetap ada, tapi harusnya dalam lingkaran positif.

Apakah negara berkembang ditandai juga dengan sistem politik yang belum cerdas juga. Saling serang kelemahan personal, bukan menyangkal program.

Berikut adalah beberapa ciri-ciri demokrasi yang sakit atau mengalami masalah:

1.Kekuasaan terpusat: Demokrasi sakit ketika kekuasaan terpusat pada beberapa individu atau kelompok tertentu, dan bukan pada rakyat secara keseluruhan.

2.Korupsi: Korupsi adalah tanda-tanda umum dari demokrasi yang sakit. Korupsi menghasilkan keputusan yang tidak adil dan tidak menguntungkan bagi masyarakat.

3.Ketidaksetaraan: Jika kesenjangan antara orang kaya dan miskin semakin melebar, maka ini menunjukkan bahwa demokrasi mengalami masalah. Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi dapat mempengaruhi partisipasi politik dan membatasi akses ke sumber daya.

4.Tidak adanya kebebasan berbicara: Demokrasi yang sakit sering kali memiliki hambatan pada kebebasan berbicara, pers, dan media. Ini berarti bahwa suara rakyat tidak didengar dan informasi yang diperoleh oleh masyarakat tidak dapat diverifikasi.

5.Pengambilan keputusan yang tidak transparan: Jika pengambilan keputusan dalam pemerintahan tidak transparan, maka ini menunjukkan bahwa demokrasi tidak berjalan dengan baik. Rakyat tidak memiliki akses ke informasi yang memadai dan tidak dapat memengaruhi kebijakan publik.

6.Politik identitas yang memecah belah: Demokrasi yang sakit seringkali menciptakan kubu-kubu politik yang saling memecah belah berdasarkan identitas suku, agama, atau etnis. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakstabilan politik dan sosial.

7.Lemahnya institusi demokrasi: Jika lembaga-lembaga demokrasi seperti lembaga pemilihan umum, parlemen, dan pengadilan tidak berfungsi dengan baik atau dipolitisasi, maka ini dapat menunjukkan bahwa demokrasi mengalami masalah.

Demokrasi yang sehat harus mampu mengakomodasi perbedaan pendapat dan kepentingan masyarakat, memberikan kebebasan yang cukup untuk berekspresi dan terbuka terhadap kritik, serta memastikan partisipasi yang luas dari seluruh lapisan masyarakat.

Era Pergantian Kekuasaan

Berharap dengan bergantinya penguasa, kesejahteraan rakyat makin meningkat, perbenturan antar suku, ras dan agama makin berkurang.

Jangan sampai terjadi seperti sebuah pepatah, "Lepas dari mulut harimau masuk ke dalam mulut buaya." Artinya saat berganti penguasa keadaan sosial-ekonomi rakyat tidak berubah malah makin merosot.

Ketidakstabilan politik gegara pemilu masih berefek. Pembelahan warga terus dilakukan oleh para influencer tidak pernah berhenti atau dihentikan.

Peribahasa itu juga bermakna lepas dari masalah yang berat masuk ke masalah yang lebih berat lagi, tidak ada baiknya.

Jika kita harus memilih tipe pemimpin seperti Harimau atau Buaya, maka janganlah kita terlalu condong atau antusias mendukungnya. Sewajarnya saja, tidak perlu pragmatis nanti kita dijadikan budaknya atau terlalu radikal nanti kita diterkamnya. Realistis saja kita harus memiliki daya tawar sendiri agar calon pemimpin bertipe tersebut tidak semena-mena dalam bertindak.

Di ruang lingkup apa pun saat kita memilih seorang pemimpin, entah itu pemimpin skala lokal atau daerah, ataupun pemimpin dalam suatu organisasi, sikap realistis inilah yang harus kita pakai.

Realistis menjadi daya tawar tersendiri bagi calon pemimpin untuk mendapat dukungan dari kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun