Ketika kita mencoba menganalisa kehidupan rumah tangga, seringkali muncul pertanyaan-pertanyaan apakah ketika menghadapi persoalan dalam rumah tangga itu kita harus memakai rasa atau memakai akal (rasio)?
Ada yang berpendapat ketika terjadi keributan dalam rumah tangga, kebanyakan orang memakai solusi rasa atau feel maka terkadang solusi rasa itu bahkan malah menjadi api dalam sekam.
Saat seorang suami atau istri dalam menghadapi ketersinggungan terhadap pasangannya karena rasa cinta mereka atau karena tidak mau berkepanjangan di dalam mempersalahkan sebuah masalah akhirnya mereka memendam merasa yang harusnya mereka putuskan segera. Mereka memakai rasa bahwa dengan rasa itulah ternyata solusinya.
Bagi sebagian orang saat menghadapi persoalan dalam rumah tangganya cenderung memakai pendekatan logika. Seperti ketika menghadapi sesuatu yang harus dipecahkan dalam sebuah rumah tangga apakah harus bercerai atau tidak maka ada sebagian pelaku rumah tangga memutuskannya dengan hitung-hitungan rasio. Jika bercerai akan begini dan jika tidak bercerai akan begini.
Seringkali hitung-hitungan rasio pun gagal dalam memenuhi solusi berumah tangga. Pertanyaannya apa yang mesti dipakai ketika menghadapi permasalahan dalam rumah tangga, apakah harus memakai rasa atau memakai akal (logika)?
Tentu ada beberapa hal yang bisa disikapi dengan rasa, juga ada beberapa hal yang mesti disikapi dengan logika.
Kapan kita harus menempatkan solusi memakai rasa (perasaan)?
Ketika kita menghadapi persoalan rumah tangga yang berkaitan dengan psikis maka solusi yang harus kita pakai adalah solusi yang berkaitan dengan psikis yaitu perasaan, berbicara dari hati ke hati merupakan salah satu solusi untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan psikis dan ini termasuk dalam kategori pemecahan masalah melalui pendekatan rasa.
Contohnya dalam hal ini adalah saat seorang suami menghendaki hubungan biologis, sementara sang istri sedang tidak ada mood atau bahkan dalam keadaan haid maka sang suami harus peka perasaannya dan tidak egois memaksakan kehendaknya sendiri sehingga sang istri merasa terintimidasi dengan perlakuan suaminya. Padahal, permasalahan itu bisa dikomunikasikan baik-baik dengan pendekatan rasa.
Atau ketika ibu mertua kita atau bapak mertua kita bersikap tidak mengenakkan kita, maka kita harus memakai rasa bagaimana agar rumah tangga tetap terbina tanpa terganggu dengan kerikil-kerikil dari orang lain atau sering dikatakan pihak ketiga itu.