Mohon tunggu...
DuaBahasa
DuaBahasa Mohon Tunggu... Freelancer - Words are mighty powerful; it's the Almighty's word that perfected our universe

Terus mencoba membuat alihan bahasa yang enak dibaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meliatkan Pribadi Menjadi Sang Pengasih (13): Pengorbanan Diri, Sadomasokisme

16 Juni 2022   10:32 Diperbarui: 16 Juni 2022   10:40 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak contoh lain: ibu yang tidak henti-henti memberi makan anak yang sudah kelebihan berat badan; ayah yang membelikan anak laki-lakinya mainan sampai kamar sang anak penuh-sesak dengan mainan, dan membelikan anak perempuannya pakaian sampai selemari penuh; orang tua yang tidak menetapkan aturan untuk anak-anaknya dan membiarkan mereka melakukan apa saja yang mereka kehendaki.

Cara sang pendeta mencintai keluarga keliru, dan tidak jauh berbeda dengan masokisme, yaitu cara mencintai yang juga menyimpang namun kadar penyimpangannya lebih berat. Orang awam biasanya mengaitkan sadisme dan masokisme semata-mata sebagai kegiatan seksual. Mereka menganggapnya sebagai kenikmatan seksual yang didapat jika seseorang menyakiti atau disakiti secara fisik.

Sadomasokisme yang murni seksual sebetulnya salah satu bentuk gangguan jiwa yang relatif jarang kita temui. Yang jauh lebih umum, dan tentunya lebih parah, adalah sadomasokisme sosial. Mereka yang menderita kelainan ini tanpa sadar ingin saling menyakiti atau disakiti lewat hubungan antarpribadi yang sifatnya non-seksual.

Kita ambil contoh seorang wanita yang butuh bantuan psikiater akibat depresi ditinggal pergi suaminya. la terus-menerus bercerita kepada psikiater bahwa suaminya selalu menganiaya dia: suaminya tidak pernah memberi perhatian, sering berselingkuh, berjudi menggunakan uang belanja, pergi berhari-hari semaunya, pulang ke rumah dalam keadaan mabuk lalu memukuli sang isteri, dan akhirnya sang suami meninggalkan dia dan anak-anak tepat pada Malam Natal -- bayangkan... Malam Natal! Psikiater yang belum berpengalaman biasanya akan langsung menaruh simpati pada "wanita malang" dengan kisah sedihnya itu. Tapi rasa simpati akan segera hilang begitu sang terapis tahu lebih banyak tentang si wanita.

Sang terapis tahu penganiayaan terhadap sang pasien sudah berlangsung dua puluh tahun. Memang si wanita malang dua kali bercerai dari suaminya yang jahat tapi dia juga dua kali menikah lagi dengan sang suami, dan sudah tidak terhitung berapa kali mereka berpisah untuk kemudian kembali bersatu.

Selama satu atau dua bulan si wanita ikut terapi agar bisa hidup mandiri. Sepertinya semua berjalan baik, dan terlihat bahwa sang wanita bisa hidup tanpa suami, tapi kemudian sang terapis melihat roda kembali berputar.

Suatu hari datang dia datang ke tempat terapi dengan wajah riang untuk menyampaikan berita bahwa, "Henry ingin balik lagi. Dia menelepon malam-malam kemarin lusa, minta bertemu, dan saya temui dia. Dia minta kembali, dan sepertinya dia sudah berubah jadi saya terima dia."

Ketika sang terapis menjelaskan bahwa ini sudah terjadi berulang kali dan mereka sepakat bahwa kondisi yang demikian sifatnya merusak, sang wanita bilang, "Tapi, saya sayang dia. Cinta tidak boleh kita mungkiri." Jika sang terapis berusaha menelaah "cinta" ini dengan serius, pasien tersebut akan berhenti ikut terapi.

Ada apa sebenarnya? Sang terapis ingin tahu mengapa bisa demikian. Ia lalu ingat bahwa si wanita dengan penuh suka-cita bercerita tentang suaminya yang brutal dan suka menganiaya. Tiba-tiba sang terapis tersadar bahwa ada sesuatu yang janggal: mungkin wanita ini bersedia dianiaya sang suami, bahkan berusaha agar dianiaya karena dengan demikian dia bisa bercerita tentang penganiayaan tadi. Tapi kesenangan macam apa itu?

Sang terapis ingat sifat sang wanita yang selalu ingin benar sendiri. Apakah mungkin yang paling penting bagi sang wanita adalah keinginannya untuk selalu merasa lebih hebat dalam soal akhlak, dan untuk selalu merasa begitu, dia perlu dianiaya?

Polanya sudah jelas sekarang. Dengan membiarkan dirinya direndahkan, sang wanita merasa lebih hebat. Dan ujung-ujungnya dia menikmati perlakuan kejamnya terhadap suami, yaitu ketika sang suami memohon-mohon dan mengemis-ngemis untuk kembali dan mengakui bahwa sang isteri lebih hebat dibanding suami yang datang merendah, sementara dia memutuskan apakah mau berbaik hati menerima suaminya kembali atau tidak. Saat itulah dendam sang isteri terbalaskan.

Jika ditelaah, wanita semacam ini biasanya suka dipermalukan ketika masih anak- anak dulu, dan cara mereka membalas dendam adalah dengan meninggikan diri meskipun untuk itu mereka harus dipermalukan dan dianiaya berulang kali. Jika dunia memperlakukan kita dengan baik, kita tidak perlu membalas dendam. Jika tujuan hidup kita adalah membalas dendam, kita harus membuat dunia memperlakukan kita dengan kejam agar tujuan kita itu tersebut tercapai.

Orang-orang masokis menganggap bahwa sikap menerima saat dianiaya adalah cinta, namun sebetulnya merupakan kebutuhan untuk membalas dendam yang tidak ada habis-habisnya, dan mereka melakukan ini pada dasarnya akibat rasa benci.

Sadomasokisme juga salah satu pandangan yang salah besar tentang cinta, yaitu bahwa cinta itu mengorbankan diri. Akibat pandangannya yang keliru tentang cinta maka perempuan masokis di atas tidak keberatan menerima perlakuan buruk dan menganggapnya sebagai pengorbanan diri dan tentunya sebagai cinta. Tidak disadarinya bahwa dia sesungguhnya membenci perlakuan buruk tersebut.

Pendeta yang diceritakan di atas juga menganggap sikap berkorban sebagai bentuk cinta meskipun dia bersikap demikian bukan karena keluarganya melainkan karena dia sendiri yang perlu menjaga citra dirinya. Pada awal-awal terapi yang tak putus-putus diceritakannya adalah "dia melakukan sesuatu untuk" isteri dan anak-anak, sehingga orang percaya dia sendiri tidak mendapat apa-apa, padahal dia sebetulnya mendapat sesuatu.

Bila kita menganggap kita melakukan sesuatu untuk orang lain, bisa dibilang kita menghindar dari tanggung jawab. Kita melakukan sesuatu karena itu pilihan kita, dan pilihan tersebut kita ambil karena itulah yang paling memuaskan. Apa pun yang kita lakukan untuk orang lain kita lakukan karena ada kebutuhan yang harus kita penuhi.

Orang tua yang mengatakan kepada anak-anaknya, "Kalian harus bersyukur untuk semua yang sudah kami lakukan untuk kalian" pada dasarnya tidak mampu mencintai sepenuh hati.

Orang yang mencintai dengan sungguh-sungguh tahu nikmatnya mencintai. Bila kita tulus mencintai, kita lakukan itu karena kita ingin mencintai. Kita punya anak karena kita ingin punya anak, dan jika kita menjadi orang tua yang pengasih, kita lakukan itu karena kita ingin menjadi orang tua yang pengasih. Memang betul bahwa ketika mencintai, diri kita berubah, tapi perubahan membuat diri kita semakin baik, bukan malah berkorban.

Nanti akan kembali dibahas bahwa cinta sejati adalah kegiatan mengisi jiwa sendiri. Mencintai bukan hanya itu; mencintai membuat pribadi kita semakin besar, bukannya semakin kecil; mencintai membuat pribadi kita semakin penuh, bukan justru semakin kosong. Mencintai sesungguhnya sama egoisnya dengan tidak mencintai.

     [bersambung ke bagian 14]

     Diterjemahkan dari buku The Road Less Traveled (Section: Love), karya M. Scott Peck

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun