TERMINALÂ bus mulai ramai. Ribuan pasang kaki hilir mudik. Semua pemilik kaki berwajah serius dengan kening berkerut, sesekali di antara mereka menyeka keringat. Di badannya bermacam benda bergelayut. Ada yang membawa tas, ransel, ada yang yang memanggul koper terikat tali rapia, ada yang gendong anaknya yang menangis meminta minum dan menunjuk mainan. Ada yang menenteng tas enteng, ada yang menggusur koper entah isinya. Pakaian atau mungkin oleh-oleh. Mungkin juga bom!
Matahari turut sibuk begegas. Panasnya menyucuk ubun-ubun setiap manusia yang berlalu-lalang. Aspal terasa seperti pemanggangan sate. Sedangkan angin entah ke mana. Seorang lelaki berlari menuju kerumunan yang berdesakkan di mulut pintu bagian depan sebuah bus. Di punggungnya nempel sebuah back packer lepek. Rambuntya tebal sebahu tetapi rapi. Kepalanya tertutup kopiah putih. Dengan t-shirt hitam belel dengan gambar wajah yang tak jelas, serta rompi denim biru pudar. Sementara celana denimnya pun tak kalah pudar. Dengan bagian paha dan lututnya robek-robek.
Setelah melewati puluhan calon penumpang dan berhasil lolos ke dalam bus, ia mendapat tempat duduk di barisan ketiga di belakang supir. Bersebelahan dengan seorang wanita berambut sebahu yang bibirnya bergincu merah tebal. Alisnya tak lebih mirip celurit di atas matanya yang berbulu mata anti badai.Â
Pandangannya menyusuri tubuh lelaki itu. Seketika saja bola matanya terpaku pada lengan bagian atas lelaki bertulang rahang persegi itu. Di sana ada tato gambar kalajengking. Keningnya langsung mengernyit. Segera ia berniat mencari tempat duduk lain. Namun semua tampak sudah penuh. Beruntung di kursi barisan ke dua dari tempat duduk supir, tepat di depan tempat duduknya ada seorang ibu berkerudung cokelat sedang mengais dan membujuk seorang anak kecil yang tengah menangis.
"Bu, boleh tukar tempat duduknya? Mungkin anak Ibu kegerahan. Di sini dekat dengan jendela."
Wanita itu berhasil membujuk si ibu. Langsung mereka bertukar tempat dan si wanita berambut gelombang manja, memegang erat tasnya. Hatinya merasa ngeri melihat tato di lengan lelaki di sebelahnya. Benar saja anak si ibu mulai diam. Angin dari kaca jendela bus yang sedikit terbuka sepertinya ampuh untuk mengusir gerah si anak yang sejak masuk bus mulai menangis.
Lelaki bertato itu sudah tidak aneh dengan perlakuan semacam wanita tadi. Ia sudah sering diperlakukan seperti itu. Pikirannya ingat beberapa tahun ke belakang. Saat ia membuntuti seorang gadis lalu berhasil menjambret tasnya yang berisi puluhan lembar uang kertas berangka nol-nya lima buah. Entah berapa ratus tas yang ia telah jambret. Di bus, di pasar, di terminal, di stasiun, hingga di angkot.
Suatu saat ia menjambret tas seorang perempuan paruh baya di sebuah pasar yang sedang menggendong seorang anak kecil juga. Hari itu tak berpihak padanya, karena belum mendapat satu mangsa pun. Dan perempuan di pasar itulah mangsa pertamanya. Namun sial. Isi tas yang ia jambret dari wanita itu hanya berisi uang recehan, yang jumlahnya tak lebih dua puluh ribu rupiah.Â
Lantas ia merutuki hari sialnya dengan membuang tas itu ke kali yang hitam pekat karena limbah pabrik yang seenaknya membuang air celupan tekstil ke sungai. Tas itu bergumul dengan tumpukan sampah dan ratusan botol plastik, kantung kresek serta sterofoam yang menyumbat aliran sungai.
"Dasar sial!" rutuknya saat itu
Hari selanjutnya ia nekad membobol sebuah ATM. Berharap keuntungan yang lebih. Tentu saja ia tidak seorang diri. Dengan beberapa teman sekeyakinannya ia merencanakan matang atas pembobolan tersebut. Bisa dikata ia masuk sebuah jaringan sindikat pembobol mesin uang di kota-kota besar. Bahkan berkali-kali ia sukses menyetor hasil bobolannya, hingga ia diangkat menjadi ketua geng dan selalu mendapat bonus dari sang bos sindikat. Hingga suatu saat apes menimpanya kembali.