Mohon tunggu...
Dwi Rahmadj Setya Budi
Dwi Rahmadj Setya Budi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku Suara Rakyat, Suara Tuhan; Mengapa Gerakan Protes Sosial Sedunia Marak?

Jangan risih jika berbeda, tapi waspadalah jika semua terlihat sama.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Cara "Kolonial" Bungkam Protes Buruh

10 Oktober 2020   09:09 Diperbarui: 10 Oktober 2020   09:25 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Protes Buruh, Sumber: Sinar Keadilan

Aksi protes dan mogok kaum buruh di Indonesia telah terjadi sejak 2 abad silam. Pemogokan pertama dalam sejarah Indonesia tercatat terjadi pada tahun 1882 di Yogyakarta yang terjadi dalam tiga gelombang massa secara berturut-turut. 

Adapun isu yang diangkat kelompok buruh, yakni 1) upah; 2) kerja gugur-gunung yang terlalu berat; 3) kerja jaga 1 hari tiap 7 hari; 4) kerja moorgan yang tetap dijalankan padahal tidak lazim lagi; 5) upah tanam sering tidak dibayar; 6) banyak pekerjaan tidak dibayar padahal bukan kerja wajib; 7) harga yang dibayar pengawas terlalu murah dibandingkan harga pasar; 8) pengawas Belanda sering memukul petani.

Apakah kita merasa akrab dengan tuntutan itu?

Selain itu, aksi protes buruh yang menjadi peringatan terpanjang dalam sejarah hari buruh di era kolonial juga pernah terjadi pada tahun 1923. Setelah perayaan 1 Mei, karena penurunan gaji buruh, seminggu kemudian terjadi pemogokan buruh kereta api yang tergabung dalam Vereeniging voor Spoor en Tramweng Personeel (VSTP). Aksi mogok ini meledak di beberapa kota.

Namun, aspirasi kaum buruh ditanggapi gertakan lebih keras oleh perusahaan kereta api; "Apabila dalam 24 jam pekerdjaan tidak didjalankan lagi maka pemogok akan dilepas", laporan Kaoem Moeda (11/5/1923). 

Artinya, para buruh yang mogok jika tidak kembali bekerja maka akan dipecat. Selain itu, pengerahan pasukan militer KNIL dan kompi kedua dari Legiun Mangkunegaraan Solo juga dilakukan untuk mengawasi para pemogok dan menangkapi sejumlah tokoh buruh.

Apakah ancaman pengusaha dan represifitas aparat masih terjadi hingga hari ini?

Pandangan Negatif Penguasa atas Aksi Penolakan RUU Ciptaker

Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang akhirnya disahkan oleh DPR RI pada Senin, 5 Oktober 2020, berbuntut penolakan oleh sejumlah elemen masyarakat. Aksi unjuk rasa yang terdiri dari berbagai elemen; kelompok buruh, aktivis lingkungan, aktivis perempuan, masyarakat adat, mahasiswa, aktivis hukum dan HAM, anak STM, dan lain sebagainya, terjadi hampir merata di seluruh Indonesia dalam rentang 6-9 Oktober 2020.

Dalam mengantisipasi meluasnya aksi unjuk rasa sebenarnya pemerintah telah melakukan upaya dini. Hal itu terlihat dari terbitnya Surat Telegram Kapolri yang bocor ke publik dan sempat dikecam oleh beberapa pihak. Namun, derasnya penolakan di lapangan ternyata tak dapat dibendung hanya dengan Surat Telegram Kapolri dan tindakan represif oknum aparat semata.

Kontra opini pun terjadi. Pihak penguasa menyebut banyak informasi hoaks terkait UU Ciptaker. Pemerintah juga menyebut unjuk rasa penolakan UU Ciptaker disponsori. BuzzeRp tuding Partai Demokrat provokator dan sponsor unjuk rasa. Bahkan, ketika ada kerusakan yang terjadi saat unjuk rasa, tudingan demonstran sebagai perusuh pun disematkan untuk membalikkan reaksi publik.

Padahal jika terbuka dan jujur, informasi valid yang disebut pemerintah atau draft RUU Ciptaker yang diketok palu menjadi undang-undang tidak diterima anggota Baleg saat sidang paripurna. Jika yang membahas, menggodok produk legislasi saja tak dapat membaca aturannya, lalu apa yang mau dibaca rakyat?

Akhinya, rakyat hanya membaca UU Ciptaker tak lebih dari sekedar produk cacat prosedural yang berkemungkinan bisa merugikan hajat hidup orang banyak. Jika seandainya draft RUU Ciptaker bisa diakses oleh banyak pihak, transparan, sesuai dengan mekanisme prosedural yang diatur undang-undang dan melibatkan seluruh komponen yang terkait, tentu aksi unjuk rasa seperti kemarin tidak terjadi.

Selain itu, tudingan pihak penguasa dan para buzzeRp bahwa unjuk rasa penolakan UU Ciptaker disponsori oleh pihak tertentu, selain melukai hati para buruh dan elemen pengunjuk rasa lainnya juga sekaligus menunjukkan ketidakpekaan penguasa dengan aspirasi rakyatnya.

Pada dasarnya unjuk rasa 6-9 Oktober 2020 lalu adalah akumulasi luapan kekecewaan seluruh elemen rakyat. Sejak awal RUU Omnibus Law Ciptaker diusulkan pemerintah dan proses pembahasannya di DPR RI telah ditolak berkali-kali.

Aksi penolakan sebelumnya terjadi saat menjelang peringatan hari buruh 1 Mei 2020, di mana saat itu massa buruh mengancam akan melakukan unjuk rasa meskipun dalam situasi pandemi Covid-19 apabila pembahasan di DPR RI tetap dilanjutkan. Akhirnya, jalan tengah pun diambil pemerintah dengan menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan.

Jadi, tudingan unjuk rasa disponsori dan diprovokasi oleh salah satu partai politik; dalam hal ini mengarahkan narasi kepada Partai Demokrat yang menolak UU Ciptaker, tentunya sangat tendensius dan beraroma politis. 

Bisa jadi tudingan beraroma politis itu disebabkan 'baper' melihat besarnya apresiasi rakyat kepada Partai Demokrat yang dianggap konsisten memperjuangkan suara dan harapan rakyat. Tapi dalam konteks penolakan UU Ciptaker hari ini, tudingan tersebut sama saja artinya melecehkan kemurnian perjuangan kaum buruh atas hak-haknya.

Namun, terlepas dari rasa iri secara politis, menuding tanpa dasar dan mendahului prasangka tanpa diawali proses hukum yang berjalan adalah kejahatan serius. Jika kita menggunakan segala kemampuan akal untuk merunut masalah dan sejarah, sebenarnya penolakan Partai Demokrat adalah bentuk upaya menyelamatkan wajah pemerintah agar senantiasa amanah dan menepati janjinya kepada rakyat.

Tudingan pendemo adalah tukang rusuh juga bukan pilihan narasi yang bijak. Pengrusakan yang terjadi saat aksi tidak serta merta bisa dilekatkan dari niat perjuangan mereka. Sama halnya jika ada tindak kekerasan yang dilakukan aparat saat penanganan aksi, yang disebut adalah oknum bukan institusinya. Dalam konteks itu kita harus adil dalam menakar.

Jika pemerintah beranggapan protes sosial adalah sebuah kesia-siaan yang hanya berdampak negatif terhadap keberlanjutan pembangunan, kolonial pun dalam menanggapi aksi protes dan gerakan sosial akan beranggapan sama. 

Ingatlah, perubahan besar di negeri ini berawal dari protes dan gerakan sosial. Tanpa adanya protes dan gerakan kaum muda, Indonesia belum tentu merdeka 17 Agustus 1945. Tanpa adanya protes dan gerakan reformasi 1998, belum tentu kita bisa menikmati alam demokrasi seperti hari ini.

Jadi mari tinggalkan cara pandang kolonial dalam melihat realitas sosial dan protes rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun