Setelah beberapa waktu, dia bahkan sadar bahwa dialah yang berusaha keras menjaga citranya sebagai orang yang pengasih dan perhatian. Perilakunya selama ini, termasuk pekerjaannya sebagai pendeta, semata-mata untuk menjaga citra tersebut. Yang kurang dipahaminya adalah dengan bersikap begitu, dia sebetulnya memperlakukan seluruh keluarga bagai anak kecil.
Dia terus-terusan memanggil isterinya 'kucing kecilku' dan kedua putranya yang sudah besar dan gagah 'anak kecilku'. "Memangnya saya harus bagaimana?" Begitu tanyanya. "Saya mencintai mereka mungkin memang sebagai reaksi atas apa yang ayah saya lakukan, tapi apakah lantas saya harus menjadi orang yang tidak pengasih atau menjadi orang brengsek."
Sang pendeta memang perlu belajar bahwa mencintai itu kegiatan yang pelik dan bukan sesuatu yang sederhana, dan seluruh jiwa dan raganya --benak dan hatinya--Â harus dilibatkan di situ. Dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak ingin menjadi seperti sang ayah, dan karena itu tidak terbentuk pada dirinya kemampuan untuk mengungkapkan cinta dengan banyak cara.
Dia harus belajar bahwa tidak memberi sesuatu tapi pada saat yang tepat adalah sikap yang lebih pengasih dibanding memberi sesuatu namun bukan pada saat yang tepat. Dia juga harus belajar bahwa mendidik orang menjadi mandiri adalah bentuk cinta yang lebih besar dibanding mengurus orang yang sebetulnya mampu mengurus diri sendiri.
Dia bahkan perlu belajar bahwa mengutarakan kebutuhannya sendiri, amarah, kebencian dan harapan itu juga sama pentingnya untuk kesehatan jiwa keluarga dengan pengorbanan dirinya, dan karena itu cinta harus diwujudkan dalam bentuk pertengkaran/konfrontasi selain dengan sikap menerima.
Perlahan-lahan, setelah sadar bahwa dia menganggap anggota keluarganya seperti anak kecil, dia mulai berubah. Dia tidak lagi membereskan rumah untuk semua orang; dia akan marah bila kedua anaknya tidak mau mengurus rumah. Dia tidak mau lagi membayari asuransi mobil anak-anaknya. Katanya kepada mereka, jika mau memakai mobil, mereka harus membayar sendiri keperluan mobil.
Dia sarankan isterinya untuk pergi sendiri jika ingin menonton opera di New York. Ketika melakukan perubahan tersebut, dia terpaksa menanggung risiko dianggap sebagai 'pihak yang jahat' dan harus berhenti menjadi orang yang sanggup segalanya dan menjadi orang yang bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga.
Syukurlah, walau sebelumnya berperilaku demikian terutama karena ingin menjaga citranya sebagai orang yang pengasih, pada dasarnya dia memang orang yang mampu mencintai dengan tulus, dan berkat kemampuannya inilah dirinya bisa berubah.
Mula-mula isteri maupun anak-anaknya marah dengan perubahan tersebut, namun tidak lama setelah itu, salah seorang anaknya kembali kuliah, sementara anaknya yang lain mendapat kerja yang lebih baik dan pindah ke apartemen sendiri.
 Sang isteri mulai melepas ketergantungannya, dan bisa menikmati kondisi tersebut serta tumbuh berkembang dengan caranya sendiri. Pasien tersebut mampu menjalankan tugasnya sebagai pendeta dengan lebih baik, dan hidupnya sendiri kini terasa lebih menyenangkan.
   [bersambung ke bagian 13]