Mohon tunggu...
Kal Drogo
Kal Drogo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Refleksi Pilpres 2019, Pahamkah Kita Akan Demokrasi?

3 Mei 2019   22:43 Diperbarui: 3 Mei 2019   22:48 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menengok kembali rangkaian fenomena politik yang terjadi mulai dari sebelum pilpres 2019 hingga saat ini. Harus diakui bahwa kontestasi demokrasi kali ini diwarnai dengan iklim politik yang menjemukan (kalau tidak ingin dikatakan memuakkan) dan bahkan menjerumuskan.

Bagiaman tidak, beberapa bulan menjelang hari pencoblosan. Isu-isu politik yang barbau profokasi nyaris diangkat berulang kali. Polarisasi fenomena politik ini pun berbuntut pada munculnya sikap fanatik yang mendewakan kubu yang didukung dan berusaha menjatuhkan kubu yang dianggaap lawan. Saling fitnah dan saling tuduh tak ayal melahirkan kebencian.

Tidak salah jika kita menuangkan sikap politik kita dalam bentuk dukungan terang-tengan atau kampanye yang bertujuan mempengaruhi pemilih lain agar memilih orang yang sama dengan yang kita dukung. Tentunya yang kita harapkan dapat membangun dan mengembangkan Negara ini. Tapi tidak perlu saling membenci, karena hal-hal semacam ini justru berpotensi melahirkan perpecahan.

Iklim politik yang menjemukan ini tidak lain merupakan hasil dari kurang pahamnya kita mengenai demokrasi itu sendiri.  

Demokrasi berasal dari kata demokratia yang mana merupakan salah satu kata dari bahasa Yunani. Demokrasi sendiri memiliki arti kekuasaan rakyat. Adapun secara umum, demokrasi terbagi menjadi dua kata, pertama adalah kata Demos yang maknanya adalah rakyat. Dan kedua adalah kratos yang maknanya adalah kekuatan atau kekuasaan. Jadi, jelas sudah bahwa inti dari demokrasi adalah kekuasaan tertinggi yang ada ditangan rakyat.

Mengutip dari apa yang disampaikan oleh Reza A.A Wattimena, Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya. Ada 4 pilar yang menyangga demokrasi. Empat pilar tersebut diantaranya kemampuan mengelola perbedaan secara sehat (1), tidak adanya kekuasaan politis yang bersifat mutlak (2), akuntabilitas serta transparansi kekuasaan publik (3), dan partisipasi publik yang tinggi dari setiap warganya (4).

Berikut ini penjabaran versi saya sendiri yang jika dirasa kurang tepat. Saya selalu terbuka untuk mendiskusikannya. Tentunya tanpa perlu naik pitam dan saling membenci setelahnya..

1. Kemampuan mengelola perbedaan secara sehat.

Dari pilar yang pertama saja, sudah menegaskan bahwa banyak diantara kita yang gagal paham tentang demokrasi. Dewasa ini, kita cenderung memaksakan keseragaman dengan dogma sebagai senjata utamanya. Apa yang kita sampaikan sebagai pihak yang (merasa) benar harus ditelan mentah mentah oleh mereka yang menjadi objek pesan kita. Padahal puluhan tahun silam, salah satu aktivis kawakan yang kini menjadi kiblat bagi aktivis-aktivis baru era sekarang sudah lama meneriakkan bahwasannya "guru bukanlah dewa, dan murid bukanlah kerbau".

Sesungguhnya, Demokrasi tidak pernah menghendaki adanya keseragaman. Bahkan kebebasan mengungkapkan pendapat lah yang dijunjung tinggi. Kita sebagai masyarakat sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam demokrasi hendaknya memandang perbedaan sebagai suatu fakta kehidupan. Kerena pada hakikatnya, tidak ada pola hidup yang seragam. Seragam adalah hasil dari tindakan pemaksaaan. Alih-alih memaksakan keseragaman, domakrasi justru menuntut kita untuk mengelola perbedaan yang ada. Karena perbedaan-perbedaan  itu sendirilah yang melahirkan demokrasi.

