Mohon tunggu...
DS Anwar
DS Anwar Mohon Tunggu... Guru - berusaha memperbaiki segala kekurangan

Menulis untuk berbagi dan bercerita. Sering memandang langit di malam hari sekadar untuk bertasbih, mengagumi benda yang bertebaran di langit, rembulan dan bintang-bintang-Nya.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Cerpen | Bus Terakhir

1 Juni 2019   20:33 Diperbarui: 1 Juni 2019   20:40 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TERMINAL bus mulai ramai. Ribuan pasang kaki hilir mudik. Semua pemilik kaki berwajah serius dengan kening berkerut, sesekali di antara mereka menyeka keringat. Di badannya bermacam benda bergelayut. Ada yang membawa tas, ransel, ada yang yang memanggul koper terikat tali rapia, ada yang gendong anaknya yang menangis meminta minum dan menunjuk mainan. Ada yang menenteng tas enteng, ada yang menggusur koper entah isinya. Pakaian atau mungkin oleh-oleh. Mungkin juga bom!

Matahari turut sibuk begegas. Panasnya menyucuk ubun-ubun setiap manusia yang berlalu-lalang. Aspal terasa seperti pemanggangan sate. Sedangkan angin entah ke mana. Seorang lelaki berlari menuju kerumunan yang berdesakkan di mulut pintu bagian depan sebuah bus. Di punggungnya nempel sebuah back packer lepek. Rambuntya tebal sebahu tetapi rapi. Kepalanya tertutup kopiah putih. Dengan t-shirt hitam belel dengan gambar wajah yang tak jelas, serta rompi denim biru pudar. Sementara celana denimnya pun tak kalah pudar. Dengan bagian paha dan lututnya robek-robek.

Setelah melewati puluhan calon penumpang dan berhasil lolos ke dalam bus, ia mendapat tempat duduk di barisan ketiga di belakang supir. Bersebelahan dengan seorang wanita berambut sebahu yang bibirnya bergincu merah tebal. Alisnya tak lebih mirip celurit di atas matanya yang berbulu mata anti badai. 

Pandangannya menyusuri tubuh lelaki itu. Seketika saja bola matanya terpaku pada lengan bagian atas lelaki bertulang rahang persegi itu. Di sana ada tato gambar kalajengking. Keningnya langsung mengernyit. Segera ia berniat mencari tempat duduk lain. Namun semua tampak sudah penuh. Beruntung di kursi barisan ke dua dari tempat duduk supir, tepat di depan tempat duduknya ada seorang ibu berkerudung cokelat sedang mengais dan membujuk seorang anak kecil yang tengah menangis.

"Bu, boleh tukar tempat duduknya? Mungkin anak Ibu kegerahan. Di sini dekat dengan jendela."

Wanita itu berhasil membujuk si ibu. Langsung mereka bertukar tempat dan si wanita berambut gelombang manja, memegang erat tasnya. Hatinya merasa ngeri melihat tato di lengan lelaki di sebelahnya. Benar saja anak si ibu mulai diam. Angin dari kaca jendela bus yang sedikit terbuka sepertinya ampuh untuk mengusir gerah si anak yang sejak masuk bus mulai menangis.

Lelaki bertato itu sudah tidak aneh dengan perlakuan semacam wanita tadi. Ia sudah sering diperlakukan seperti itu. Pikirannya ingat beberapa tahun ke belakang. Saat ia membuntuti seorang gadis lalu berhasil menjambret tasnya yang berisi puluhan lembar uang kertas berangka nol-nya lima buah. Entah berapa ratus tas yang ia telah jambret. Di bus, di pasar, di terminal, di stasiun, hingga di angkot.

Suatu saat ia menjambret tas seorang perempuan paruh baya di sebuah pasar yang sedang menggendong seorang anak kecil juga. Hari itu tak berpihak padanya, karena belum mendapat satu mangsa pun. Dan perempuan di pasar itulah mangsa pertamanya. Namun sial. Isi tas yang ia jambret dari wanita itu hanya berisi uang recehan, yang jumlahnya tak lebih dua puluh ribu rupiah. 

Lantas ia merutuki hari sialnya dengan membuang tas itu ke kali yang hitam pekat karena limbah pabrik yang seenaknya membuang air celupan tekstil ke sungai. Tas itu bergumul dengan tumpukan sampah dan ratusan botol plastik, kantung kresek serta sterofoam yang menyumbat aliran sungai.

"Dasar sial!" rutuknya saat itu

Hari selanjutnya ia nekad membobol sebuah ATM. Berharap keuntungan yang lebih. Tentu saja ia tidak seorang diri. Dengan beberapa teman sekeyakinannya ia merencanakan matang atas pembobolan tersebut. Bisa dikata ia masuk sebuah jaringan sindikat pembobol mesin uang di kota-kota besar. Bahkan berkali-kali ia sukses menyetor hasil bobolannya, hingga ia diangkat menjadi ketua geng dan selalu mendapat bonus dari sang bos sindikat. Hingga suatu saat apes menimpanya kembali.

