Mohon tunggu...
Zaini K. Saragih
Zaini K. Saragih Mohon Tunggu... Dokter - dr. Zaini K. Saragih Sp.KO

Dokter spesialis olahraga, praktek di beberapa rumah sakit di Jakarta. Mantan dokter timnas dan komite medis PSSI. Saat ini sebagai chairman Lembaga Anti Doping Indonesia (LADI) dan Indonesia representative board SEARADO (South East Asian Ragional Anti Doping Organization)

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Lisensi Klub, Mau Serius atau Dimaklumi Terus?

12 November 2017   11:54 Diperbarui: 13 November 2017   07:17 2559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


PSSI dibawah pimpinan Ali Sadikin memulai era profesionalisme sepak bola Indonesia akhir tahun 70-an dengan memulai GALATAMA dengan status semi profesional. Saat itu mungkin di Asia, Indonesia  sebagai perintis sepakbola profesional. Awal tahun 80-an, Jepang yang baru akan memulai era sepakbola profesional pun belajar ke Indonesia.

Sekarang sesudah 35 tahun, kita sudah dimana? Jepang sudah di mana? Apa yang salah di kita?

Mungkin ini pertanyaan yang tidak perlu di jawab. Sudah banyak ahli yang menguraikannya. PSSI seperti layaknya cadaver sudah dibuka, diobok - obok sampai jeroannya. Kita sudah paham penyakitnya. Yang jadi masalah, kita mau sembuh atau tidak? Apakah kita mau anak-anak kita nanti tetap mengalami peristiwa yang sama seperti ini 35 tahun lagi? Mudah-mudahan Pak Jokowi bisa membaca tulisan ini, dan melihat sepakbola yang kondisinya sama dengan infrastruktur Indonesia, sepakbola tidak banyak perubahan sesudah 35 tahun, bahkan makin tidak jelas arahnya.

Sekarang ramai masalah sepakbola, bukan prestasinya, tapi seru di bully masyarakat, topik bully-an luar biasa banyaknya. Dari mulai suporter yang vandal merusak stadion sampai kematian penonton, jadwal pertandingan berubah-ubah, wasit yang tidak diakui dan dipercayai, pemain mati di lapangan, pemberian sangsi yang sangat aneh, hingga masalah lisensi klub yang berujung pada tidak diakuinya juara liga Indonesia untuk bertanding di liga champion Asia. Bahkan di website FIFA urutan klasemen beda dengan yang di Indonesia. Miris dan lucu.

Saya pernah membahas tentang kematian pemain di lapangan. Kali ini saya tertarik membahas tentang lisensi klub.

Sepakbola adalah olahraga yang merupakan bisnis sangat besar. Oleh karenanya FIFA membuat aturan dengan detil dan sistematis. Salah satu diantaranya adalah aturan lisensi klub. Aturan ini berlaku untuk klub yang bertanding pada kompetisi profesional. FIFA membagi kasta klub menjadi A, B dan C.

Semua peraturan sudah sangat jelas dijabarkan, klub dan pengelola kompetisi tinggal mengikuti standar yang ditetapkan FIFA. Kalau ada pengelola kompetisi tidak mengikuti standar tersebut, tidak perlu kaget jika klub peserta kompetisinya tidak diizinkan mengikuti kompetisi Internasional yang semuanya mengikuti aturan FIFA.

FIFA menguraikan lisensi klub atas 4 kriteria yang harus dipenuhi:

  1. Kriteria infrastruktur
  2. Administrasi dan SDM
  3. Kriteria legal
  4. Kriteria Financial.

1. Kriteria infrastruktur didasarkan kepada buku law of the game dan football stadium technical recommendation and requirement. Dijelaskan disana semua standarisasi tentang infrastruktur yang harus dimiliki klub.

Dimiliki dalam artian kepemilikan infrastruktur sebagai aset klub atau dimiliki secara lease / sewa (kontrak) jangka panjang. Tidak boleh sebuah klub tidak memiliki stadion home base atau home base-nya berpindah pindah (seperti Persija). Standardisasi stadion bukan hanya masalah lapangan tapi menyangkut hal lain seperti ruangan ganti, ruangan wasit, ruangan medis, ruang pemeriksaan doping, fasilitas penonton yang meliputi tempat duduk, kamar mandi, dan fasilitas umum lainnya. Selain stadion, infrastruktur yang harus dimiliki klub adalah lapangan dan tempat latihan (gym), tempat pembinaan atlet muda, tempat medis, retail area, kantor fans klub, kantor pengurus klub dan lain - lain. Di Indonesia kita lihat saja, ada berapa klub yang memiliki aset infrastruktur (properti)? NOL.

2. Klub sebagai entitas bisnis organisasinya sama dengan perusahaan yang harus memiliki SDM. Secara sederhana SDM klub ada dua kelompok:

   - SDM teknis (pemain, pelatih dan official team lainnya), berupa pegawai tetap, atau tidak tetap namun dikontrak jangka panjang. 

   - SDM administrative, yang sangat dianjurkan mengangkat pegawai permanen (full timer) dan digaji secara profesional. Klub juga harus punya sistem administrasi dan keuangan seperti tim marketing, tim finance, legal dan lain - lainnya. Kita lihat di Indonesia, ada berapa banyak sih pemain yang kontraknya lebih dari 3 tahun? ada berapa banyak klub yang punya dokter tim permanen (full time) atau dikontrak jangka panjang? ada berapa klub yang memiliki tim marketing? Bisa dihitung jari. 

3. Klub harus memiliki legalitas dan aturan legalitas ini agak kaku. Dalam artian tidak bisa klub sesukanya berganti owner atau berpindah - pindah tempat. Misalnya, dalam satu kompetisi tidak boleh ada lebih dari satu klub yang ownernya sama. Tapi di Indonesia pernah terjadi kan?

Klub juga tidak diperbolehkan pindah - pindah lokasi (kota). Tidak bisa yang namanya Persija timur pindah owner dan lokasinya jadi ke Palembang. Sekarang kita perhatikan pada kompetisi terakhir, ada berapa banyak klub yang ownernya dan lokasinya tidak jelas juntrungannya? Sungguh lucu.

4. Klub disyaratkan FIFA agar memiliki modal kerja, selain aset properti dan aset pemain. 

Klub di syaratkan memiliki modal cash keras. Minimal untuk membiayai operasional seperti membayar gaji, biaya latihan dan sebagainya. Tidak ada ceritanya klub akan memulai kompetisi namun cash nya tidak cukup untuk memenuhi operasional satu tahun kompetisi, sehingga di tengah jalan ngemis - ngemis ke pemerintah atau melakukan melakukan tindakan tindakan tidak terpuji demi mengejar cash flow.

Apabila semua aturan FIFA dijalankan di Indonesia, mungkin saat ini tidak ada satu pun klub yang lolos kelas A. Pertanyaannya, klub - klub ini ngapain saja selama 35 tahun? Dimana fungsi PSSI sebagai regulator? Hal ini tidak perlu ditanyakan berulang - ulang, karena kita pun sudah tahu jawabannya.

Jika tidak ada satupun klub yang layang masuk kualifikasi A,  lantas bagaimana? 

Kita harus berani jujur dan terbuka. Dengan mengakui liga kita BUKAN PROFESIONAL. Mungkin semi pro. Tapi berdasarkan pengakuan tersebut, kita dapat membuat program kapan kita siap jadi profesional.  Apakah 5 tahun lagi, 10 tahun lagi?  walau membutuhkan waktu tidak apa - apa dijalani saja prosesnya. Apabila perencanaan sudah ditetapkan,  ayo sama - sama kita kawal dan dukung. Tanpa kesadaran dan kemauan serta kerja keras, 35 tahun lagi anak cucu kita akan menulis seperti yang penulis tulis serta kembali mentertawakan sepak bola Indonesia.

Ayo berubah untuk sepak bola Indonesia yang lebih baik lagi.

dr ZN -Sports Med

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun