"Jangan beda dianggap musuh. Kalau beda dianggap musuh, kapan kita mau dewasa. Kalau beda dianggap musuh, kapan kita mau berdemokrasi. Ayo rakyat kita dewasa. Jangan terjebak fanatisme sempit. Saudara senang Zainuddin boleh, fanatik sama Zainuddin jangan.Â
'Kalau buat Pak Zainuddin benar atau salah, saya bela dengan darah saya'. Goblok. Yang benar belain, yang salah dandanin. Kalau salah dibenarin juga, kita menjerumuskan orang namanya. Ayo rakyat kita objektif. Biar keluar dari dubur ayam, kalau memang telur, ambil. Biar keluar dari dubur Kiyai, kalau kuning, kabur".
Kutipan di atas merupakan tausiah ustadz Zainuddin MZ yang dijuluki Dai Sejuta Umat. Beliau tidak hanya fasih dalam memberikan pemahaman agama, tapi beliau juga matang dalam memberikan pemahaman dan wawasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Jika kita melihat kondisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara hari ini, maka dapat satu kesimpulan, masyarakat Indonesia hari ini terjebak dalam fanatisme yang berlebihan.Â
Baca juga : Ekstremisme Menjadi Musuh Kita Dalam Keadaan Apapun
Satu kubu mengatakan junjungannya paling memahami Indonesia, di kubu yang lain mengkultuskan junjungannya lah yang layak meneruskan aspirasi umat di atas bumi pertiwi. Lebih 'goblok-nya' lagi, pihak yang berpikir objektif malah dijadikan musuh bersama oleh kedua kelompok fanatis ini.
Kedua kelompok ini hanya merobek pilihan atas dua warna dasar. Kalau tak merah, ya putih. Mereka lupa, untuk merekatkan Indonesia dalam bingkai 'merah-putih' diperlukan benang yang merajut antara warna merah dan putih. Tanpa ada benang di tengah, maka nihil Fatmawati bisa menjahit bendera pusaka yang mengikat nusantara dalam satu kesatuan merah putih.
Coba kita merenung sesaat. Apa yang telah terjadi dalam lima tahun kebelakang hingga hari ini? Kubu Jokowi mengaku dirinya paling Pancasilais, sedangkan kubu Prabowo mengaku pihaknya didukung ulama. Polarisasi ini menjebak masyarakat dalam dua pilihan sulit. Apakah harus menjadi pancasilais atau menjadi penganut agama yang taat.
Baca juga : Kenali Fakta Narkoba dan Jadilah Musuh Baginya
Jika kita memilih menjadi seseorang yang pancasilais, maka bayang-bayang 'haram' untuk di sholatkan jenazahnya menjadi sebuah ketakutan. Sedangkan memilih menjadi pengikut agama yang taat, label 'garis keras' sudah tak dapat dielakkan. Alih-alih untuk memilih, untuk bersifat objektif saja kita sudah dihakimi oleh kedua kubu.
Mungkin inilah setidaknya yang saya alami dalam menentukan pilihan politik di Pemilu 2019. Di dalam banyak grup Whatsapp yang saya ikuti, saya dipaksa harus memilih antara Jokowi atau Prabowo di tengah perseteruan dan caci maki yang ada. Sikap objektif saya kerap kali dianggap sebagai sebuah sikap netral, yang padahal kedua kata tersebut mempunyai makna yang berbeda.
Objektif adalah sikap yang memisahkan antara fakta dan pendapat pribadi. Dimana fakta tidak dicampur-adukkan dengan pendapat pribadi yang sifatnya subjektif. Seperti kata ustadz Zainuddin, bisa membedakan fakta telur dan kotoran kendati sama-sama keluar dari dubur. Sedangkan netral mempunyai arti keadaan atau sikap yang tidak memihak.
Sikap objektif menuntun kita kepada sikap kritis. Contohnya ketika kita berteman. Sebagai teman yang baik, tentu kritikan dan masukan saling membangun adalah hal yang lumrah. Jika Anda sebagai teman hanya tersenyum palsu dengan kesalahan yang dilakukan teman Anda, maka Anda tidak layak dikatakan Best Friend Forever.
Baca juga : Manusia pada Dasarnya Butuh Musuh
Objektif adalah hal langka di tengah polarisasi yang terjadi hari ini. Tidak hanya secara pribadi ataupun personal, sikap objektif secara lembaga juga kerap dituding yang macam-macam hari ini. Seperti halnya Demokrat yang dituduh begana-begini padahal berupaya objektif melihat ancaman polarisasi yang kian nyata di depan mata. Di kubu Jokowi ia dianggap lawan atau oposisi, di kubu Prabowo ia dituding berkhianat.
Di momentum Ramadhan kali ini, mengingat pesan Ustadz Zainuddin, marilah kita menghargai semua perbedaan. Jangan sampai perbedaan membuat kita saling bermusuhan dan bahkan merusak silaturahmi dengan narasi-narasi adu domba. Semoga momentum Ramadhan membawa penyegaran ke dalam otak kita, bahwa objektif dalam memelihara kebhinekaan dan keutuhan bangsa terlalu mahal harganya dibandingkan satu kursi jabatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H