Mohon tunggu...
dharu suwandono
dharu suwandono Mohon Tunggu... Guru - ora penting dadi opo-opo, nanging dadio opo-opo sing manfaati

no profile with me, but many profile with us

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Penunggang Gelap Konstitusi

2 Desember 2024   08:25 Diperbarui: 2 Desember 2024   09:09 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbekal istilah "Suudzon" pada tindakan yang diprediksi akan berindikasi lahirnya kejahatan, lebih bisa dikatakan bijaksana, daripada ber-"Kuznudzon" dalam diam tetapi membiarkan semua keburukan terjadi. Konsep berfikir seperti ini tak semestinya menjadikan upaya pencegahan (preventif) terstigma sebagai sentiment atau provokasi terhadap sesuatu yang sepantasnya mendapatkan pengawasan secara proporsional.

Masyarakat awam sangat sulit menterjemahkan sebuah konstitusi akan berlaku baik dan bijak sebagai cara untuk berdamai dengan berbagai aspek  kehidupan bernegara. Hal tersebut mengingat bahwa konstitusi itu sendiri pada akhirnya cenderung hanya menjadi sebuah perangkat kepentingan untuk memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan tertentu, dalam hal ini terkait dengan kepentingan para penyeleweng konstitusi.

Kaidah umum lahirnya sebuah konstitusi secara substansial adalah pembatasan, pembagian atau pendeskripsian tupoksi kewenangan dari sebuah kekuasaan, yang dalam hal ini pemerintah sebagai penyelenggara sebuah negara. Dengan kaidah tersebut kekuasaan itu sendiri wajib berupaya melakukan pemenuhan, pengaturan dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia dalam penyelenggaraan sebuah negara.

Muatan substansial tersebut secara esensial (lebih bermakna) terbentuk dan tersusun atas bingkai intelektual sebagai pandangan akademis dan juga bingkai moral sebagai pandangan normative. Sehingga konstitusi yang tersusun atas format substantive secara tertulis, juga tak bisa terlepas dari esensial yakni akal sehat dan etika. Maka secara sederhana bahwa konstitusi lahir sebagi kesepakatan bersama atas akal sehat dan moralitas

Dalam perkembangan berkonstitusi di Indonesia, pengetahuan akan konstitusi seringkali tak mampu tersajikan dengan baik. Bukan karena bentuk formal pendidikan yang kurang baik, melainkan karena minat dan kesadaran berkonstitusi sangat kurang di usia pelajar. Demana terlihat darikonteks faktual kehidupan yang mereka jalani, dan didukung pula mentalitas mereka yang belum stabil.

Sedangkan pada ruang lain melalui forum debat kepentingan di antara elit-elit, seringkali menyajikan tontonan debat kusir yang memberikan pandangan kurang baik secara etik. Tata laksana lapanganpun tak jauh berbeda buruknya, dimana seringkali produk hukum itu sendiri syarat akan perlakuan kriminalisasi dan atau intimidasi pada masyarakat awam, atau sering kita dengar dengan "hukum  tajam ke bawah dan tumpul ke atas'.

Langkah kongrit menjaga integitas sebuah konstitusi sangat perlu dilakukan sebagai upaya menjaga marwah konstitusi sebagai penjaga dan pengawas dengan netralitasnya. Upaya tersebut harus mendapat perhatian khusus, karena banyak ditengarai seringkali kejahatan terselubung dan absolut muncul dari penyalahgunaan konstitusi oleh pihak-pihak tertentu yang dapat kita definisikan sebagai "Penunggang Gelap kontitusi".

Para penunggang Gelap

  • Pembalikan alur pembentukan produk hukum

Seperti kita ketahui, produk hukum diawali dengan sebuah perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan dan pengundangan. Proses procedural yang semestinya menjadi tahapan-tahapan yang runtut, dilakukan terbalik atau acak dengan tujuan kepentingan tertentu. Hal tersebut akibat terlepasnya naskah akademis sebagai bagian atau tahapan penting yang sengaja dihilangkan atau dimanipulasi.

Dalam tahap awal, sebuah perencanaan dan penyusunan pastinya tak terlepas dari naskah akademis, yang didalamnya terurai pandangan, pertimbangan dan sekaligus dasar penguat lahirnya sebuah produk hukum. 

Naskah akademis yang seharusnya menjadi kerangka dasar substansi-esesnsial dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, harus dikerdilkan fungsi dan perannya, karena terbaca akan mengancam dan atau membatasi perilaku-perilaku yang pragmatis, oportunis dan cenderung menyimpang.

Perilaku-perilaku tersebut sangat berbahaya jika dimiliki oleh penguasa, yakni para pejabat-pejabat yang memiliki kewenangan membuat peraturan perundangan, untuk dapat diselewengkan dengan membungkus/mengklamufasekan tindakan jahat dalam ruang-ruang yang memang dihadirkan atas lahirnya produk hukum.

  • The Buggler of Legal Loophole

Legal Loophole atau celah-celah hukum, dan  buggler adalah istilah sederhana yang seringkali dapat digunakan bagi seseorang ketika dapat membaca atau menemukan kesalahan (perbuatan melanggar hukum), akan tetapi tidak terbaca sebagai sebuah pelanggaran di mata hukum secara substansial (tertulis).

Para penunggang gelap kostitusi seringkali memanfaatkan celah ini sebagai jalan keluar atau jalan masuk tersembunyi yang memang sudah diprediksi untuk digunakan sebagai peluang melakukan tindakan. Dan pada umumnya pelaku-pelaku ini muncul dari mereka yang memang benar-benar ahli di bidang hukum atau praktisi hukum yang sengaja bermain hukum untuk kepentingan tertentu.

Berbeda dengan bentuk kejadian sebelumnya, bahwa lahirnya produk hukumnya yang memang bermasalah. Legal loophole ditengarahi sebagai pelaksanaan dari produk hukum yang harus bisa ditemukan celah produk hukum itu sendiri untuk dapat bermasalah atau bisa dibenturkan dengan produk hukum yang sama atau ter-strata di atasnya, seperti  UUD 1945, sehingga dapat diutak-atik sesuai selera kepentingan.

Memang hal tersebut bisa dilakukan secara sah, seperti pengujian materi undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi menjaga integritas dari produk hukum itu sendiri agar terhindar dari jeratan-jeratan kepentingan harus bisa lebih diutamakan dengan pertimbangan kajian-kajian yang semestinya tidak premature, khususnya dari pandangan hukum secara moral dan intelektual.

  • Permainan kacamata Tafsir

Membaca, mentelaah dan melaksanakan sebuah bahasa dari produk hukum tentu saja tak sama dengan menyusun dan sekaligus mensepakati produk hukum tersebut. Menyusun produk hukum secara awam pastinya berpandangan bahwa, kaidah-kaidah yang baik harus dihadirkan dan disepakati sebagai pedoman untuk tatanan kehidupan yang lebih baik.

Kacamata tersebut tidak berlaku lurus saat seseorang harus memandang hukum sebagai sebuah batas untuk membatasi "mengekang" hak individual atau kelompok, dimana hak-hak tersebut cenderung telah ditunggangi oleh kepentingan tertentu. Sehingga dari kacamata itu pula lahirnya sebuah motif jahat untuk meng"akali" konstitusi dengan memunculkan tafsir agar konstitusi dapat berlaku lain bagi kepentingan tertentu.

Berlakunya tafsir konstitusi yang tidak obyektif inilah, cenderung dimainkan oleh oknum-oknum yang memang bergelut di ranah hukum dan membuat hukum seperti pedang bermata tajam pada orang yang awam akan hukum. Dari konteks itulah menjadikan hukum terlihat selalu tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Dari sudut lain, kacamata tafsir juga bisa digunakan untuk lepas dari pandangan-pandangan negative yang telah disangkakan. Hal tersebut seringkali dilakukan oleh elit-elit politik untuk lepas dari jerat atas tindakan yang dianggap tidak sesuai dan berlawanan dalam berpolitik, atau sebaliknya. Sehingga disini fungsi hukum seperti mainan praktis yang bisa di bolak-balik untuk dapat difungsikan sesuai kepentingan politik.

  • Penggiringan opini dan normalisasi

Berlanjut dari permainan tafsir, adalah upaya normalisasi dengan melakukan penggiringan opini dari sesuatu hal yang semestinya patut untuk diawasi, dicegah atau ditindak secara konstitusional menjadi sebuah keadaan normal yang baik-baik saja.

Upaya-upaya tersebut sebenarnya telah umum di kalangan para elit politik. Karena sebenarnya hal tersebut menjadi sebuah kewajaran bagi mereka untuk berkelit dan membela atas pandangan dan tindakan selama berpolitik, walaupun ada kalanya pada kalangan tertentu, seperti akademisi dan budayawan juga memberikan sorot yang tidak etis atas upaya tersebut.

Upaya normalisasi sebenarnya menjadi sebuah ancaman tersendiri bagi masyarakat karena kecenderungannya yang bersifat laten, mengingat tujuan dibalik normalisasi yang sebenarnya untuk menutupi kejanggalan-kejanggalan yang terjadi agar tidak terbaca sebagai sebuah tindakan penyelewengan.

Masyarakat yang seharusnya mendapatkan sebuah wawasan konstitusional secara terbuka, harus terkontaminasi oleh modus pencintraan politik yang telah sengaja di sekenario dengan mengotak-atik konstitusi. Sehingga peluang miss konsepsi akan konstitusi itu jauh lebih besar terjadi daripada pemberian wawasan yang semestinya mengedukasi dan menjadi hak bagi warga negara untuk cerdas berkonstitusi.

Berdasar dari uraian diatas, maka diperlukan langkah-lahkah yang baik dan kongrit untuk cerdas berkonstitusi, khususnya yang berdampak langsung bagi masyarakat pada umumnya, dimana hal tersebut sebagai upaya perlindungan bagi warga negara atas maraknya penyalahgunaan konstitusi oleh para penunggang gelap.

Masyarakat tidak seharusnya menjadi objek hukum semata, dimana masyarakat selalu mendapatkan getah pahit dari setiap pelaksanaan konstitusi yang selalu tajam ke bawah tumpul ke atas. Pendidikan moral harus menjadi pedoman dasar dalam upaya mencerdaskan masyarakat akan berkonstitusi, dengan harapan penyelewengan akan terkontrol oleh nurani yang sudah menjadi kodrat manusia itu sendiri.

Pemerintah sebagai penyelenggara negara harus bisa menjaga integritas sebuah konstitusi agar berlaku baik sesuai fungsinya. Keteladanan-keteledanan yang baik diperlukan bagi masyarakat sebagai sarana edukasi yang memang terbaca langsung sebagai bentuk murninya moralitas seorang pemimpin.

Demikian sedikit uraian terkait wacana konstitusi dengan berbagai macam problematika yang dapat disajikan secara sederhana. Semoga menjadi penambah wawasan yang positif dikemudian hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun