Alasan politik, sosial, psikologi, ekonomi dan keuangan membuat bangsa Belanda pada abad ke-19 sangat menjaga ketat bahasanya. Orang Indonesia, terutama yang dari golongan atas, sekalipun berminat, tidak diperbolehkan belajar bahasa Belanda.
Kondisi tersebut berubah pada awal abad ke-20. Perubahan dipicu menderasnya arus penanaman modal di Indonesia, diberlakukannya 'politik balas budi' yang mengusung gagasan 'Groot Nederland', dan kian banyaknya warga Indonesia dari golongan menengah dan atas yang menuntut diberi kesempatan belajar yang sama seperti warga Eropa.
Sebagai imbas dari itu semua, didirikanlah kemudian, pada tahun 1914, Hollands Inlandse School. Sekolah dasar ini diperuntukkan khususnya bagi anak-anak Indonesia golongan 'priyayi' atau yang sederajat. Pelajaran disampaikan dalam tiga bahasa, dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Selama dasawarsa pertama sekolah ini berdiri, jumlahnya meningkat pesat. Hasilnya pun mulai terasa: warga Indonesia yang mampu berbahasa Belanda semakin banyak. Mereka sanggup bersaing dengan warga Belanda berstrata lebih rendah maupun warga berkebangsaan Asia keturunan Eropa. Persaingan di pasar tenaga kerja dan dalam bidang kemasyarakatan membuat kalangan warga Belanda khawatir. Bertepatan dengan itu resesi pasca-perang muncul, dan kaum nasionalis Indonesia semakin aktif berkegiatan politik.
Warga Indonesia, baik kaum loyalis maupun kaum nasionalis, melalui para tokohnya di dalam dan di luar Volksraad (Dewan Rakyat) terus mendesak agar jumlah HIS diperbanyak. Sayangnya, Pemerintah Kolonial menganggap sudah waktunya mengkaji ulang keberadaan sekolah semacam HIS. Mereka lalu membentuk Hollands Inlands Onderwijs Commissie pada tahun 1927.
Komisi diberi tugas pokok meneliti 'manfaat ekonomi' (economisch rendement) didirikannya HIS sejauh ini. Apa yang dilakukan Pemerintah disambut dengan rasa curiga oleh warga Indonesia. Pemerintah dianggap tidak suka dengan keberadaan sekolah ini, sedangkan bisa dibilang sekolah itulah satu-satunya pintu gerbang bagi bangsa Indonesia untuk menaikkan derajat pendidikan intelektualnya, sekaligus jalan masuk untuk meningkatkan tingkat perekonomian dan strata sosial mereka.
Kemarahan dan perasaan ditolak itu bisa jadi merupakan salah satu faktor yang memicu diikrarkannya 'Sumpah Pemuda'. Salah satu sumpah tersebut adalah tekad para pemuda untuk menjadikan Bahasa Indonesia (=Bahasa Melayu) bahasa nasional.
Keputusan membentuk HIS sesungguhnya lebih bersifat politik, bukan praktis, mengingat keinginan warga Indonesia untuk mahir berbahasa Belanda sangatlah kuat, sebagaimana tampak dari kemunculan banyak sekolah swasta yang polanya meniru sistem pengajaran HIS. Ketika orang Indonesia yang mahir berbahasa Belanda sudah cukup banyak, dan kebutuhan akan guru terus meningkat, mereka inilah yang akhirnya menggantikan peran guru berkebangsaan Belanda, yang pengadaannya hanya dapat dilakukan Pemerintah.
Perkembangan sekolah model HIS berusaha dicegah Pemerintah dengan menetapkan Wilde Scholen Ordonantie, aturan yang membuat lulusannya sulit mendapatkan pekerjaan incaran.
Sesuai rekomendasi HIOC, dan juga sebagai langkah penghematan yang memang perlu diambil akibat munculnya Great Depression (Depresi Hebat Ekonomi), Pemerintah tidak lagi mendirikan sekolah HIS yang baru. Mereka bahkan memangkas jumlah sekolah yang dikenal dengan nama Schakel Scholen (Sekolah Pengantara) yang sebelumnya dibentuk untuk menjembatani sistem pendidikan setempat dengan sistem pendidikan ala barat.
Kira-kira pada masa itu pula diberlakukan metode pengajaran baru bahasa Belanda di HIS. Ditetapkan bahwa bahasa Belanda baru dijadikan bahasa pengantar di sekolah di kelas 4. Dari kelas 1 hingga kelas 3, bahasa pengantar adalah bahasa daerah, sedangkan bahasa Belanda hanya dijadikan mata pelajaran. Banyak warga Indonesia menolak. Pemberlakuan metode baru mereka anggap semata-mata alasan untuk membatasi peluang warga Indonesia untuk maju.