Kali itu, ia berhasil membobol sebuah mesin uang di sebuah area mall. Namun aksinya sudah tercium penegak hukum. Hingga ia dan beberapa temannya terpaksa kabur dan lari. Namun nahas, sebuah timah panas berhasil menembus betis kaki kirinya. Hingga ia terpaksa digelandang dan masuk sel tahanan. Sejak itulah resmi mejadi penghuni hotel rodeo.

"Ongkosnya, Mas!" Tangan  sang kondektur menepuk pundak lelaki itu. Tentu saja semua gelembung lamunannya pecah dan buyar seketika. segera ia menyodorkan dua lembar uang bergambar Presiden dan  Wakil Presiden RI yang pertama.

"Kurang, dong!" si kondektur bernada tinggi.

 "Berapa, kurangnya?"

"Selembar lagi!"

Tanpa banyak bicara lelaki itu menyodorkan uang empat lembar. "Ongkosnya sekalian dengan Ibu ini." Jempol lelaki itu mengarah kepada si Ibu yang di sebelahnya.

Tentu saja si Ibu kaget. Meski tampak kebingungan, tetapi setelah yakin lelaki itu ikhlas berniat  membayarkan ongkos, akhirnya ia tak bisa berbuat apa-apa, selain berterima kasih. Mendengar percakapan ketiga orang tersebut, wanita yang tadi pindah dan bertukar tempat duduk dengan si ibu menjadi bertanya-tanya. Wajahnya memerah jika lelaki itu tahu kalau ia sudah berpikiran buruk.

Bus melaju semakin kencang setelah ke luar dari jalur tol yang sejak keberangkatan tidak begitu lancar. Gelap pun mulai merayap. Bus tetap melaju melewati jalan berliku dan bekelok tajam. Jalan menurun menanjak seperti ular. Sang supir bergeming karena penumpang mulai hening dan pulas. Sang supir tidak tahu. Hanya ada seorang yang matanya masih belum terpejam. Lelaki bertato yang mengenakan kopiah putih.

Pikiran lelaki itu menembus ke dalam sel tahanan. Di sana ia dipertemukan dengan jalan hidupnya yang lain. Ia banyak menimba ilmu agama dari seorang ustaz yang membina para penghuni jeruji besi. Hingga di dalam sel tersebut ada sebuah majelis taklim bernama At-Taubah. Lelaki itu benar-benar menemukan cahaya-Nya dan benar-benar bertaubat atas segala yang telah ia perbuat. Ia selalu mendapat amanat dari ustaz, jika habis masa rehabilitasinya ia harus menemui satu orang yang paling merindukannya di dunia ini. Yang setiap hari menitikkan airmatanya di atas sajadah.   

"Siapa, dia Ustaz? Saya 'kan belum punya istri, apalagi anak," desaknya suatu ketika.

"Tentu saja Ibumu."

"Saya malu Ustaz, saya sudah diusir dari kampung. Tak mungkin Ibu saya mau menerima anaknya yang berlumur dosa ini."

"Tidak ada satu pun di dunia ini, seorang ibu yang tega mengusir anaknya sendiri. Meski anaknya pembuat dosa besar sekali pun," tegas ustaz lagi.

"Mintalah maaf ke pangkuannya. Temuilah ia setelah kau menghirup udara bebas."

***

Bus melaju semakin kencang. Menembus sunyi dan gelap. Suara takbir sayup-sayup menembus celah hutan pohon pinus yang berjejer di kiri kanan jalan. Menjadi penghias terbing-tebing curam.  Lantunan takbir terkadang hilang diterpa angin. Udara kian beku dan dingin.

Di sebuah kelokan yang jalannya menurun, sang sopir tak dapat mengendalikan bus. Ia terus berusaha mengendalikan laju kendaraan yang berjubel penumpang tersebut. Orang-orang yang sedang bermimpi untuk bertemu sanak keluarganya termasuk lelaki bertato yang air matanya terus meleleh mendengar lantunan takbir.

Sayup-sayup timbul tenggelam. Ia melihat wajah ibunya yang keriput menyambut di depan pintu rumah biliknya. Wanita yang ia rindukan itu mengenakan kain mukena putih menebar senyum di antara air bening seperti sungai menyusuri celah-celah kulitnya yang cokelat dan kering. Lalu menyusuri kedua ujung bibirnya yang bergetar. Air bening itu rebah ke tanah di depan rumah.

Bus melaju tak terkendalikan. Rem blong tak dapat dihindari. Bus masuk ke jurang yang dalam. Tiada jerit dan tangis. Semua sunyi setelah dentuman keras. Hanya suara takbir yang terus mengalun. Lelaki itu tersenyum dalam sunyi mengusap air mata ibunya. []

Cianjur, 27 Ramadan 1440-H/ 1 Juni 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun