Polanya sudah jelas sekarang. Dengan membiarkan dirinya direndahkan, sang wanita merasa lebih hebat. Dan ujung-ujungnya dia menikmati perlakuan kejamnya terhadap suami, yaitu ketika sang suami memohon-mohon dan mengemis-ngemis untuk kembali dan mengakui bahwa sang isteri lebih hebat dibanding suami yang datang merendah, sementara dia memutuskan apakah mau berbaik hati menerima suaminya kembali atau tidak. Saat itulah dendam sang isteri terbalaskan.
Jika ditelaah, wanita semacam ini biasanya suka dipermalukan ketika masih anak- anak dulu, dan cara mereka membalas dendam adalah dengan meninggikan diri meskipun untuk itu mereka harus dipermalukan dan dianiaya berulang kali. Jika dunia memperlakukan kita dengan baik, kita tidak perlu membalas dendam. Jika tujuan hidup kita adalah membalas dendam, kita harus membuat dunia memperlakukan kita dengan kejam agar tujuan kita itu tersebut tercapai.
Orang-orang masokis menganggap bahwa sikap menerima saat dianiaya adalah cinta, namun sebetulnya merupakan kebutuhan untuk membalas dendam yang tidak ada habis-habisnya, dan mereka melakukan ini pada dasarnya akibat rasa benci.
Sadomasokisme juga salah satu pandangan yang salah besar tentang cinta, yaitu bahwa cinta itu mengorbankan diri. Akibat pandangannya yang keliru tentang cinta maka perempuan masokis di atas tidak keberatan menerima perlakuan buruk dan menganggapnya sebagai pengorbanan diri dan tentunya sebagai cinta. Tidak disadarinya bahwa dia sesungguhnya membenci perlakuan buruk tersebut.
Pendeta yang diceritakan di atas juga menganggap sikap berkorban sebagai bentuk cinta meskipun dia bersikap demikian bukan karena keluarganya melainkan karena dia sendiri yang perlu menjaga citra dirinya. Pada awal-awal terapi yang tak putus-putus diceritakannya adalah "dia melakukan sesuatu untuk" isteri dan anak-anak, sehingga orang percaya dia sendiri tidak mendapat apa-apa, padahal dia sebetulnya mendapat sesuatu.
Bila kita menganggap kita melakukan sesuatu untuk orang lain, bisa dibilang kita menghindar dari tanggung jawab. Kita melakukan sesuatu karena itu pilihan kita, dan pilihan tersebut kita ambil karena itulah yang paling memuaskan. Apa pun yang kita lakukan untuk orang lain kita lakukan karena ada kebutuhan yang harus kita penuhi.
Orang tua yang mengatakan kepada anak-anaknya, "Kalian harus bersyukur untuk semua yang sudah kami lakukan untuk kalian" pada dasarnya tidak mampu mencintai sepenuh hati.
Orang yang mencintai dengan sungguh-sungguh tahu nikmatnya mencintai. Bila kita tulus mencintai, kita lakukan itu karena kita ingin mencintai. Kita punya anak karena kita ingin punya anak, dan jika kita menjadi orang tua yang pengasih, kita lakukan itu karena kita ingin menjadi orang tua yang pengasih. Memang betul bahwa ketika mencintai, diri kita berubah, tapi perubahan membuat diri kita semakin baik, bukan malah berkorban.
Nanti akan kembali dibahas bahwa cinta sejati adalah kegiatan mengisi jiwa sendiri. Mencintai bukan hanya itu; mencintai membuat pribadi kita semakin besar, bukannya semakin kecil; mencintai membuat pribadi kita semakin penuh, bukan justru semakin kosong. Mencintai sesungguhnya sama egoisnya dengan tidak mencintai.
   [bersambung ke bagian 14]
   Diterjemahkan dari buku The Road Less Traveled (Section: Love), karya M. Scott Peck