Imbas dari situlah yakni kekurangan ekonomi keluarga menyebabkan ketidaksabaran para istri menuntut kepada suaminya, ini terlihat dari lonjakan permintaan cerai dari pihak istri ke suami di kota-kota di atas.
Nampaknya ini salah satu fenomena terburuk daripada efek pandemi covid.
Di samping merenggut nyawa manusia juga merenggut nyawa sebuah rumah tangga. Sebuah harga yang sangat mahal untuk ditebus.
Kenapa sebagian wanita itu tidak bersabar dalam menjalani proses keluar dari Pandemi ini atau mungkin bukan hanya karena itu saja yakni karena kekurangan pemasukan ekonomi keluarga yang menjadi pemicu keributan yang berujung perceraian.
Mungkin ada satu hal yang mengganjal semacam perbedaan prinsip atau perbedaan cara pandang dalam menjalankan sebuah rumah tangga, akhirnya bahtera rumah tangga yang diikat dengan janji setia karam di samudra pandemi covid.
Fenomena permintaan cerai dari para istri benar-benar sangat menggetarkan hati, bagaimana tidak setiap hari ada banyak antrian para istri mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya layaknya antrian saat pembagian sembako atau pembelian tiket dan semacamnya benar-benar pemandangan yang sangat memilukan.
Faktor Pendorong
Ada beberapa faktor pendorong atau penyebab yang memicu terjadinya tuntutan perceraian dari para istri ini, yang sudah jelas adalah tuntutan ekonomi.
Pertama, faktor ekonomi. Tuntutan ekonomi ini memang sangat memukul semua keluarga, bahan-bahan makanan menjadi sangat terbatas karena interaksinya juga dibatasi.
Akibat adanya pandemi covid banyak para suami di PHK, sudah barang tentu menimbulkan terhentinya sumber pendapatan pokok artinya mereka sama sekali tidak mendapatkan penghasilan setelah terjadi pandemi.
Kedua, faktor pendidikan. Faktor pendidikan ini sangat memengaruhi seseorang dalam mengolah wataknya, terutama pendidikan karakternya. Latar belakang pendidikan yang rendah cenderung mengambil jalan pintas dalam setiap problem yang mereka hadapi.