Ada banyak contoh lain: ibu yang tidak henti-henti memberi makan anak yang sudah kelebihan berat badan; ayah yang membelikan anak laki-lakinya mainan sampai kamar sang anak penuh-sesak dengan mainan, dan membelikan anak perempuannya pakaian sampai selemari penuh; orang tua yang tidak menetapkan aturan untuk anak-anaknya dan membiarkan mereka melakukan apa saja yang mereka kehendaki.
Cinta bukan semata memberi; cinta adalah memberi dengan bijak dan juga tidak mengabulkan permintaan dengan cara yang bijak. Cinta itu memberi pujian dengan bijak dan juga mengkritik dengan cara yang bijak. Cinta itu berdebat, melawan, bertengkar, memaksa, menarik dan mengulur dengan bijak. Cinta juga memberi rasa nyaman. Cinta itu memberi teladan. Yang dimaksud dengan 'bijak' adalah dengan pertimbangan, dan pertimbangan dibuat bukan dengan naluri semata melainkan dengan keputusan yang dibuat secara arif dan seringkali menyakitkan.
"Pengorbanan Diri"
Ada banyak motif mengapa seseorang memberi dengan cara yang tidak bijak dan mengasuh dengan cara yang salah, tetapi ada kesamaan di sini: pihak 'yang memberi', atas nama cinta, bereaksi dan memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa menghiraukan kebutuhan spiritual pihak yang menerima.
Ada seorang pendeta yang meskipun enggan tetapi tetap datang berkonsultasi karena isterinya menderita depresi kronis sedangkan kedua putranya tidak selesai kuliah, masih tinggal serumah dengan orang tua dan butuh terapi kejiwaan. Sudah jelas seluruh keluarganya 'sakit' tapi awalnya dia tidak sadar bahwa dirinyalah sesungguhnya penyebab mereka sakit.
"Saya berusaha sekuat tenaga menjaga mereka dan membantu mencarikan solusi jika mereka ada masalah," jelasnya. "Tidak pernah sedetik pun saya mengabaikan mereka."
Dari hasil analisis atas kondisi keluarga itu tampak memang benar dia bekerja mati-matian memenuhi permintaan isteri dan anak-anaknya. Dia memberi kedua anak laki-lakinya mobil baru sekaligus membayari asuransinya meskipun menurut dia anak-anak itu seharusnya berusaha lebih keras untuk bisa mandiri.
Setiap minggu dia mengantar isterinya ke kota untuk menonton opera atau film padahal dia sendiri benci pergi ke kota dan dia bosan menonton opera. Sekalipun sibuk bekerja, sebagian besar waktu luangnya dia pakai untuk membereskan rumah demi sang isteri dan anak-anak yang sama sekali tidak peduli dengan kondisi rumah yang kotor dan berantakan.
"Anda tidak lelah mengurusi mereka sepanjang waktu?" tanya saya. "Pastilah saya lelah," jawabnya, "tapi saya harus bagaimana lagi? Saya cinta mereka dan saya kasihan melihat mereka, jadi tidak mungkin saya tidak mengurus mereka. Saya peduli sekali dengan mereka, jadi saya tidak akan berpangku tangan setiap kali mereka butuh sesuatu. Saya mungkin hanya orang biasa, tapi saya bisa memberi mereka cinta dan perhatian."
Yang menarik, rupanya ayah sang pendeta sendiri adalah seorang cendekiawan terkemuka namun pecandu alkohol, suka main perempuan, tidak pernah memperhatikan keluarga dan menelantarkan mereka begitu saja. Dengan terapi, lama-kelamaan pasien ini sadar bahwa sebagai anak, dia bersumpah untuk menjadi pribadi yang pengasih dan perhatian, tidak seperti ayahnya yang tidak berperasaan dan tidak pedulian.
Setelah beberapa waktu, dia bahkan sadar bahwa dialah yang berusaha keras menjaga citranya sebagai orang yang pengasih dan perhatian. Perilakunya selama ini, termasuk pekerjaannya sebagai pendeta, semata-mata untuk menjaga citra tersebut. Yang kurang dipahaminya adalah dengan bersikap begitu, dia sebetulnya memperlakukan seluruh keluarga bagai anak kecil.
Dia terus-terusan memanggil isterinya 'kucing kecilku' dan kedua putranya yang sudah besar dan gagah 'anak kecilku'. "Memangnya saya harus bagaimana?" Begitu tanyanya. "Saya mencintai mereka mungkin memang sebagai reaksi atas apa yang ayah saya lakukan, tapi apakah lantas saya harus menjadi orang yang tidak pengasih atau menjadi orang brengsek."
Sang pendeta memang perlu belajar bahwa mencintai itu kegiatan yang pelik dan bukan sesuatu yang sederhana, dan seluruh jiwa dan raganya --benak dan hatinya--Â harus dilibatkan di situ. Dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak ingin menjadi seperti sang ayah, dan karena itu tidak terbentuk pada dirinya kemampuan untuk mengungkapkan cinta dengan banyak cara.
Dia harus belajar bahwa tidak memberi sesuatu tapi pada saat yang tepat adalah sikap yang lebih pengasih dibanding memberi sesuatu namun bukan pada saat yang tepat. Dia juga harus belajar bahwa mendidik orang menjadi mandiri adalah bentuk cinta yang lebih besar dibanding mengurus orang yang sebetulnya mampu mengurus diri sendiri.
Dia bahkan perlu belajar bahwa mengutarakan kebutuhannya sendiri, amarah, kebencian dan harapan itu juga sama pentingnya untuk kesehatan jiwa keluarga dengan pengorbanan dirinya, dan karena itu cinta harus diwujudkan dalam bentuk pertengkaran/konfrontasi selain dengan sikap menerima.
Perlahan-lahan, setelah sadar bahwa dia menganggap anggota keluarganya seperti anak kecil, dia mulai berubah. Dia tidak lagi membereskan rumah untuk semua orang; dia akan marah bila kedua anaknya tidak mau mengurus rumah. Dia tidak mau lagi membayari asuransi mobil anak-anaknya. Katanya kepada mereka, jika mau memakai mobil, mereka harus membayar sendiri keperluan mobil.
Dia sarankan isterinya untuk pergi sendiri jika ingin menonton opera di New York. Ketika melakukan perubahan tersebut, dia terpaksa menanggung risiko dianggap sebagai 'pihak yang jahat' dan harus berhenti menjadi orang yang sanggup segalanya dan menjadi orang yang bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga.
Syukurlah, walau sebelumnya berperilaku demikian terutama karena ingin menjaga citranya sebagai orang yang pengasih, pada dasarnya dia memang orang yang mampu mencintai dengan tulus, dan berkat kemampuannya inilah dirinya bisa berubah.
Mula-mula isteri maupun anak-anaknya marah dengan perubahan tersebut, namun tidak lama setelah itu, salah seorang anaknya kembali kuliah, sementara anaknya yang lain mendapat kerja yang lebih baik dan pindah ke apartemen sendiri.
 Sang isteri mulai melepas ketergantungannya, dan bisa menikmati kondisi tersebut serta tumbuh berkembang dengan caranya sendiri. Pasien tersebut mampu menjalankan tugasnya sebagai pendeta dengan lebih baik, dan hidupnya sendiri kini terasa lebih menyenangkan.
   [bersambung ke bagian 13]
   Diterjemahkan dari buku The Road Less Traveled (Section: Love), karya M. Scott Peck
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H