Mohon tunggu...
Dudi safari
Dudi safari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Literasi

Aktif di Organisasi Kepemudaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesejahteraan Ekonomi sebagai Penopang Kebahagiaan Keluarga

11 September 2022   09:20 Diperbarui: 11 September 2022   18:48 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pertanyaan pertama yang terlintas saat ditanya keluarga akan bahagia ketika ekonomi keluarga telah sejahtera, benarkah?

Nampaknya tidak sepenuhnya benar dan juga tidak sepenuhnya salah.

Mengapa demikian karena sifat harta yang ditandai dengan kemapanan ekonomi itu bersifat relatif artinya bergantung kepada orangnya.

Contoh real ada sebuah keluarga di pedesaan berjumlah 7 orang anggota keluarga. Ayahnya bekerja serabutan jika ada yang memakai jasanya dia baru dapat pekerjaan seperti menyangkul, menyabit rumput dan semacamnya. Jika tidak ada berarti dia menganggur.

Ibunya pun demikian, tidak ada kemampuan atau kerajinan yang dia kuasai untuk kemudian menghasilkan uang.

Namun kehidupan keluarga itu terlihat bahagia dan biasa-biasa saja.

Berbanding terbalik dengan sebuah keluarga yang tinggal di perumahan keluarga kecil berjumlah 3 orang anggota keluarga.

Ayahnya sebagai kepala rumah tangga bekerja di sebuah bank ternama dengan gaji di atas 10 juta per bulan.

Ibunya bekerja di perkantoran sebagai sekretaris dengan gaji nyaris sama.

Namun kehidupannya terlihat seperti diliputi waswas dan tak ada tanda kebahagian.

Pagi-pagi berangkat ke kantor masing-masing, pulang setelah malam larut. Jarang bertemu kecuali saat weekend saja.

Setiap bulan tagihan menanti cicilan rumah, cicilan mobil, bayar kartu kredit, bayar tagihan bulanan.

Tak jarang gaya hidup melampaui kebutuhan hidup, hidup penuh dengan suasana stres.

Dari dua contoh tersebut kita dapat mengambil pelajaran bahwa kebahagiaan itu relatif.

Jadi apa itu kebahagiaan sebenarnya?

Kebahagiaan hakiki adalah ketika kita mampu menerima segala sesuatu apa adanya.

Itulah kata lain dari syukur yakni menerima ketetapan Ilahi bahwa segala apa yang dia miliki serta apa yang terjadi sesungguhnya telah diatur oleh skenario Ilahiyah.

Sebab tanpa melibatkan unsur-unsur religiusitas akal kita tidak bisa mengobatinya.

Nah dari situ kita akan memahami bahwa ketentuan Ilahi itulah sebenarnya yang berlaku bagi umat manusia.

Kecerdasan spiritual ini yang mengantarkan seseorang menjadi pribadi yang penuh kebahagiaan.

Ketika seseorang memiliki kesejahteraan ekonomi harusnya bisa mengantarkan dirinya menjadi seorang yang lebih bahagia dengan catatan segala kesejahteraan itu menjadi jembatan dirinya untuk lebih dekat kepada nilai-nilai religiusitasnya bukan malah menjauh.

Rasa cinta dunia memang hiasan manusia, namun bagi seseorang yang telah memahami makna dunia sebenarnya mereka akan cenderung menahan diri dari hal-hal yang akan menjerumuskan diri ke lembah kerakusan.

Harusnya bagi seseorang yang berpenghasilan 50 juta sebulan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Tapi dalam kasus tertentu penghasilan tersebut tidak menjadikan dirinya menjadi cukup.

Karena dia mempunyai pengeluaran bulanan yang jauh lebih besar dari pendapatannya.

Oleh karenanya tidak ada jaminan kebahagiaan bagi orang yang banyak harta.

Maka sederhana, merasa cukup dan hidup apa adanya adalah kunci kebahagiaan itu sendiri.

Sementara hasrat, angan dan semacamnya hanya akan membawa seseorang kepada ketidakpuasan dan merasa kurang dalam kehidupan.

Banyak bersyukur, ikhlas menerima segala keputusan Tuhan merupakan jalan terbaik untuk meraih kebahagiaan duniawi.

Karena bahagia itu menyangkut rasa maka sekali lagi bahagia itu relatif tidak ada ukuran pasti.

Dan karena relatif maka kebahagiaan itu pun bisa dicari.

Tetap optimis dalam menjalani kehidupan disertai keyakinan penuh bahwa yang memberi rizki hanyalah Tuhan pemelihara alam.

Dan yakinlah bahwa anak-anak kita telah membawa rizkinya masing-masing dan kita pun telah ditetapkan rizkinya oleh Allah Ta'ala.

Selain memiliki kecerdasan intelektual dalam menghadapi kehidupan ini kita pun dituntut agar cerdas secara spiritualnya agar hidup tetap bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun