Mohon tunggu...
dharu suwandono
dharu suwandono Mohon Tunggu... Guru - ora penting dadi opo-opo, nanging dadio opo-opo sing manfaati

no profile with me, but many profile with us

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan = Tersanderanya pengetahuan, benarkah ?

8 Januari 2025   12:17 Diperbarui: 7 Januari 2025   13:22 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
diedit dari freepik, pngtree and etc

Pandangan umum

Terbelenggu trend simbolis di-dunia-pengakuan menjadi kenikmatan tersendiri bagi setiap individu setelah egosentris mulai berhasil mengutak-atik jalan pemikiran. Major-oriented (kepentingan bersama) tak lagi menjadi sentris dari terwujudnya pendidikan yang menitik beratkan pada teraplikasinya sebuah pengetahuan.

Pendidikan menjadi tak mudah dengan tujuan hakikinya, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan sekaligus sebagai perwujudan nyata dari pengetahuan dalam bentuk kebermanfaatan. Muatan substansial pendidikan seringkali terabaikan dengan berbagai kamuflase-kamuflase kepentingan. Berdalih perbaikan metode atau kebijakan, baik disadari maupun tidak, pendidikan yang seharusnya syarat akan pengetahuan bermakna menjadi tuntutan yang penuh skema transaksional.

Pendidikan penuh dengan berbagai syarat akan symbol, mementingkan legalitas dan cenderung bersifat judgment. Sebagai gambaran sederhana, strata pendidikan akan ditentukan oleh tinggi rendahnya sudut pandang materialistis, bukan kualitas dan keadilan. Pendidikan juga akan berorientasi pada ijazah atau gelar yang tak menunjukkan sepenuhnya capaian kompetensi. Dan pada akhirnya pendidikan itu sendiri akan tersandera dengan kepentingan-kepentingan praktis yang cenderung bersifat individual.

Problematika pendidikan di Indonesia selalu dikaitkan dengan tingkat ke-efektifan sebuah model kurikulum sebagai sebuah grand-desain terhadap perkembangan pendidikan itu sendiri. Hal ini sangat tidak relevan, mengingat urgenitas perubahan, evaluasi dan tindak lanjut yang syarat akan perbaikan, tak didasarkan pada sumber masalah yang menjadi dasar-dasar pendidikan itu sendiri.

Telah menjadi bahasan umum, manakala terjadi perubahan strutur pemegang kebijakan maka akan terjadi pula perubahan kurikulum, dimana cenderung menitik-beratkan seolah-olah sebagai perubahan paradigma pendidikan. Hal tersebut menjadikan para praktisi lapangan, khususnya para pendidik (subjek) yang bertatap muka dengan objek pendidikan (siswa) menjadi galau hebat. Dan pada akhirnya mereka harus berjibaku keras dengan bentuk perubahan administrasi yang sebenarnya hanya sebagai factor pendukung dalam ranah pengetahuan.

Memaknai Substansi dan esensi Pendidikan

Pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya memberi dan menerima pengetahuan. Sedikit berbicara tentang substansi pendidikan, yakni sebuah istilah “kompetensi” atau kecakapan, tentu saja sudah menjadi bahasan sehari-hari bagi para pakar, praktisi bahkan pelaku pendidikan dalam hal ini peserta didik. Akan tetapi yang menjadi tanda-tanya adalah ”apakah kita benar-benar paham dan telah memaknai secara esensi dari sebuah kecakapan?”.

Sejak  2004, kita telah mengenal perubahan sebuah paradigma pendidikan yang disajikan dalam bentuk kurikulum yakni KBK. Dari sinilah istilah kompetensi dimunculkan sebagai sebuah jargon pendidikan atas sebuah perjalanan liku-liku pendidikan yang berbasis materi (konten). Akan tetapi domain dari kurikulum 2004 yang seharusnya syarat akan kompetensi tidak mencerminkan bentuk penerapan yang baik sebagai sebuah hasil dari berjalannya pendidikan.

Kompetensi yang dihadirkan sebagai substansi pendidikan seharusnya layak pula diwujudkan dalam nuansa esensial. Dimana sebuah kompetensi yang didapat oleh peserta didik memiliki makna yang lebih mendalam, yakni sebagai aspek dari dalam individu  yang berupa pengetahuan/ketrampilan untuk dapat dituangkan dalam bentuk kebermanfaatan. Baik manfaat bagi diri, masyarakat serta bangsa dan negara.

Dari kajian tersebut layak pula seharusnya pos-pos mana yang seharusnya mendapatkan perhatian untuk dievaluasi dan ditindaklanjuti. Bukan hanya pada bentuk symbol atau legalitas dengan jargon-jorgon semu yang menambah dan memperumit administrasi.

Era Baru

Perubahan Pucuk pimpinan telah terjadi di penghujung tahun 2024. Harapan pendidikan menjadi lebih baik tentu saja menjadi impian bangsa Indonesia, sekaligus pendidikan diharapkan menjadi lebih mengerti kepentingan bangsa dengan bonus demografinya.

Kita patut apresisiasi langkah Mendikdasmen terkait upaya awal yakni lebih banyak mendengar keluhan dan menerima masukan. Akan tetapi juga perlu digaris-bawahi pula, bahwa perbaikan-perbaikan yang dilakukan tidak semata sebagai sebuah langkah praktis yang justru bersifat egosentris.

Perubahan Kurikulum baik parsial maupun general harus memperhatikan dampak-dampak sosio-psikologis dari para pelaku pendidikan, karena disitulah letak langkah awal memastikan kesiapan sebuah kurikulum sanggup berjalan dan berkembang secara baik. Sehingga tidak ada lagi nuansa perubahan kurikulum yang didasarkan pada perubahan kepemimpinan, melainkan perbahan kurikulum benar-benar didasarkan atas perbaikan unsur-unsur pendidikan untuk kebermanfaatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun