Telah banyak orang tahu tentang almarhum Marsekal Muda Teddy Rusdy melalui buku memoranya "Think Ahead (2009)" dan buku kenangan yang ditulis istri tercinta, Dr. Sri Teddy Rusdy (Mbak Sri) berjudul "Bintang Sakti Maha Wira Buat Mas Teddy (20015)". Semua buku ini menceritakan sukses Mas Teddy Rusdy (TR) khususnya sebagai prajurit. Penghargaan Bintang Sakti Maha Wira cukup menyimpulkan sukses dan karir almarhum.
Namun, pernahkah Anda membaca kisah kegagalan Mas Teddy Rusdy yang dian-diam saya juluki "the Godfather and man of all seasons" yakni "a man who is ready to cope with any contingency and whose behaviour is always appropriate to every occasion?"
Lombok Utara sekitar tahun 2008. Pantai itu berpasir hitam. Pagi itu, ombak tidak besar dan matahari malas bersinar. Kaki langit juga disaput awan. Suasananya seperti digambarkan oleh ki dalang dalam Suluk Tlutur "surem surem Hyang Diwangkara kingkin...lir mangukswa kang layon (suram suram Sang Surya berduka, seperti menyapa yang perlaya di medan laga)"
Suasana alam sesuai dengan hati muram. Medio 2008, saya melewati "mandatory retirement" dari PT Freeport Indonesia, salah satu perusahaan tambang tembaga dan emas terbesar di dunia. Jabatan cukup tinggi: Wakit Presiden Direktur/Deputy Chief Operating Officer.
Saat itu menginjak 56 tahun, usia matang bagi seorang profesional. Saya resah lantaran membayangkan Professional Life sudah tamat. Seharusnya, masih dapat menanjak atau bahkan melesat. Pekerjaan setingkat itu juga tidak banyak tersedia di pasar tenaga kerja Indonesia.
Di pinggir pantai pasir hitam, Mas Teddy Rusdy dan saya berendam. Ombak menyapu sampai pinggang. Mas Teddy Rusdy melirik wajah saya yang muram. Pria berkulit gelap itu bersenandung pelan lagu My Way, Come Back to Sorento, dan beberapa lagu kesayangannya. Suaranya macho, mirip Frank Sinatra. Mmm, sedikit miriplah.
Mas Teddy Rusdy tahu saya galau. Seminggu sebelumnya, saya utarakan situasi itu kepadanya. Ia langsung berkata, "Yan (nama panggilan saya), kita berdua ke Lombok yuk...". Diatur oleh stafnya, kami kemudian pergi berdua.
Sepanjang perjalanan, ia membeberkan rencana besarnya untuk membangun Lombok Utara melalui jalur bisnis dan investasi. Pulau Lombok dan NTB (Nusa Tenggara Barat) amat dikenal dan dicintainya. Tidak mengherankan, lantaran sekitar tahun 1970an, Mas Teddy Rusdy Pernah menjadi Dan Lanuh di Rembiga dan pejabat Partai Golkar di Lombok dan NTB.
Ia kemudian menawari saya menjadi salah satu "eksekutif" di perusahaan keluarga. Jawaban saya. "Matur nuwun Mas, saya pikirkan". Setelah acara di Lombok/ ia mengundang saya beberapa kali ke Bukit Golf untuk dikenalkan dengan beberapa kolega atau mitra bisnisnya yang beragam: pariwisata, pertanian-perkebunan, cleaning services, dan otomotif. Katanya, "Sudah saatnya you menjadi bos, kendati di perusahaan kecil, tidak terus-menerusan jadi karyawan di perusahaan besar".
Sebenarnya, dalam hati saya tertarik untuk ikut mengembangkan pariwisata di Pulau Lombok. Sekarang, kawasan itu telah menjadi salah satu tujuan wisata andalan. That man is visionary...and thinks ahead.
Namun, upaya Mas Teddy Rusdy untuk membuat saya menjadi businessman kandas. Sekitar tiga bulan kemudian, saya mendapat pekerjaan di ADB (Asian Development Bank) di Manila sebagai Chair of Compliance Review Panel. Jabatan itu setingkat Vice President, tetap sebagai...karyawan perusahaan/lembaga besar.
Sewaktu saya pamit, Mas Teddy Rusdy tidak tampak terlalu kecewa, memeluk saya, dan memberi selamat. Mungkin, dalam hatinya berkata, "Ok, pekerjaan itu lebih cocok buatmu, karyawan seumur hidup". Kegagalannya yang pertama adalah mengajak saya terjun ke dunia bisnis.
Business is not my cup of tea.
