Sementara itu, bahasa Indonesia yang dimanfaatkan kaum nasionalis untuk menyampaikan aspirasi mulai dirasakan sebagai ancaman lain oleh Pemerintah. Dianggap perlu untuk melakukan sesuatu agar aspirasi itu tidak meluas. Salah satu langkah yang diambil adalah tidak lagi mengajarkan bahasa Indonesia di HIS, kecuali di daerah tertentu yang memang menggunakan bahasa Melayu.
Kehadiran bahasa Indonesia sebagai ancaman serta Perang Pasifik yang bisa mengakhiri dominasi Belanda atas Nusantara membuat sebagian besar warga Belanda khawatir. Yang terjadi kemudian, pada akhir tahun 1930-an, sikap orang-orang Belanda berubah drastis terhadap bahasa mereka sendiri, bahasa yang hingga saat itu enggan mereka sebar-luaskan kepada bangsa Indonesia.
Sejumlah usulan segera disampaikan, bahkan oleh tokoh Belanda yang tadinya paling banyak menentang. Rencana lalu disusun untuk mempercepat penyebaran bahasa Belanda di tengah masyarakat Indonesia. Sayang sekali, langkah tersebut sudah sangat terlambat. Pendudukan Jepang tidak lama setelah itu membuat upaya tersebut terhenti sama sekali.
Bahasa Belanda --tidak sampai 1% penduduk Indonesia yang tahu bahasa ini pada akhir masa penjajahan sekitar 300 tahun-- dengan cepat menghilang hanya dalam hitungan tahun setelah perang usai. Â Dan segeralah musnah salah satu unsur budaya yang paling banyak menyita perhatian, budaya warisan Belanda yang menguasai Indonesia berabad-abad lamanya.
[diterjemahkan dari De Hollands Indlandse School -- A Study of Language Policy (An Outline), karya Samekto]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H