Meliatkan Pribadi Menjadi Sang Pengasih (5)
Namun bila kita nanti tidak bisa memenuhi semua kebutuhan pasangan sehingga timbul gesekan lalu kita putus cinta, kita lantas sadar bahwa kita sudah melakukan kesalahan fatal, kita salah mengartikan takdir, kita tidak bertemu dengan satu-satunya orang yang serasi untuk kita, apa yang kita anggap sebagai cinta ternyata bukan cinta yang nyata atau "sejati", dan tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mengubah situasi tersebut kecuali hidup tidak bahagia selama-lamanya atau meminta cerai.
Saya perhatikan, mitos yang bagus itu betul bagus karena memang menggambarkan serta mengandung kebenaran yang sifatnya universal (mitos semacam ini akan kita bahas nanti), sedangkan mitos tentang cinta romantis hanya bualan semata. Agaknya kebohongan itu mesti ada demi kelangsungan hidup makhluk hidup, sebab mitos mengajak kita, dan seolah membenarkan langkah kita, untuk jatuh cinta, yang lalu membuat kita terjerumus dan akhirnya menikah.
Akan tetapi, sebagai psikiater, hampir setiap hari saya terenyuh melihat orang-orang galau dan menderita karena terpengaruh mitos ini. Jutaan manusia nekad menyia-nyiakan tenaga karena berusaha membuat hidup mereka yang nyata supaya serupa dengan mitos yang tidak nyata tadi.
Ibu A pasrah sepasrah-pasrahnya kepada suami hanya karena rasa bersalah. "Sewaktu menikah dulu, saya sebetulnya tidak benar-benar mencintai suami," katanya. "Saya cuma berpura-pura cinta. Saya membuat dia teperdaya sehingga mau menikah. Karena itu saya tidak berhak mengeluhkan apa-apa tentang dia. Saya harus melakukan apa pun yang dia mau."
Pak B mengeluh: "Saya menyesal dulu tidak menikah dengan Nona C. Sepertinya kami akan bahagia jika dulu jadi menikah. Waktu itu saya tidak cinta mati padanya; saya anggap dia bukan jodoh saya."
Ibu D yang sudah dua tahun menikah menderita depresi berat tanpa alasan yang jelas, dan pada saat terapi dia bercerita: "Saya tidak tahu salahnya di mana. Semua yang saya butuhkan ada, termasuk perkawinan yang sempurna." Baru beberapa bulan kemudian dia bisa menerima kenyataan bahwa dia sudah tidak lagi mencintai suaminya dan sadar bahwa hal itu bukan kesalahan fatal.
Pak E, yang juga sudah dua tahun menikah, mulai sakit kepala berat pada malam hari tetapi dia tidak percaya kalau penyebabnya adalah masalah kejiwaan. "Tidak ada masalah di rumah. Cinta saya kepada isteri masih sama seperti saat kami menikah. Dia segalanya," ceritanya. Namun, sakit kepalanya baru bisa hilang setahun kemudian setelah diakuinya bahwa, "Isteri betul-betul membuat saya jengkel; dia terus-terusan minta ini minta itu tanpa mau tahu berapa gaji saya." Setelah itu barulah dia bisa bicara dengan sang isteri soal kebiasaan boros itu.
Pak dan Ibu F sama-sama mengaku tidak lagi saling cinta, lalu menyakiti pasangan dengan berselingkuh demi menemukan "cinta sejati". Mereka tidak sadar bahwa begitu sama-sama mengaku sudah tidak lagi cinta, perkawinan mereka sebetulnya justru mulai membaik, bukannya malah berakhir.
Sekalipun pasangan yang bermasalah mengakui masa bulan madu sudah lewat, bahwa cinta mereka tidak lagi romantis dan bahwa mereka tetap berkomitmen untuk menjaga hubungan, mereka masih percaya dengan mitos di atas dan berusaha membuat hidup mereka bisa seperti itu.Â
"Kami memang sudah tidak saling cinta, tapi jika dengan kehendak yang kuat kami bersikap seolah-olah masih saling cinta, cinta yang romantis mungkin akan hadir lagi dalam kehidupan kami," begitu pemikiran mereka. Yang penting bagi pasangan seperti itu adalah kebersamaan.
Bila mereka mengikuti terapi kelompok untuk pasangan (ini cara yang saya dan isteri serta rekan dekat lakukan untuk konsultasi perkawinan yang sangat serius), mereka ini duduk bersama, bicara atas nama pasangan, menutupi kesalahan pasangan dan berusaha menunjukkan kepada yang lain bahwa mereka kompak, dan mereka percaya bahwa menyatunya mereka memberi sinyal bahwa perkawinan mereka relatif sehat dan kebersatuan ini memang diperlukan untuk memperbaiki perkawinan itu.
Cepat atau lambat, dan biasanya cepat, kami harus memberi tahu hampir semua pasangan bahwa mereka terlalu erat sebagai suami-isteri, terlalu menyatu, dan mereka perlu sama-sama menjaga jarak dalam pikiran mereka agar masalah dapat teratasi dengan baik.
Ada kalanya mereka perlu dipisahkan secara fisik, dan diminta untuk duduk terpisah dalam kelompok. Mereka selalu perlu diminta untuk tidak saling bicara atau saling membela di hadapan yang lain. Kami harus berkali-kali mengingatkan, "Biarkan Mary bicara sendiri, John," dan "Mary, John bisa menjaga diri; dia sanggup."Â
Andai mereka tidak berhenti mengikuti terapi, semua pasangan ini lama-lama belajar bahwa hanya dengan sungguh-sungguh menerima kelebihan dan kekurangan serta perbedaan masing-masing maupun pasanganlah perkawinan bisa menjadi dewasa dan cinta sejati bisa tumbuh.*
[*Mereka yang membaca buku karya pasangan O'Neil Open Marriage akan tahu inilah prinsip dasar pernikahan yang bersifat terbuka. Ini bertolak-belakang dengan perkawinan yang tertutup. Sebetulnya O'Neil sangat berhati-hati dan tidak ingin gegabah mengajak orang menerapkan prinsip perkawinan terbuka. Dari hasil menangani pasangan, saya akhimya berkesimpulan bahwa satu-satunya bentuk pernikahan yang matang, yang sehat dan tidak merusak kesehatan maupun perkembangan jiwa masing-masing adalah perkawinan yang terbuka.]
Lebih Jelas tentang Batasan Ego
Saya sudah jelaskan bahwa pengalaman "jatuh cinta" itu layaknya khayalan yang sama sekali bukan cinta sejati. Sekarang saya ingin katakan yang sebaliknya: jatuh cinta itu sebetulnya sangat, sangat erat kaitannya dengan cinta sejati. Banyak orang salah mengira bahwa jatuh cinta itu salah satu bentuk cinta karena apa yang mereka anggap benar itu memang ada betulnya.
Jatuh cinta juga berhubungan dengan batasan ego; jatuh cinta membuat batas kemampuan seseorang meningkat. Yang membatasi kemampuan seseorang adalah batasan egonya. Kita akan memperbesar batas kemampuan diri dengan bantuan cinta apabila kita mau mendekatkan diri dengan kekasih hati yang ingin kita bantu tumbuhkan spiritualitasnya.Â
Untuk itu, sesuatu yang kita sayangi pertama-tama harus menjadi kesayangan kita; maksudnya, kita harus tertarik dengan sesuatu di luar diri kita sendiri tersebut, tanpa dihalangi hal-hal yang membatasi diri, dan kita harus mengerahkan segenap tenaga dan mencurahkan segala perhatian.
Proses untuk menarik, mengupayakan dan memperhatikan itulah yang oleh psikiater disebut "kateksis". Menurut mereka, kita "mengkateksiskan" sesuatu yang kita sayangi. Namun, pada saat kita mengkateksiskan sesuatu di luar diri sendiri, dari sisi kejiwaan kita juga menyatukan gambaran tentang sesuatu tadi ke dalam diri kita.
Kita ambil contoh pria yang berkebun karena hobi. Hobinya menyenangkan sekaligus menyita perhatian. Dia "cinta" berkebun. Bagi dia, kebunnya sangat berarti. Pria tersebut sudah mengkateksiskan kebunnya. Menurutnya, kebun tersebut sangat menarik; dia meluangkan banyak tenaga untuk kebun tadi, dia mencurahkan perhatian pada kebunnya -- saking cintanya, dia rela bangun pagi-pagi pada hari Minggu untuk ke kebun lagi.Â
Ia bisa menolak pergi jauh meninggalkan kebunnya, dan bahkan isterinya bisa terabaikan. Selama proses kateksis berjalan dan untuk merawat tanaman bunga dan perdunya, ia belajar banyak -- tentang tanah dan pupuk, mengenai pemangkasan daun dan ranting, dan soal pengakaran. Dia juga tahu banyak tentang kebunnya -- sejarahnya, jenis bunga-bungaan dan pepohonan yang ada di situ, penataannya, kendalanya dan bahkan masa depannya.
  [bersambung ke bagian 6]
  Diterjemahkan dari buku The Road Less Traveled (Section: Love), karya M. Scott Peck
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H