Itulah Mas Teddy Rusdy, ia menerima keluhan dan curhatan; memberi nasihat dan menolong anggota keluarga yang membutuhkan. Suatu kali, ia berbicara serius dengan Iliad, anak saya yang ditawari bekerja di pertambangan nikel di Halmahera, Maluku Utara.
Mas Teddy Rusdy bercerita panjang lebar tentang kondisi alam dan situasi sosial-kultural Maluku Utara dengan amat lancar. Tidak mengherankan, sebab ia pernah bertugas dalam Operasi Trikora sekitar tahun 1960an di Ambon, Amahai, Tual, Langgar, dan Morotai. Ia juga bercerita dengan penuh semangat tentang keindakan laut, makan ikan bakar, dan menyelam.
Iliad, saat itu sarjana baru teknik elektro dari McGill University, Montreal, kemudian mengambil putusan untuk bekerja di Halmahera selama dua tahun, Pengalaman bekerja di tambang kemudian memperkaya pandangan hidupnya.
Saat cuti ke Jakarta, Iliad menemui om Teddy (panggilan kepadanya). Ia menceritakan tempat kerja dan keindahan alam Maluku Utara. Kedua orang berbeda usia 45 tahun itu bercerita dan tertawa-tawa seolah-olah dua sahabat atau teman sekelas! Om Teddy juga banyak memberi nasihat pada Tarita (anak sulung saya) saat mengikuti program MBA di Rotterdam School of Management.
Demikianlah, masalah demi masalah, persoalan demi persoalan keluarga, perkawinan-perceraian, kelahiran-kematian, sedih-gembira mencari muara ke sosok Teddy Rusdy, the Godfather. Seperti pepatah Melayu, ia adalah pusat jala pumpunan ikan.
Sering saya lihat, di rumah Bukit Golf, Mas Teddy Rusdy duduk di kursi kulit agak lusuh di perpustakaan, mendengan curhat, keluhan, atau permintaan anggora keluarga, teman, dan kenalan.
Terkadang, wajahnya tampak serius dan berbicara berbisik. Mungkin sekali ini urusan amat penting atau amat pribadi.
Jika demikian, saya tidak memasuki ruang perpustakaan, hanya melambai dari jauh. Mengintip dari kaca, ia seperti Don Corleone sedang memberi nasihat ke anak buah atau kerabatnya, tentunya bukan dalam urusan kejahatan atau jalan hitam.
Entah kenapa yang lain, tapi Mas Teddy Rusdy  tak pernah mengguruin atau patronizing kepada saya. Selalu mengkaji persoalan dengan logis, dengan mempertimbangkan segala aspek dan kemungkinan. Navigator par excellence. Tidak mengherankan, saat itu Mas Teddy Rusdy sudah 75 tahun makan asam garam kehidupan, kaya pengalaman manis-pahit-getir sebagai manusia, pengusaha, dan prajurit/perwira tinggi TNI.
Keluarga TNI dan hobi membaca buku membuat kami dekat. Seperti Mas Teddy Rusdy, almarhum ayah saya adalah anggota TNI yang kenyang makan asam garam pahit getir pertempuran. Saya anak kolong. Kami pernah berdiskusi tentang dua bukunya "Think Ahead (2009)", memoarnya sewaktu menginjak usia 70 tahun dan "Jati Diri, Doktrin, dan Strategi TNI (2016)". Kedua buku ini merupakan warisan intelektual-militer yang wajib dibaca oleh para anggota dan peminat sejarah TNI.
Padang Golf Pondok Indah (PI), sekitar tahun 2006-2007. Padang golf ini termasuk padang golf elit di Jakarta, bahkan mungkin di Indonesia. Berbeda dengan padang golf umumnya di luar kota, Padang Golf PI berada di tengah kota satelit, Metro Pondok Indah, Jakarta Selatan. Dikelilingi bangunan beton, padang golf ini mirip oasis dengan udara segar, rumput hijau, 18 holes, bunker, bukit, lembah, dan danau.
Padang Golf PI hanya "sepukulan bola" dari rumah keluarga Mas Teddy Rusdy di Bukit Golf. Untuk memasukinya kami mengambil jalan dari belakang Club House menaiki kereta buggy. Semua staf sampai tukang rumput kenal dan hormat pada Mas Teddy Rusdy  yang menyapa merekan dengan ramah. Tak ada sifat sombong sama sekali.
Mas Teddy Rusdy  pertama kali mengajak saya untuk driving, ditemani oleh Jayan, caddy favoritnya dan Beni-yang sering menjadi caddy Dyah (istri saya), adik Mbak Sri. Kata pegolf kawakan ini, "Yan, kamu belajar driving dulu. Pukul minimum 5.000 bola sebelum turun ke lapangan". Dengan sabar, bahkan lebih sabar dari Beni, Mas TR mengajari saya dengan menggunakan iron, wood, driver, dan putter.
Suatu pagi, akhirnya saya "turun" ke lapangan dengan Mas Teddy Rusdy , Jayan, dan Beni. Dalam kereta buggy, lelaki pegolf dengan single handicap dan konon beberapa kali berhasil mendapatkan hole in one dan banyak piala golf yang bertumpuk di perpustakaan itu in a good mood sembari berkali-kali melontarkan humor golfer yang terkadang jorok.
Di Lapangan dengan susah payah saya "bermain golf". Beberapa pukulan saya melenceng jauh, ke kanan, ke kiri, atau malah melesat keluar green, out of bounds, ke semak-semak atau masuk ke jebakan air. Mulligans sudah tak terhitung. Dengan amat sabar, tetapi juga geli, Mas Teddy Rusdy menunggui saya "memukul dan menyiksa" bola golf. Ia bertanya kepada Beni, "Gimana Ben, dapat par?" Jawab Beni, "Pariyem Pak". Jayan menambahi, Hole in one Pak, masuk ke air". Ha ha ha.
Namun, ia tetap In a good mood. Katanya, "Main bagus, badan sehat, hati senang. Main jelek, badan tetap sehat. Bola hilang, kita kasih rezeki ke orang". Beni (anak betawi) tidak sesabar Mas Teddy Rusdy. Katanya kesal lantaran sering harus mencari bola di semak-semak, "Pak...lihat arahnya dulu dong, jangan main kemplang aja...". Mas Teddy Rusdy  ikut meledek, "Wah hebat kamu yan, you only have two handicaps, distance and direction, ha ha ha". Not funny, dalam batin saya.
Setelah permainan perdana itu, Mas Teddy Rusdy masih mengajak main golf setiap ada kesempatan, paling tidak Driving. Kemungkinan, pada usia senja, the old soldier ini kesepian dan perlu teman. Ia pernah juga mengajak kami main golf bertiga bersama Dyah yang ternyata lebih berbakat. Namun, istri saya kemudian lebih suka bermain bersama teman-temannya di lapangan golf Halim PK dari pada dengan suaminya.
Beberapa kali, saya mencari alasan menolak ajakan Mas Teddy Rusdy. Suatu hal yang saya sesali kemudian. Tidak semua orang mendapat kesempatan main golf gratis di padang golf elit, serta ditraktir makan minum. Sampai tips untuk caddy, dibayar oleh Mas Teddy Rusdy. Selain itu, saya juga menyesal melewatkan kesempatan mengenal the man of all seasons itu lebih jauh.
But, if business is not my cup of tea, definitely golf is not my mug of coffee.
Fast forward. Kamis Legi, 31 Mei 2018. Sehabis berbuka puasa, kami sekeluarga mendapat kabar mengejutkan: Mas Teddy Rusdy diduga wafat di rumah Bukit Golf setelah shalat Maghrib. Menurut penanggalan Jawa, saat itu sudah memasukin hari Jumat Paing. Wafat di hari Jumat malam 17 Ramadhan dengan tenan, tanpa sakit adalah berkah yang dimimpikan umat Islam. Kami bergegas ke RSPI dan malam ini jenazah mas Teddy Rusdy dibawa ke  rumah duka di Bukit Golf. Pagi hari Jumat kami datang lagi ke Bukit Golf untuk ikut merawat, memandikan, dan mengantarkan jenazahnya ke Taman Makan Pahlawan Nasional (TMPN) Utama Kalibata.
Sebagai anak tentara, saya sering melihat upacara pemakaman prajurit. Bunyi terompet tap dan tembakan senapan mengiringi jasad Marsekal Muda Teddy Rusdy ke bumi Indonesia yang begitu dicintainya.
Selamat jalan Mas Teddy Rusdy, Our Godfather and man of all seasons, panutan dan teman terbaik. You did a lot for us. Ah ya, Mas tak perlu menyesali kegagalan untuk menjadikan saya businessman or golfer or both.
Nobody's perfect.
(*) Dr. Rusdian Lubis, mantan senior environmental specialist, the World Bank, Washington DC, Deputy CEO PT Freeport Indonesia, Chair Compliance Review Panel, Asian Development Bank Manila. Sekarang mengajar di Sekolah Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia dan Sekolah Bisnis Manajemen, Institut Teknologi Bandung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H