Mohon tunggu...
two cents
two cents Mohon Tunggu... -

Usil. Suka komentar urusan orang.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Banyak Piknik Yuk!

19 Juli 2016   19:26 Diperbarui: 20 Juli 2016   05:43 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tren Wisata: Pertukaran Budaya dan Eksistensi Hedonis

Suatu waktu saya melihat informasi di media daring, dengan jargon “Tidak usah jauh-jauh ke luar negeri untuk berfoto depan Menara Eiffel atau Merlion Singapura. Kini semua ada di Indonesia.” Satu tempat di daerah Jawa Tengah, tepatnya terminal bis Bulupito, Purwokerto, yang menawarkan lokasi swafoto dengan latar belakang destinasi wisata dunia. Kreatif dan lucu (seru!) memang. Terminal bis yang mungkin dikenal sebagai tempat yang tidak ramah dan sibuk, menempatkan suatu kenyamanan bagi masyarakat sekitar maupun pengunjung yang transit.

Sebenarnya saya agak tergelitik, untuk kesekian kali, dengan ucapan “ngapain jauh-jauh (ini-itu)… di Indonesia juga ada”. Sewaktu menjadi mahasiswa di negeri Belanda, saya cukup sering mengikuti kegiatan pertukaran budaya sesama mahasiswa asing. Dalam kegiatan ini, mahasiswa asing bisa berbagi apapun dari negara asalnya, cerita soal kebiasaan, rekomendasi kota dan tempat wisata dan tentu saja makanan khas.  Begitu juga, kami mahasiswa dari Indonesia, yang memang khas ramai dan sering bergerombol. Mulai dari situ telinga saya agak gatal mendengar teman-teman dari Indonesia, yang sering berceletuk “Pantai di Indonesia juga bagus”, “Gunung di Indonesia banyak, bagus-bagus”, “Wah makanan Indonesia, paling top deh” dan lain-lain dengan makna serupa, apapun yang (bagus) ada di dunia ini, yang lebih top ada di Indonesia.

Ya, pastinya… Bukankah kita masih berbagi geografis bola dunia. Pantai, gunung dan berbagai fenomena alam, bisa ada di seluruh bagian dunia, termasuk Indonesia. Indah tidaknya, yah tergantung siapa yang lihat, “beauty is in the eye of the beholders”.

Sebagai orang Indonesia tentu ada rasa kebanggan diri, apapun yang dari dan tentang Indonesia adalah yang terbaik. Asal jangan menjadikan ini sebagai nasionalisme buta. Buta akan sampah menggunung di pinggir jalan sampai tengah laut, buta akan panorama alam yang kian rusak oleh polah kita sendiri. Indonesia sangat beruntung berlokasi di katulistiwa dengan iklim tropis. Negeri kepulauan (pulau besar dan kecil) yang kaya akan panorama pegunungan dan pantai, dan spesies flora fauna yang beragam. 

Namun, kekuatan wisata tidak bisa hanya berpangku tangan pada keberuntungan ilahi. Kita tidak bisa terus membuai diri dengan alunan ‘tanah kita tanah surga’. Manusia Indonesia wajib menjaga alam dan mengusahakan menjadi ‘layak jual’ bagi turis domestik dan terutama wisatawan mancanegara. Setidaknya dengan demikian kita bisa menjadikan pernyataan “wisata Indonesia yang terbaik” menjadi realistis. Ya memang semua bisa ada di Indonesia, mulai dari ‘American warteg’ sampai kedai domba Afrika, tapi bukan berarti orang Indonesia tidak perlu wisata ke negara lain kan!

Di era tren wisata (dari kacamata sosial media), berfoto di lokasi wisata ikonik dengan tag lokasi, menjadi suatu kebutuhan penting (dan telah menjadi kebiasaan). Mungkin khususnya kebiasaan orang Asia (pengamatan pribadi penulis). Bepergian ke suatu tempat seperti bertujuan utama untuk mengambil swafoto di lokasi tersebut. Oh ya, sinyal internet juga menjadi penting untuk mutakhir status dan unggah foto terkini. Lalu dilanjutkan dengan percakapan virtual “wah enaknya bisa kesana”, “aku juga pengen kesana”, “ajak-ajak dong” dan lain-lain.

Mengisi dinding sosial media dengan apapun pemilik akun inginkan memang sah-sah saja. Sekadar pengamatan penulis, akan tren yang terjadi, apa yang melatarbelakangi perubahan budaya ini. Saya pribadi penggemar perjalanan wisata. Sejak saya masih usia sekolah, walau dulu cuma bisa ke ancol, dan berkhayal “Suatu saat saya akan pergi menyebrang lautan ini”. Mungkin karena terlalu di cekoki buku-buku anak-anak dulu yang kebanyakan terjemahan buku asing. Buku-buku yang jelas mendeskripsikan latar belakang lokasi dan suasana di Eropa dan Amerika.

Berwisata ke tempat-tempat utama, dan berfoto di ikon kota, seperti usaha eksistensi saya, “I was here”. Dan tentu saja, akun sosial media saya penuh foto-foto eksistensi tersebut. Awalnya saya memang suka ge-er jika ada komentar-komentar ‘envy’ seperti saya sampaikan sebelumnya. Ya, itu adalah bukti ‘keberhasilan’ saya, yang dahulu cuma mampu ‘berkhayal’. “I MADE IT HERE

Sulit memang memahami percakapan virtual, makna kebenaran atau ironi menjadi kabur. Makna ‘envy’ atau ‘encouragement’ bias dengan makna ‘protes’; untuk apa jalan-jalan, menghamburkan uang saja, memangnya dari mana penghasilannya, apa pekerjaannya, dsb. Saya menjadi cemas, jika jalan-jalan adalah tolak ukur keberhasilan seseorang. Semakin jauh orang bisa bepergian, semakin berhasil ia. Maka tak heran, komentar bernada envy dan protes lah yang mengiringi post swafoto wisata. Dan orang berlomba-lomba mengabadikan swafoto di lokasi-lokasi ‘penting’, untuk dibagikan ke lingkaran sosialnya. 

Swafoto berlebihan sayangnya menjadi negatif bagi lokasi wisata, dan sejujurnya sesama wisatawan. Terlalu banyak waktu (dan tentu saja kapasitas memori) untuk mengabadikan wisata. Waktu yang menurut saya bisa dihabiskan dengan bercerita tentang kota, mengenal orang-orang lokal dan sejarah negara. Parahnya lagi, beberapa wisatawan tidak mengindahkan kondisi sekitar, baik alam wisata, aturan setempat dan toleransi sesama wisatawan, demi mendapat swafoto ‘paling eksis’.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun