Padahal jika terbuka dan jujur, informasi valid yang disebut pemerintah atau draft RUU Ciptaker yang diketok palu menjadi undang-undang tidak diterima anggota Baleg saat sidang paripurna. Jika yang membahas, menggodok produk legislasi saja tak dapat membaca aturannya, lalu apa yang mau dibaca rakyat?
Akhinya, rakyat hanya membaca UU Ciptaker tak lebih dari sekedar produk cacat prosedural yang berkemungkinan bisa merugikan hajat hidup orang banyak. Jika seandainya draft RUU Ciptaker bisa diakses oleh banyak pihak, transparan, sesuai dengan mekanisme prosedural yang diatur undang-undang dan melibatkan seluruh komponen yang terkait, tentu aksi unjuk rasa seperti kemarin tidak terjadi.
Selain itu, tudingan pihak penguasa dan para buzzeRp bahwa unjuk rasa penolakan UU Ciptaker disponsori oleh pihak tertentu, selain melukai hati para buruh dan elemen pengunjuk rasa lainnya juga sekaligus menunjukkan ketidakpekaan penguasa dengan aspirasi rakyatnya.
Pada dasarnya unjuk rasa 6-9 Oktober 2020 lalu adalah akumulasi luapan kekecewaan seluruh elemen rakyat. Sejak awal RUU Omnibus Law Ciptaker diusulkan pemerintah dan proses pembahasannya di DPR RI telah ditolak berkali-kali.
Aksi penolakan sebelumnya terjadi saat menjelang peringatan hari buruh 1 Mei 2020, di mana saat itu massa buruh mengancam akan melakukan unjuk rasa meskipun dalam situasi pandemi Covid-19 apabila pembahasan di DPR RI tetap dilanjutkan. Akhirnya, jalan tengah pun diambil pemerintah dengan menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan.
Jadi, tudingan unjuk rasa disponsori dan diprovokasi oleh salah satu partai politik; dalam hal ini mengarahkan narasi kepada Partai Demokrat yang menolak UU Ciptaker, tentunya sangat tendensius dan beraroma politis.Â
Bisa jadi tudingan beraroma politis itu disebabkan 'baper' melihat besarnya apresiasi rakyat kepada Partai Demokrat yang dianggap konsisten memperjuangkan suara dan harapan rakyat. Tapi dalam konteks penolakan UU Ciptaker hari ini, tudingan tersebut sama saja artinya melecehkan kemurnian perjuangan kaum buruh atas hak-haknya.
Namun, terlepas dari rasa iri secara politis, menuding tanpa dasar dan mendahului prasangka tanpa diawali proses hukum yang berjalan adalah kejahatan serius. Jika kita menggunakan segala kemampuan akal untuk merunut masalah dan sejarah, sebenarnya penolakan Partai Demokrat adalah bentuk upaya menyelamatkan wajah pemerintah agar senantiasa amanah dan menepati janjinya kepada rakyat.
Tudingan pendemo adalah tukang rusuh juga bukan pilihan narasi yang bijak. Pengrusakan yang terjadi saat aksi tidak serta merta bisa dilekatkan dari niat perjuangan mereka. Sama halnya jika ada tindak kekerasan yang dilakukan aparat saat penanganan aksi, yang disebut adalah oknum bukan institusinya. Dalam konteks itu kita harus adil dalam menakar.
Jika pemerintah beranggapan protes sosial adalah sebuah kesia-siaan yang hanya berdampak negatif terhadap keberlanjutan pembangunan, kolonial pun dalam menanggapi aksi protes dan gerakan sosial akan beranggapan sama.Â
Ingatlah, perubahan besar di negeri ini berawal dari protes dan gerakan sosial. Tanpa adanya protes dan gerakan kaum muda, Indonesia belum tentu merdeka 17 Agustus 1945. Tanpa adanya protes dan gerakan reformasi 1998, belum tentu kita bisa menikmati alam demokrasi seperti hari ini.