Pun juga, stigma bahwa Syeikhul Islam seorang pencaci paham sufi tidaklah sepenuhnya benar. Pada dasarnya beliau bukan seorang yang anti sufi sama sekali. Dalam Majmû Fatâwa beliau menuliskan perihal sufisme dalam citra yang positif. Beliau menuliskan: bahwa kaum sufi adalah mereka yang berkonsentrasi untuk ibadah menjalani kezuhudan di dunia. Mereka adalah orang-orang yang memandang bahwa seorang Sufi adalah orang yang bersih (hatinya) dari kotoran, dipenuhi dengan tafakur, dan yang menjadi sama baginya nilai antara emas dan batu. Dan sufi yang demikian itu beliau sebut sebagai Sufi hakiki (shufiyyah al-haqa’iq).
Menurut beliau, seorang sufi hakiki haruslah memenuhi 3 syarat. Pertama, ia harus mampu melakukan “keseimbangan syar’i”, yaitu dengan menunaikan yang fardhu dan meninggalkan yang diharamkan. Kedua, ia harus menjalani adab-adab penempuh jalan ini, yaitu dengan mengamalkan adab-adab syar’i dan meninggalkan adab-adab yang bernilai bid’ah. Dengan kata lain, mengikuti adab-adab al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Ketiga, bersikap zuhud terhadap dunia dengan meninggalkan hal-hal yang tidak ia butuhkan dan menyebabkannya hidup berlebihan.
Selain sufi hakiki beliau juga menyebut klasifikasi lain yaitu shufiyyah al-arzaq. Mereka adalah para sufi yang rizkinya bergantung pada harta-harta sedekah yang diberikan kepada mereka --Ini mirip dengan rahib-rahib Budha di India dan para ronin di Jepang.
Model sufi yang lain—berdasar pengelompokan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmû Fatâwa—yaitu shufiyyah al-rasm.Yaitu mereka yang merasa cukup dengan menisbatkan diri sebagai seorang sufi. Lebih kepada penampilan dan perilaku lahiriah saja, dan bukan hakikatnya. Menurut Ibnu Taimiyah, mereka ini sama dengan orang yang merasa cukup berpenampilan seperti ulama, hingga menyebabkan orang bodoh menyangka mereka benar-benar ulama, padahal sebenarnya bukan.
Kritik Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah lebih kepada praktik asketisme ekstrim para Sufi yang hanya memberikan perhatian terhadap ranah ruhani saja, dengan mengabaikan hal-ihwal yang bersifat zhahir. Baginya, ketimpangan yang terjadi pada salah satu dari sisi ruhani dan zhahiri akan mengakibatkan munculnya sebuah bid’ah yang bernilai destruktif. Sementara Islam menyerukan kesalehan masyarakat manusia yang utuh, baik zhahir dan bathin. Seorang Shûfî seyogyanya mampu menyelaraskan amalan hati dengan amalan duniawi. Ia menyebutnya dengan, “Dunia berkhidmat untuk dien (agama).” (baca: Al-Siyasah al-Syar’iyyah).[6]
Sebenarnya, jika Abdurrahman Asy-Syarqawi menempatkan karyanya sebagai karya sastra—semacam naskah drama, atau bentuk fiksi lainnya—tentu akan lain soalnya. Oleh karena sastra telah dimaklumi sebagai jalan memutar bagi seseorang dalam menyampaikan suatu perkara dengan bumbu imajinasi dan opini subyektifnya --dengan kata lain berbasis pada usaha akal budi manusia yang terbatas, atau kita menyebutnya kebudayaan. Dalam itu penulis terlepas dari perangkap-perangkap yang bisa mereduksi nilai validitas dan otentisitas yang menjadi tanggung jawabnya.(Baca Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, mengenai tafsir, tahrif, takwil dan tha'til-pen) [7] Lebih-lebih menyangkut hal-hal ilahiyah yang manusia lebih sering terjebak dengan arogansi spiritual ketimbang kerendahhatian dan keterbukaan atas kebenaran. Juga, tidak seharusnya menggunakan nama Ibnu Taimiyah atau Ibnu Athailah, yang keduanya merupakan imam besar yang menjadi rujukan mereka yang sedang dalam ghirah memelajari agama dalam kajian yang lebih spesifik. Karena yang demikian itu memiliki potensi mengaburkan pemahaman khalayak yang tidak secara langsung bersinggungan memelajari kitab-kitab monumental karya keduanya. Akibatnya, lahirlah epigon-epigon gelap yang berkasak-kusuk menggunjingkan suatu perkara tanpa menilik data dan duduk soalnya.
Wallahua'lam.
----------------------
1 Ibnu Athaila, Alhikam, Syarh oleh Abdullah Sarqowi versi pegon
2 Ibnu Taimiyah, Bathal Al-Islah Ad-Diny. Mahmud Mahdi Al-Istambuli. Maktabah Dar-Al-Ma’rifah–Dimasyq
3 Abdurrahman Asy-Syarqawi, Ibnu Taimiah, al-Faqih al Muadzdzab