2. Tidak adanya kekuasaan politis yang bersifat mutlak.

Dilaksanakannya pilpres merupakan bentuk nyata dari tidak adanya kekuasaan politis yang bersifat mutlak. Kekuasaan tersebut ada, selama itu dianggap berpihak pada kepentingan rakyat. Sebaliknya, jika kekuasaan dianggap gagal, maka kekuasaan tersebut dicabut dan dialihkan kepada pihak yang dianggap lebih berkompeten. 

Karena itu, dalam terselenggaranya pilpres, para elit politik mestinya menyajikan gagasan-gagasan yang lebih substansial dalam hal pembangunan bangsa. Dan biarkan masyarakat menunaikan kewajibannya untuk menilai sebebas-bebasnya. Pihak mana yang diaggap kompeten untuk mengemban kekusaan pasca pilpres. Bukan malah berkutat pada isu-isu yang dangkal, atau bahkan terkesan profokatif dan saling menjatuhkan satu sama lain. Kalau dua-dua nya saja sudah jatuh sebelum pencoblosan, bagaiamana bangsa ini bisa maju.. 

3. Akuntabilitas serta transparansi kekuasaan publik.

Pilar ketiga ini, tidak dapat dikesampingkan. Setiap keputusan yang diambil oleh para pejabat politik harus disajikan dengan terbuka dan semua pihak yang terkena dampak dari kebijakan tersebut harus dilibatkan. Pemerintah dalam hal ini memegang peranan yang sangat penting untuk mewujudkan masyrakat yang melek akan segala kebijakan-kebijakan politis. 

Bukan malah menyebar virus demagogisme, yang sudah sejak dahulu kala diungkapkan oleh Aristoteles sebagai bentuk kekhwatirannya akan rusaknya demokrasi. Demagog yang dalam KBBI sendiri, merupakan kata serapan dari bahasa Yunani yang bermakna pemimpin yang pandai menghasut. Ibarat lingkaran busuk yang didalamnya digerakkan oleh hanya segelintir elit politik

Sialnya menjadi kuadrat, kerena selain kekuasaan hanya digerakkan oleh segelintir orang. Para cebong dan kampret pun sedang terjebak perang di dunia maya yang tidak kalah pentingnya juga untuk dimenangkan. Hhhh....

4. Partisipasi publik yang tinggi dari setiap warganya.

Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam hal ini jelas lah bahwa penguasa yang sesungguhnya adalah rakyat itu sendiri. Oleh karena itu, rakyat dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan kebijakan yang bersifat publik.

Pada pilpres 2019 lalu, muncul fenomena golput yang dianggap mencederai pilar keempat demokrasi ini.  Mereka yang mengambil sikap politik golput karena mereka memang pada dasarnya apatis dengan nasib bangsa ini ya wajar-wajar saja jika disalahkan. Utamanya oleh mereka para elit politik yang katanya rela mengabdikan jiwa dan raga demi kemajuan bangsa. 

Namun beda lagi jika mereka yang golput dengan kesadaran penuh. Mereka meyakini bahwa dari dua pilihan yang tersedia, tidak lebih baik satu sama lain. Dalam hal, golput tidak lagi berarti apatis, tetapi merupakan bentuk sikap politik aktif. Bagaimana bisa disalahkan, mereka toh tetap memilih, memilih opsi ketiga tentunya.

Sepertinya segitu saja penjabaran saya tentang empat asas demokrasi diatas. Nah, dengan serangkaian fenomena politik yang terjadi selama perhelatan akbar demokrasi 2019. Sebenarnya, sejauh mana kita telah memahami asas demokrasi ini? Satu-satunya yang dapat menjawab adalah diri anda sendiri...Sekian..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun