Sewaktu saya pamit, Mas Teddy Rusdy tidak tampak terlalu kecewa, memeluk saya, dan memberi selamat. Mungkin, dalam hatinya berkata, "Ok, pekerjaan itu lebih cocok buatmu, karyawan seumur hidup". Kegagalannya yang pertama adalah mengajak saya terjun ke dunia bisnis.
Business is not my cup of tea.
Itulah Mas Teddy Rusdy, ia menerima keluhan dan curhatan; memberi nasihat dan menolong anggota keluarga yang membutuhkan. Suatu kali, ia berbicara serius dengan Iliad, anak saya yang ditawari bekerja di pertambangan nikel di Halmahera, Maluku Utara.
Mas Teddy Rusdy bercerita panjang lebar tentang kondisi alam dan situasi sosial-kultural Maluku Utara dengan amat lancar. Tidak mengherankan, sebab ia pernah bertugas dalam Operasi Trikora sekitar tahun 1960an di Ambon, Amahai, Tual, Langgar, dan Morotai. Ia juga bercerita dengan penuh semangat tentang keindakan laut, makan ikan bakar, dan menyelam.
Iliad, saat itu sarjana baru teknik elektro dari McGill University, Montreal, kemudian mengambil putusan untuk bekerja di Halmahera selama dua tahun, Pengalaman bekerja di tambang kemudian memperkaya pandangan hidupnya.
Saat cuti ke Jakarta, Iliad menemui om Teddy (panggilan kepadanya). Ia menceritakan tempat kerja dan keindahan alam Maluku Utara. Kedua orang berbeda usia 45 tahun itu bercerita dan tertawa-tawa seolah-olah dua sahabat atau teman sekelas! Om Teddy juga banyak memberi nasihat pada Tarita (anak sulung saya) saat mengikuti program MBA di Rotterdam School of Management.
Demikianlah, masalah demi masalah, persoalan demi persoalan keluarga, perkawinan-perceraian, kelahiran-kematian, sedih-gembira mencari muara ke sosok Teddy Rusdy, the Godfather. Seperti pepatah Melayu, ia adalah pusat jala pumpunan ikan.
Sering saya lihat, di rumah Bukit Golf, Mas Teddy Rusdy duduk di kursi kulit agak lusuh di perpustakaan, mendengan curhat, keluhan, atau permintaan anggora keluarga, teman, dan kenalan.
Terkadang, wajahnya tampak serius dan berbicara berbisik. Mungkin sekali ini urusan amat penting atau amat pribadi.
Jika demikian, saya tidak memasuki ruang perpustakaan, hanya melambai dari jauh. Mengintip dari kaca, ia seperti Don Corleone sedang memberi nasihat ke anak buah atau kerabatnya, tentunya bukan dalam urusan kejahatan atau jalan hitam.
Entah kenapa yang lain, tapi Mas Teddy Rusdy  tak pernah mengguruin atau patronizing kepada saya. Selalu mengkaji persoalan dengan logis, dengan mempertimbangkan segala aspek dan kemungkinan. Navigator par excellence. Tidak mengherankan, saat itu Mas Teddy Rusdy sudah 75 tahun makan asam garam kehidupan, kaya pengalaman manis-pahit-getir sebagai manusia, pengusaha, dan prajurit/perwira tinggi TNI.
Keluarga TNI dan hobi membaca buku membuat kami dekat. Seperti Mas Teddy Rusdy, almarhum ayah saya adalah anggota TNI yang kenyang makan asam garam pahit getir pertempuran. Saya anak kolong. Kami pernah berdiskusi tentang dua bukunya "Think Ahead (2009)", memoarnya sewaktu menginjak usia 70 tahun dan "Jati Diri, Doktrin, dan Strategi TNI (2016)". Kedua buku ini merupakan warisan intelektual-militer yang wajib dibaca oleh para anggota dan peminat sejarah TNI.