Ada kalanya anak-anak tidak puas bila hanya berbicara sendiri; mereka ingin berinteraksi dengan orangtua, dan untuk itu kita bisa penuhi permintaan mereka dengan berpura-pura mendengarkan.Â
Biasanya yang anak-anak ingini pada saat seperti itu bukan komunikasi melainkan sekadar kedekatan, dan dengan pura-pura mendengarkan, orangtua akan membuat anak-anak merasa "ditemani", sesuai keinginan mereka.
Anak-anak sendiri suka menyambung dan memutus pembicaraan, dan tidak masalah bagi mereka jika orangtua mendengarkan hanya sesekali saja karena mereka juga sekali-sekali saja berbicara dan berinteraksi. Mereka tahu aturannya memang demikian.
Jadi selama berbicara, mereka hanya sebentar saja butuh atau ingin orangtua mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati.
Tugas orangtua amat banyak dan pelik. Salah satunya adalah sedapat mungkin tahu kapan harus mendengarkan dan kapan tidak harus mendengarkan, dan kapan menanggapi celoteh mereka dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak.
Orangtua seringkali tidak bisa seimbang dalam mendengarkan dan tidak mendengarkan. Alasannya, walau tidak butuh waktu lama, banyak orangtua yang tidak mau atau tidak bisa mencurahkan tenaga untuk benar-benar mendengarkan.
Tidak banyak orangtua yang bisa. Mungkin mereka merasa sudah mendengarkan dengan sungguh- sungguh padahal sebetulnya hanya pura-pura mendengarkan atau hanya seperlunya mendengarkan. Jika begitu, mereka berarti membohongi diri untuk menutupi kemalasan mereka, karena untuk mendengarkan dengan seksama, meskipun hanya sebentar, dibutuhkan usaha luar biasa.
Pertama, diperlukan konsentrasi penuh. Kita tidak bisa mendengarkan orang lain dengan baik sambil mengerjakan hal lain. Jika orangtua ingin sungguh-sungguh mendengarkan anaknya, mereka tidak boleh mengerjakan hal lain.Â
Bila orangtua ingin mendengarkan dengan sungguh-sungguh, waktunya harus tercurah hanya untuk sang anak; saat itu harus menjadi waktunya sang anak.Â
Jika kita tidak bersedia mengesampingkan yang lain, dan terus mencemaskan hal lain dan memikirkan waktu, artinya kita tidak berniat sungguh-sungguh mendengarkan.
Kedua, berkonsentrasi penuh mencerna kata-kata anak usia enam tahun butuh usaha jauh lebih keras daripada mendengarkan pembicara yang hebat. Anak-anak tidak lancar ketika bicara --ucapan mereka cepat dan sering berhenti dan diulang-ulang-- membuat kita sulit berkonsentrasi.
Biasanya anak-anak juga bicara tentang sesuatu yang tidak menarik bagi orang dewasa, sedangkan peserta ceramah umumnya tertarik dengan topik yang dibawakan pembicara. Maksudnya, mendengarkan anak usia enam tahun bicara itu membosankan, dan sukar sekali bagi kita untuk berkonsentrasi. Jadi, sungguh-sungguh mendengarkan anak-anak seusia ini memang upaya tanpa pamrih. Jika tidak didorong oleh cinta, orangtua tidak dapat melakukan ini.
Tetapi untuk apa repot-repot? Buat apa sekuat tenaga memperhatikan sungguh-sungguh ocehan anak usia enam tahun padahal ocehannya membosankan?
Pertama, kesediaan kita melakukan itu bisa menjadi bukti nyata bahwa kita menghargai sang anak. Jika kita menghargai anak kita sama seperti kita menghargai orang berceramah, sang anak akan tahu bahwa dia dihargai dan akan merasa berharga. Tidak ada cara lain yang lebih baik untuk mengajari anak bahwa mereka berharga selain dengan menghargai mereka.
Kedua, jika anak merasa semakin berharga, mereka akan mulai mengatakan hal-hal yang berharga dan akan menjadi seperti yang diharapkan.
Ketiga, semakin kita mendengarkan anak, semakin kita menyadari bahwa meskipun disampaikan dengan ucapan yang terbata-bata dan terdengar naif, ada hal-hal berharga yang anak kita sampaikan.
Memang betul anggapan bahwa pengetahuan yang luar biasa keluar dari "mulut bayi", begitu menurut orang yang mau sungguh-sungguh mendengarkan anak. Jika mau mendengarkan dengan seksama, akan kita sadari bahwa mereka sosok yang luar biasa. Dan begitu tahu bahwa anak kita hebat, kita akan semakin ingin mendengarkan. Kita ingin belajar lebih banyak.
Keempat, semakin banyak yang kita tahu dari anak kita, semakin mampu kita untuk mengajari mereka. Jika tidak tahu banyak tentang anak kita, kita biasanya akan mengajari mereka hal-hal yang belum siap mereka pelajari atau hal-hal yang sudah mereka ketahui dan mungkin sudah mereka pahami lebih baik dibanding kita.
Terakhir, semakin anak kita tahu bahwa kita menghargai mereka, bahwa kita menganggap mereka sosok yang istimewa, semakin mereka ingin mendengarkan dan, tentunya, menghargai kita.Â
Jika yang kita ajarkan itu mengena, sesuai dengan apa yang kita ketahui tentang mereka, anak-anak akan lebih tertarik belajar dari kita. Dan semakin banyak yang mereka pelajari, mereka akan semakin menjadi pribadi yang luar-biasa.
Kita mungkin menganggap proses ini seperti sesuatu yang berputar terus. Bisa dibilang memang demikian. Jika itu yang kita tangkap, artinya kita paham bahwa cinta itu timbal-balik. Cinta bukan seperti lingkaran setan yang membuat kondisi menurun (memburuk), tapi justru meningkat (membaik), membuat kita berevolusi dan tumbuh.
Penghargaan menghasilkan penghargaan. Cinta berujung pada cinta. Orangtua maupun anak sama-sama berputar maju semakin cepat dan cepat dalam tarian duet, dansa berdua sepenuh cinta.
Kita di atas tadi mengulas cara bicara dengan anak usia enam tahun. Berapa lama kita perlu mendengarkan dan berapa lama kita tidak perlu mendengarkan untuk anak yang lebih muda atau lebih tua tentunya berbeda. Namun, proses untuk itu intinya sama. Untuk anak yang lebih muda, komunikasi kita harus lebih banyak yang bersifat nonverbal, tetapi tetap dibutuhkan konsentrasi penuh.
Kita tidak bisa bermain tepuk tangan dengan mereka bila pikiran kita ke mana-mana. Dan jika kita bermain separuh hati, maka risikonya anak kita pun akan menjadi pribadi yang separuh hati.
Dibanding anak usia enam tahun, anak remaja tidak butuh waktu terlalu banyak untuk didengarkan penuh karena yang mereka perlukan sebetulnya adalah waktu untuk didengarkan dengan sungguh-sungguh. Anak remaja tidak terlalu banyak lagi mengoceh tanpa alasan, tapi begitu mereka bicara, orangtua harus mendengarkan lebih serius, tidak seperti anak- anak yang usianya lebih muda.
   [bersambung ke bagian 18]
   Diterjemahkan dari buku The Road Less Traveled (Section: Love), karya M. Scott Peck
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H