Mohon tunggu...
two cents
two cents Mohon Tunggu... -

Usil. Suka komentar urusan orang.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Banyak Piknik Yuk!

19 Juli 2016   19:26 Diperbarui: 20 Juli 2016   05:43 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Traveling bisa menjadi gaya hidup seseorang. Mungkin belum banyak yang mengerti (dan setuju) bahwa traveling bukanlah sekedar berfoto. Bagi saya pribadi misalnya, tujuan-tujuan perjalanan wisata menjadi ‘bucket list’, dan akan diupayakan untuk dipenuhi, entah lokasi tujuan tersebut ‘instagrammable’ atau tersedia sinyal internet disana.

Perjalanan wisata menjadi perjalanan nostalgia buat saya, suatu memori dari buku-buku cerita maupun cerita sahabat pena dari belahan dunia lain. Wisata pengalaman. Pengalaman yang pribadi, sehingga memberanikan saya untuk berwisata sebanyak mungkin, bahkan jika harus solo-traveling.

Wisata pengalaman ini memang tidak bisa di bekukan dalam sebuah unggahan foto di sosial media. Apakah itu menjadi kurang menarik bagi masyarakat kita? Karena tidak belum ada cara self-brag wisata pengalaman di media sosial. Wisata pengalaman menjadi suatu hal yang lebih berharga dan berkesan dalam pribadi saya. Dan setiap orang yang pernah mengalami pasti setuju, kita menjadi pribadi yang berbeda, yang semakin ‘kaya’.

Wisata domestik atau manca negara, memiliki nilai menarik tersendiri. Mungkin ‘rejeki’ dan passion tiap orang beda, ada yang bisa keliling dunia, ada yang bisa keliling Indonesia. Bahkan ada kalanya keliling Indonesia lebih sulit dan memakan waktu lebih lama. Saya rasa orang yang keliling dunia belum tentu kurang cinta negeri sendiri. Orang yang keliling Indonesia, ada baiknya jangan tabu untuk wisata mancanegara.

Sekali lagi traveling bukanlah sekedar destinasi dan swafoto lokasi. Pengalaman apa yang ingin kita dapatkan, kesanalah kita akan mencari pengalaman tersebut. Terkadang pengalaman tak perlu juga kita cari, ia akan datang sendiri mengisi pribadi dimana perlu pembelajaran. It’s about self-fulfillment!

Pernah suatu ketika, dalam rute solo-traveling, saya sedang istirahat di kedai lokal kecil di kota Milan. Perempuan Asia dengan tas carrier, menarik orang-orang untuk bertanya siapa saya. Seorang Bapak datang, tidak bisa bahasa Inggris, menyapa dengan bahasa Italia. Terjadilah percakapan ‘lost in translation’. Mungkin karena bahasa Italia terlalu ekspresif, sehingga saya cukup memahami yang ia sampaikan. “Kamu siapa dari mana, sedang jalan-jalan, saya jadi teringat anak perempuan saya juga jalan-jalan, entah dimana ia sekarang, saya cemas menunggu ia menelpon saya”. Ternyata setiap orang tua, termasuk ortu bule, selalu khawatir akan anak-anaknya. Sampai destinasi berikutnya saya langsung menelpon ke rumah J.

Dari kehidupan di Belanda, saya mendapat kebiasaan tersenyum dan menyapa orang yang saya temui di jalan. Namun ternyata tidak selalu bisa diterapkan di tempat lain. Paris, menjadi destinasi favorit saya, menawarkan suasana kota yang sibuk namun selalu ada tempat untuk berhenti sejenak menikmati solitude. Namun sembarang senyum pada orang asing di kota Paris bisa menjadi pengalaman tersendiri. Hikmahnya adalah saya mendapat teman mengobrol dan kopi gratis, serta teman berjalan-jalan keliling kota. Saya tidak ingat siapa dan bagaimana orang tersebut, atau obrolan apa yang kita bicarakan, saya cuma ingat indahnya berjalan-jalan menyusuri sungai Seine dengan latar belakang kota yang mulai temaram dan menara Eiffel yang penuh lampu. Sungguh seperti di film. Tak apalah tidak jalan-jalan bersama pasangan, saya bisa juga mengalami suasana romantis. Pengalaman menarik.

Perjalanan wisata bukanlah sekedar eksistensi diri (di sosial media). Perjalanan wisata dapat membuka diri kita akan BANYAKnya perbedaan yang ada diluar sana. Perjalanan wisata mengajar mendidik kita bagaimana bersikap dan disikapi sebagai seorang asing dan minoritas, dengan fisik dan kebiasaan yang berbeda. Mungkin ada benarnya komentar orang yang berpikiran sempit dan rendah toleransi akan minoritas disebut ‘kurang piknik’. Sayangnya walau dipenuhi swafoto wisata, media sosial semakin lama sepertinya semakin penuh juga dengan komentar orang-orang ‘kurang piknik’. Setiap perjalanan wisata menjadi berharga yang mengayakan pribadi (dan jiwa). Seperti kebanyakan berkata, kita jalan-jalan untuk re-charge, saya ingin menambahkan, jalan-jalan bisa buat kita re-charge dengan kapasitas baterai lebih besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun