Sejak awal 2020 hingga saat ini, Covid-19 telah merebut perhatian dunia. Seluruh media menyorot. Seluruh konsentrasi negara-negara di dunia, baik kebijakan politik dan anggaran difokuskan pada penanganan Covid-19.
Dengan besarnya perhatian kepada Covid-19, organisasi bantuan CARE mengungkapkan, perhatian terhadap krisis kemanusiaan menjadi tidak mendapat tempat. Beralihnya pemberitaan membuat krisis semakin memburuk. Dalam laporan tahunannya, CARE memberi judul "Suffering in Silence" (menderita dalam senyap).
Care International dalam laporannya juga mengungkap, bahwa pandemi Covid-19 tidak hanya mengalihkan perhatian internasional dari krisis kemanusian, tapi juga ikut membantu memperburuknya. Efek Covid-19, ditambah dengan dampak perubahan iklim yang terus meningkat, telah meningkatkan jumlah orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan hingga 40 persen. Angka ini merupakan peningkatan terbesar dalam setahun yang pernah dicatat.
Selain itu, CARE juga mencatat adanya penurunan signifikan dalam bantuan pembangunan bilateral. Hal ini disebabkan, negara-negara donor yang lebih kaya saat ini tengah mencoba mengalihkan sumber daya mereka untuk mengatasi dampa ekonomi dan sosial Covid-19 di dalam negerinya.
Indonesia, Pekerjaan Rumah yang Menumpuk dan Bencana Kemanusiaan yang Bertambah
Di awal tahun 2021, bencana silih berganti membawa rasa takut dan air mata di pangkuan Ibu Pertiwi. Dalam catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), per 10 Januari 2021, terdapat 76 kejadian bencana alam. Antara lain, 49 kejadian banjir, 15 tanah longsor, 11 puting beliung, 1 gelombang pasang dan abrasi.
Bencana alam hingga per 10 Januari 2021 ini mengakibatkan 104.441 orang menderita dan mengungsi, serta hilang dan luka-luka dengan masing-masing 9 orang. Angka ini belum  mencakup data korban bencana seperti banjir di Kalimantan Selatan, gempa dengan kekuatan 6,2 SR di Sulawesi Barat, bencana longsor di Sumedang, dan erupsi Merapi dan Semeru.
Di tengah meningkatnya kebencanaan dan "hantu" Covid-19 yang terus membuat setiap orang bergidik, sejumlah kebencanaan tahun-tahun sebelumnya masih menyisakan pekerjaan rumah. Misalnya, gempa Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 2018, dari Inpres Nomor 5 Tahun 2018 tentang Percepatan Rehabilitasidan Rekonstruksi Pasca Bencana Gempa Bumi di Wilayah terdampak di Provinsi NTB yang menargetkan selesai Desember 2019 nyatanya molor.
Dari portal berita Lombok Post, per Juni 2020, nyatanya 11.853 rumah korban gempa di NTB belum tersentuh bantuan. Jika angka ini dikalikan rata-rata empat orang berada dalam setiap rumah, bisa dibayangkan berapa jumlah manusia yang mesti hidup dalam pengungsian atau pun puing tak layak huni dalam 2 tahun 3 bulan?
Pekerjaan rumah pemerintah dalam menangani bencana juga disorot ketika menangani gempa Palu yang diiringi tsunami yang terjad Oktober 2018. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah (Walhi Sulteng), Abdul Haris Lapabira pernah mengkritisi lambannya kinerja pemerintah menangani korban yang hingga satu tahun terlantar di pengungsian.
Jangan Anggap Enteng Bencana!
Menangani bencana bukanlah perkara sederhana. Diperlukaan kepekaan, keberpihakan kebijakan, dan management crisis leadership yang baik. Salah-salah dalam mengelola bencana bisa berakibat fatal. Alih-alih bisa melakukan rekonstruksi sosial dan infrastruktur malah bisa mengakibat krisis kemanusiaan yang berkepanjangan.
Oleh sebab itu, menyikapi situasi bencana di awal 2021 ini, penting bagi pemerintah untuk tidak "egois" dalam menjalankan pemerintahan. Tidak hanya mendengar kawan selingkaran, tapi juga merangkul sahabat yang berbeda barisan.
Mungkin masukan dari partai politik (parpol) di luar pemerintahan, seperti Partai Demokrat yang memberi masukan agar pemerintah tidak terlalu "bernafsu" membangun infrastruktur perlu dipertimbangkan ulang. Segala yang berat tentunya akan lebih ringan apabila dikerjakan bersama-sama. Gotong-royong bahasa "Pancasilanya". Atau, "berat sama dipikul, ringan sama dijinjing" kata pepatah.
Selain itu, bencana yang melanda negeri akhir-akhir ini juga menjadi pekerjaan rumah besar Menteri Sosial baru, Tri Rismaharini. Jika untuk pemulung di Ibu Kota, Risma bisa menjanjikan tempat tinggal, tentu janji dan komitmen Risma juga ditunggu oleh para korban bencana.
Jangan sampai, gara-gara lokasi bencana yang sulit ditempuh dan sedikit awak media membuat Risma menjadi pilih kasih. Jangan sampai, akibat daerah-daerah yang terkena bencana bukan bagian dari target "skenario politik", maka Mensos tak meliriknya. Tugas Mensos meliputi Sabang hingga Merauke, dari Mianggas hingga Pulau Rote.
Covid-19 telah membawa dampak negatif bagi perekonomian dunia, khususnya Indonesia. Jika pemerintah tidak siap menghadapi kolaborasi Covid-19 dan krisis kebencanaan, maka "neraka" krisis kemanusiaan tak dapat dielakkan.
Kita tidak bisa lari dari bencana. Satu-satunya cara adalah menghadapinya. Tentunya tidak hanya maju tanpa senjata (persiapan). Dibutuhkan kematangan emosional, kerja sama yang solid antar anak bangsa, dan kebijakan yang jauh dari pencitraan demi kepentingan politik semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H