Dari sisi pemerintah sebagai pemilik PLN, penghematan konsumsi listrik masyarakat sebesar 10% juga berarti berkurangnya subsidi listrik. Subsidi listrik tersebut pada akhirnya bisa dipakai untuk memberikan subsidi bagi pengembangan energi yang berbasiskan net-zero emissions, Dengan subsidi dan keringanan pajak, maka investasi di bidang energi ramah lingkungan akan lebih menarik baik bagi pihak swasta maupun BUMN.
Disaat pandemi Covid-19 pemerintah telah memberikan subsidi PPNBM bagi kendaraan bermotor tertentu, tentu keringanan pajak juga pantas diberikan bagi investasi yang berbasiskan energi net-zero emissions dan turunannya. Karena hal ini tidak saja menciptakan iklim bisnis yang menguntungkan tetapi juga penghematan di masa depan.
Pemerintah wajib ikut berbisnis.
Jika kita cermati kekuatan ekonomi dunia saat ini yaitu China dan Amerika Serikat, ada perbedaan mencolok dalam pertumbuhan ekonominya. Bukan hanya soal persentase pertumbuhan GDP nya yang mencolok. Tetapi jika kita bandingkan neraca perdagangan kedua negara dimana China mencapai surplus yang besar yang berasal dari barang manufaktur, seperti pharmaceutical, baja, bahan kimia, dan produk logam, ini semua tidak lepas dari peran pemerintah baik melalui BUMN maupun regulasi yang pro industri manufaktur lokal.
Disisi lain, Amerika Serikat telah gagal mempertahankan dominasinya di bidang otomotif. Detroit sebagai pusat otomotif dunia telah kehilangan pamor. Merk merk terkenal seperti General Motor, Ford dan Chrysler merelokasi pabriknya ke Mexico dan negara - negara Asia. Akibatnya kita tahu defisit perdagangan kedua negara selalu surplus di pihak China dalam jumlah sangat besar.
Belajar dari fakta diatas, maka keterlibatan pemerintah lebih aktif melalui subsidi dan keringanan pajak adalah strategi tepat untuk meningkatkan daya saing dan membuat bisnis energi terbarukan di dalam negeri menguntungkan secara ekonomi.
Mega Proyek Energi Terbarukan
Selain melalui kebijakan subsidi dan pajak. Pemerintah juga bisa menginisiasi proyek proyek besar di bidang energi terbarukan. Hal ini untuk menciptakan permintaan yang tinggi terhadap peralatan dan teknologi penunjang. Sehingga jika diproduksi dan dikembangkan di dalam negeri, maka secara skala keekonomiannya dapat diterima dan bisa berkelanjutan.
Sekali lagi tidak perlu segan mencontek China dimana industri solar cell nya saat ini bisa menguasai pasar dunia. Hal ini tidak lepas dari upaya pemerintah China secara berkelanjutan menginisiasi pembangunan pusat listrik bertenaga surya. Diawali kebutuhan dalam negeri yang besar, akhirnya industri tersebut memiliki daya saing tinggi secara global.
Hal serupa kita bisa mulai lakukan di wilayah NTT dan NTB yang relatif kering atau banyak daerah lain. Hal ini karena matahari bisa kita nikmati sepanjang tahun dari Sabang sampai Merauke.
Tentu saja perhitungannya bukan sekedar kapan BEP secara langsung. Karena ketika energi listrik tersedia dengan cukup dan terjangkau. Maka dampak sosial ekonominya bagi masyarakat dan dunia usaha akan signifikan menciptakan kesejahteraan. Pada akhirnya penerimaan pajak akan meningkat.
Skema ini tidak bisa terjadi jika biaya pengembangannya hanya ditanggung oleh swasta. Karena swasta tidak mengutip pajak.
Menciptakan ekosistem baru di sektor energi berbasis net-zero emissions untuk meningkatkan daya saing nasional.
Pembangunan pabrik baterai terbesar se Asean yang baru diresmikan Pak Jokowi di Cikarang adalah sebuah milestone. Tetapi itu hanyalah awal dan tidak akan menciptakan ekosistem baru bagi energi yang ramah lingkungan berteknologi dan kompetitif, tanpa industri yang terkait lainnya.