Mohon tunggu...
Dwi Rahmadj Setya Budi
Dwi Rahmadj Setya Budi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku Suara Rakyat, Suara Tuhan; Mengapa Gerakan Protes Sosial Sedunia Marak?

Jangan risih jika berbeda, tapi waspadalah jika semua terlihat sama.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pesan Mendiang Zainuddin MZ: Beda Jangan Dianggap Musuh

8 Mei 2019   12:37 Diperbarui: 2 Juli 2021   01:04 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesan Mendiang Zainuddin MZ: Beda Jangan Dianggap Musuh (muslimoderat.net)

"Jangan beda dianggap musuh. Kalau beda dianggap musuh, kapan kita mau dewasa. Kalau beda dianggap musuh, kapan kita mau berdemokrasi. Ayo rakyat kita dewasa. Jangan terjebak fanatisme sempit. Saudara senang Zainuddin boleh, fanatik sama Zainuddin jangan. 

'Kalau buat Pak Zainuddin benar atau salah, saya bela dengan darah saya'. Goblok. Yang benar belain, yang salah dandanin. Kalau salah dibenarin juga, kita menjerumuskan orang namanya. Ayo rakyat kita objektif. Biar keluar dari dubur ayam, kalau memang telur, ambil. Biar keluar dari dubur Kiyai, kalau kuning, kabur".

Kutipan di atas merupakan tausiah ustadz Zainuddin MZ yang dijuluki Dai Sejuta Umat. Beliau tidak hanya fasih dalam memberikan pemahaman agama, tapi beliau juga matang dalam memberikan pemahaman dan wawasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Jika kita melihat kondisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara hari ini, maka dapat satu kesimpulan, masyarakat Indonesia hari ini terjebak dalam fanatisme yang berlebihan. 

Baca juga : Ekstremisme Menjadi Musuh Kita Dalam Keadaan Apapun

Satu kubu mengatakan junjungannya paling memahami Indonesia, di kubu yang lain mengkultuskan junjungannya lah yang layak meneruskan aspirasi umat di atas bumi pertiwi. Lebih 'goblok-nya' lagi, pihak yang berpikir objektif malah dijadikan musuh bersama oleh kedua kelompok fanatis ini.

Kedua kelompok ini hanya merobek pilihan atas dua warna dasar. Kalau tak merah, ya putih. Mereka lupa, untuk merekatkan Indonesia dalam bingkai 'merah-putih' diperlukan benang yang merajut antara warna merah dan putih. Tanpa ada benang di tengah, maka nihil Fatmawati bisa menjahit bendera pusaka yang mengikat nusantara dalam satu kesatuan merah putih.

Coba kita merenung sesaat. Apa yang telah terjadi dalam lima tahun kebelakang hingga hari ini? Kubu Jokowi mengaku dirinya paling Pancasilais, sedangkan kubu Prabowo mengaku pihaknya didukung ulama. Polarisasi ini menjebak masyarakat dalam dua pilihan sulit. Apakah harus menjadi pancasilais atau menjadi penganut agama yang taat.

Baca juga : Kenali Fakta Narkoba dan Jadilah Musuh Baginya

Jika kita memilih menjadi seseorang yang pancasilais, maka bayang-bayang 'haram' untuk di sholatkan jenazahnya menjadi sebuah ketakutan. Sedangkan memilih menjadi pengikut agama yang taat, label 'garis keras' sudah tak dapat dielakkan. Alih-alih untuk memilih, untuk bersifat objektif saja kita sudah dihakimi oleh kedua kubu.

Mungkin inilah setidaknya yang saya alami dalam menentukan pilihan politik di Pemilu 2019. Di dalam banyak grup Whatsapp yang saya ikuti, saya dipaksa harus memilih antara Jokowi atau Prabowo di tengah perseteruan dan caci maki yang ada. Sikap objektif saya kerap kali dianggap sebagai sebuah sikap netral, yang padahal kedua kata tersebut mempunyai makna yang berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun