Mohon tunggu...
Dudi RMD
Dudi RMD Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Studi Teknik Informatika - Universitas Pamulang, Kota Tangerang Selatan

Kumaha aing brayyy

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pancasila, Masih "Sakti" atau Sudah "Sakit"?

1 Juni 2020   16:11 Diperbarui: 1 Juni 2020   16:18 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dasar negara "merupakan suatu alat yang mempunyai fungsi dalam menjaga kemerdekaan setiap individu & ketertiban hidup rakyat negaranya." (J. J. Rousseau)

Ibarat sebuah bangungan, dasar negara adalah pondasi dari bangunan tersebut. Tanpa ada nya pondasi, bangunan yang dibangun dengan besi dan baja terkuat sekalipun akan dengan mudah hancur dan roboh bahkan oleh sedikit benturan saja. Dan seperti kita ketahui bersama, Pancasila adalah dasar negara yang dimiliki Indonesia.

Pancasila lahir setelah melalui berbagai tahapan serta perdebatan panjang tentang butir-butir yang terkandung di dalam nya. Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia sudah final sejak awal kemerdekaan, 18 Agustus 1945.

Walaupun begitu, Pancasila sebagai dasar negara tidak luput dari berbagai tantangan, terutama di awal masa kemerdekaan bangsa ini. Puncaknya, tragedi berdarah pada tanggal 30 September 1965 yang meninggalkan luka yang sangat mendalam bagi bangsa ini sampai sekarang.  

Tanggal 1 Oktober 1965, Pancasila telah membuktikan kesaktian nya sebagai dasar negara yang saat itu bisa dibilang masih "remaja" akan tetapi mampu menaklukan sebuah pemberontakan berdarah yang didasari oleh salah satu ideologi terkuat di dunia pada saat itu.

Oleh karena itu, setiap tanggal 1 Oktober sejak tahun 1965 sampai hari ini seluruh warga negara Indonesia memperingati nya sebagai "Hari Kesaktian Pancasila".

Kini, 5 dekade setelah lahir nya "hari keramat" tersebut, Kesaktian Pancasila kembali diuji. Polarisasi, perpecahan,saling menyerang dan fitnah antar anak bangsa seolah menjadi tontonan yang memiliki rating tinggi dan banyak penggemar.

Melihat fakta ini, nurani saya tergelitik. Benarkah perpecahan ini memang tontonan yang menarik untuk rakyat, atau jangan-jangan hanya permainan segelintir pihak yang melakukan agenda setting untuk meraup keuntungan?

Lantas, akankah Pancasila kembali menunjukkan Kesaktian seperti yang telah dilakukan nya 55 tahun yang lalu, atau justru Pancasila diam-diam menyembunyikan sebuah "virus" ganas yang sedang menggerogoti tubuh nya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya jika kita mulai dengan sebuah refleksi diri, "adakah Pancasila di dalam diri kita?", atau kalau saya boleh sedikit "kritis", "apakah kita paham apa makna Pancasila?"

Pancasila lahir dari sebuah kesadaran akibat penderitaan selama berabad-abad lamanya. Penderitaan panjang yang mengerucut pada satu penyebab utama yaitu terlalu sibuk nya rakyat dan priyayi-priyayi Nusantara saat itu pada kepentingan kelompok nya, sehingga penjajah dengan mudah memainkan politik "devide et impera" dan mengambil keuntungan dari "cipta kondisi" yang mereka mainkan tersebut.

Kesadaran tersebut pada akhir nya dapat dirumuskan menjadi sebuah pondasi yang kokoh untuk membangun suatu negara pada tahun 1945, diprakarsai oleh 9 tokoh besar yang dikenal dengan sebutan panitia sembilan.   

Ibarat alunan musik, Pancasila adalah dirigen dalam sebuah orkestra yang mengatur banyak sumber bunyi berbeda dan menjadikan perbedaan bunyi tersebut menjadi satu harmoni yang indah.

Sebuah orkestra memiliki 4 elemen utama untuk memainkan sebuah karya dengan baik dan benar, yaitu:

- Dirigen, sebagai penjaga ritme dan harmoni seluruh elemen dalam orkestra
- Not-not yang tertulis, sebagai pedoman dalam memainkan suatu karya
- Alat musik, yang digunakan untuk memainkan not-not
- Instrumentalis, orang yang memainkan not-not

Untuk memastikan sebuah orkestra memainkan satu komposisi musik yang padu dengan benar, seorang dirigen sebagai salah satu elemen utama harus lah memastikan 3 elemen utama lainnya menjalankan fungsi nya dengan benar pula.

Dalam konteks menjalankan roda pemerintahan, terdapat kesamaan antara sebuah orkestra dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dimana Pancasila berperan sebagai dirigen nya dengan 4 elemen utama, yaitu:

- Pancasila, sebagai dirigen
- UUD 45, sebagai not-not tertulis
- Lembaga tinggi negara (eksekutif, legislatif & yudikatif), sebagai alat musik nya
- Presiden, Anggota Legislatif dan pejabat lembaga tinggi negara lain nya, sebagai instrumentalis

Lantas mengapa dalam beberapa tahun terakhir Pancasila justru seolah memimpin sebuah orkestra yang memainkan lagu-lagu dengan tak beraturan? Bukankah Pancasila sudah menunjukkan "kesaktian" nya dalam memainkan tembang-tembang yang harmonis dalam beberapa dekade terakhir?

Logika sederhana, jika sebuah orkestra memainkan lagu dengan bising dan tak beraturan, artinya ada salah satu, beberapa atau bahkan semua elemen utama yang tidak menjalankan peran nya dengan benar. Lantas, elemen mana yang "ngawur"? Mari kita analisa.

Elemen pertama, Pancasila, sebagai "dirigen"

Tidak etis bahkan bisa dibilang kurang ajar jika ada pihak yang menjadikan Pancasila sebagai kambing hitam dalam kasus disharmoni bangsa beberapa tahun terakhir ini.

Pancasila yang berlaku hari ini masih sama dengan Pancasila yang menjadi dasar negara kita sejak kemerdekaan tahun 1945 dan juga masih sama dengan Pancasila yang "membunuh" gerakan makar PKI pada tahun 1965.

Elemen kedua, UUD 45 sebagai "not-not yang tertulis"

Apakah UUD 45 yang berlaku saat ini sudah tidak sesuai dengan prinsip dasar dari sebuah dasar negara yaitu "menjaga kemerdekaan setiap individu & ketertiban hidup rakyat negaranya?".

Rasanya tidak, karena hampir mirip dengan alasan mengapa Pancasila bukanlah sebagai penyebab disharmoni bangsa, UUD 45 yang berlaku hari ini terbukti mampu menjaga harmoni bangsa sejak amandemen terakhir nya pada tahun 2002 lalu.

Bahkan UUD 45 ini berhasil mengantarkan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono mendapatkan penghargaan The World Statesman pada tahun 2013, sebuah penghargaan untuk tokoh yang berhasil menjaga perdamaian, demokrasi, toleransi dan dialog antar kepercayaan.  

Elemen ketiga, Lembaga Tinggi Negara (eksekutif, legislatif & yudikatif) sebagai "alat musik"

Pada dasarnya, lembaga tinggi negara baik itu eksekutif (Kepresidenan), legislatif (MPR, DPR & DPD) dan yudikatif (MA, MK, BPK & KY) berjalan sesuai peran dan wewenang masing-masing sesuai yang telah diatur dalam konstitusi.

Artinya, secara kelembagaan seharusnya lembaga tinggi negara menjadi alat yang mentransformasikan not-not tertulis (UUD 45) menjadi sebuah bunyi yang teratur dan menghasilkan sebuah harmoni. Jika terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan nya, itu berarti ada human error  di dalam lembaga-lembaga tersebut.

Elemen keempat, Pejabat Tinggi Negara (eksekutif, legislatif & yudikatif) sebagai "instrumentalis"

Setelah kita menganalisa 3 elemen sebelum nya dan masih belum menemukan penyebab disharmoni bangsa, artinya secara tidak langsung kita telah mendapatkan jawaban tentang dimanakah sumber permasalahan berasal.

Ya, tanpa mengurangi rasa hormat, boleh dikatakan para pejabat tinggi negara lah yang menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas hancurnya permainan orkestra bernama Republik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Kita sebagai rakyat seringkali dipaksa untuk mendengar permainan sumbang dan tumpang tindih dari para "instrumentalis" yang berlagak menjadi "dirigen" ini.

Mulai dari presiden beserta jajaran menteri-menteri nya yang sering kali terlihat tidak paham permaslahan bahkan tak jarang mengeluarkan pernyataan provokatif, anggota dewan yang sibuk cari proyek agar "balik modal" sampai hakim yang memutuskan perkara hukum berdasarkan latar belakang politik seolah menjadi tontonan sehari-hari rakyat kita beberapa tahun ini.

Ironis, di tengah rentetan kiprah nya yang tidak bisa dibanggakan itu, mereka acap kali mengklaim dirinya sebagai yang paling Pancasilais bahkan menjadikan Pancasila sebagai pembenaran atas kesalahan nya tersebut.

Setelah mengetahui sumber kegaduhan dalam orkestra tersebut, rakyat sebagai penonton yang membayar "tiket pertunjukan" lewat pajak setiap hari tentu tahu apa yang harus dilakukan.

Ya, kita berhak mengganti para instrumentalis ngawur tersebut. Karena sebuah orkestra akan bubar ketika tidak ada lagi yang mau datang ke pertunjukan nya, dan kita sebagai sumber pendapatan orkestra tersebut berhak untuk mendapatkan apa yang ingin kita lihat dan dengar, yaitu sebuah pertunjukan musik epik yang indah dan harmonis.  

Untuk mengganti para instrumentalis, tentu harus lewat jalur konstitusional, yaitu Pemilihan Umum yang akan dilaksanakan di tahun 2024.

Agar "alunan melodi yang harmonis" kembali terdengar di negeri ini, kita butuh sosok pemimpin yang menerima dan diterima oleh seluruh elemen masyarakat, menghormati dan dihormati oleh semua golongan, dan yang paling utama pemimpin yang menjunjung tinggi persatuan di atas segala nya.

Kembali ke pertanyaan awal dalam tulisan ini, akankah Pancasila kembali menunjukkan Kesaktian nya, atau justru Pancasila diam-diam menyembunyikan sebuah "virus" ganas yang sedang menggerogoti tubuh nya?

 Jawaban nya ada di dalam diri kita sendiri, rakyat dan juga para wakil rakyat dan pejabat yang dipercaya oleh rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan negara ini.

Apakah kita paham makna Pancasila?
Apakah kita mampu dan mau mengamalkan Pancasila?

Jika kita paham, mampu dan mau mengamalkan Pancasila dengan benar, ya, PANCASILA AKAN KEMBALI MENUNJUKKAN KESAKTIAN NYA!

Sebaliknya, jika kita tidak paham, tidak mampu dan tidak mau mengamalkan Pancasila dengan benar, berarti kita adalah VIRUS YANG AKAN MEMBUNUH PANCASILA.

Saya, anda, kita semua adalah Pancasila.

Pancasila adalah milik seluruh rakyat Indonesia, bukan milik segelintir kelompok saja.

Kejayaan Pancasila adalah ketika kita semua menjunjung tinggi persatuan di atas segala nya.

Penulis:
Muhammad Syarief, Peneliti The Yudhoyono Institute

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun