Ketenangan ini melahirkan rasa cinta (mawaddah) dan sayang (rahmah) antara keduanya. Jadi mawaddah dan rahmah itu terbingkai dalam rasa ketenteraman (sakinah).
Rasa cinta ini tidak datang ujug-ujug namun rasa cinta ini adalah pemberian dari sang Maha Kuasa, begitu pula rasa sayang Allah yang Maha Rahim menjadikan kerahimannya salah satu sifat yang melekat pada diri manusia.
Maka jadilah Mawaddah dan rahmah itu melekat pada sebuah rumah tangga yang diridai Allah. Pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa meraih keluarga sakinah tersebut.
Pertama, niat. Dalam mengarungi samudera rumah tangga apa yang menjadi niat sehingga kita ingin membina rumah tangga.
Apa karena terdorong syahwat duniawi saja, atau faktor-faktor lain yang semisalnya, atau mungkin termotivasi oleh agama, bahwasanya agama menganjurkan bagi siapa saja yang telah mampu berumah tangga maka hendaklah dia menikah.
Apa pun yang berlaku maka niat adalah pokoknya. Apa pun akan membuahkan hasil sesuai dengan apa yang dia niatkan.
Untuk meraih keluarga yang penuh ketenteraman (sakinah) maka niat baik atas landasan agama haruslah lebih diutamakan. Banyaknya persoalan yang kelak menghampiri, agama telah menyiapkan beragam solusinya.
Kedua, aturan Allah menjadi acuan dalam rumah tangga. Pentingnya sebuah peta dalam memberi petunjuk arah sama pentingnya dengan aturan Allah sebagai petunjuk hidup agar mendapat petunjuk yang benar dalam mengendalikan biduk rumah tangga.
Dapat kita bayangkan jika seorang nakhoda kapal berlayar tanpa mengetahui petunjuk arah, tentu saja kapal tersebut akan terombang-ambing di tengah kegelapan laut yang begitu luas.
Maka petunjuk yang tertera dalam lembaran-lembaran mushaf al-Quran bisa menjadi pedoman bagi anak manusia dalam mengarungi bahtera rumah tangganya.
Bagaimana seorang suami memimpin keluarga, semua Allah telah lampirkan kaifiyatnya. Bagaimana seorang istri seharusnya bersikap terhadap suami, hubungan antara anak dan orang tua. Semuanya telah Allah jelaskan sempurna dalam al-Quran.