Dilaksanakannya pilpres merupakan bentuk nyata dari tidak adanya kekuasaan politis yang bersifat mutlak. Kekuasaan tersebut ada, selama itu dianggap berpihak pada kepentingan rakyat. Sebaliknya, jika kekuasaan dianggap gagal, maka kekuasaan tersebut dicabut dan dialihkan kepada pihak yang dianggap lebih berkompeten.Â
Karena itu, dalam terselenggaranya pilpres, para elit politik mestinya menyajikan gagasan-gagasan yang lebih substansial dalam hal pembangunan bangsa. Dan biarkan masyarakat menunaikan kewajibannya untuk menilai sebebas-bebasnya. Pihak mana yang diaggap kompeten untuk mengemban kekusaan pasca pilpres. Bukan malah berkutat pada isu-isu yang dangkal, atau bahkan terkesan profokatif dan saling menjatuhkan satu sama lain. Kalau dua-dua nya saja sudah jatuh sebelum pencoblosan, bagaiamana bangsa ini bisa maju..Â
3. Akuntabilitas serta transparansi kekuasaan publik.
Pilar ketiga ini, tidak dapat dikesampingkan. Setiap keputusan yang diambil oleh para pejabat politik harus disajikan dengan terbuka dan semua pihak yang terkena dampak dari kebijakan tersebut harus dilibatkan. Pemerintah dalam hal ini memegang peranan yang sangat penting untuk mewujudkan masyrakat yang melek akan segala kebijakan-kebijakan politis.Â
Bukan malah menyebar virus demagogisme, yang sudah sejak dahulu kala diungkapkan oleh Aristoteles sebagai bentuk kekhwatirannya akan rusaknya demokrasi. Demagog yang dalam KBBI sendiri, merupakan kata serapan dari bahasa Yunani yang bermakna pemimpin yang pandai menghasut. Ibarat lingkaran busuk yang didalamnya digerakkan oleh hanya segelintir elit politik
Sialnya menjadi kuadrat, kerena selain kekuasaan hanya digerakkan oleh segelintir orang. Para cebong dan kampret pun sedang terjebak perang di dunia maya yang tidak kalah pentingnya juga untuk dimenangkan. Hhhh....
4. Partisipasi publik yang tinggi dari setiap warganya.
Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam hal ini jelas lah bahwa penguasa yang sesungguhnya adalah rakyat itu sendiri. Oleh karena itu, rakyat dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan kebijakan yang bersifat publik.
Pada pilpres 2019 lalu, muncul fenomena golput yang dianggap mencederai pilar keempat demokrasi ini. Â Mereka yang mengambil sikap politik golput karena mereka memang pada dasarnya apatis dengan nasib bangsa ini ya wajar-wajar saja jika disalahkan. Utamanya oleh mereka para elit politik yang katanya rela mengabdikan jiwa dan raga demi kemajuan bangsa.Â
Namun beda lagi jika mereka yang golput dengan kesadaran penuh. Mereka meyakini bahwa dari dua pilihan yang tersedia, tidak lebih baik satu sama lain. Dalam hal, golput tidak lagi berarti apatis, tetapi merupakan bentuk sikap politik aktif. Bagaimana bisa disalahkan, mereka toh tetap memilih, memilih opsi ketiga tentunya.
Sepertinya segitu saja penjabaran saya tentang empat asas demokrasi diatas. Nah, dengan serangkaian fenomena politik yang terjadi selama perhelatan akbar demokrasi 2019. Sebenarnya, sejauh mana kita telah memahami asas demokrasi ini? Satu-satunya yang dapat menjawab adalah diri anda sendiri...Sekian..