Mohon tunggu...
Dr Juniarti CA CMA CPA(aust)
Dr Juniarti CA CMA CPA(aust) Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi

Dosen Program Studi Akuntansi, FBE, UK Petra, Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Omnibus Law Cipta Kerja dari Sisi Akuntansi dan Daya Saing Investasi

26 Oktober 2020   05:43 Diperbarui: 26 Oktober 2020   05:54 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komponen biaya tenaga kerja secara langsung sebenarnya tidak dominan dalam membentuk harga pokok produksi. Dalam kisaran 10% sampai dengan 30% tergantung dari jenis industrinya. Secara prosentase, hal tersebut sebetulnya bisa mudah dinaikkan dengan kualitas produk atau jasa yang meningkat, atau dengan cara meningkatkan produktivitas buruh per satuan waktu atau satuan unit.

Berikut ini bagannya:

ilustrasi pribadi
ilustrasi pribadi
Ratio Omset/ tenaga kerja (produktivitas buruh) Bisa ditingkatkan dengan dua hal dalam bagan ini, yaitu:
  • Dengan menaikkan kecepatan kerja. Sehingga jumlah unit persatuan waktu naik.
  • Dengan menaikkan kualitas kerja. Sehingga harga jual produk bisa meningkat.

Tetapi, justru disinilah sumber masalahnya:

Bagaimana jika buruh tidak produktif dan justru banyak mengganggu produksi. Maka secara rasio omset / tenaga kerja, perusahaan akan banyak dirugikan. Tidak saja rugi secara biaya tenaga kerja. Tetapi rugi secara bisnis keseluruhan.

Berikut ini perhitungannya:

ilustrasi pribadi
ilustrasi pribadi
Apabila kinerja pekerja turun atau terjadi gangguan terkait tenaga kerja. Maka perusahaan tidak saja dirugikan secara biaya tenaga kerja, Tetapi juga menyebabkan membengkaknya beban perusahaan terkait: biaya depresiasi, biaya bunga, biaya utilitas mesin produksi, biaya adminitrasi, dll

Itu sebabnya kepastian pengusaha mengenai biaya tenaga kerja dan performanya kinerja tenaga kerja menjadi komponen perhitungan yang krusial menyangkut rasio keuntungan dan lama waktu break event point.

Teknologi manufaktur dan fabrikasi China saat ini memang membuat dunia terkesima. Mereka membuat Rumah Sakit khusus Covid-19 hanya dalam hitungan minggu. Pabrik Tesla di Shanghai China pun hanya dikerjakan dalam waktu 156 hari. Tentu bukan hanya soal keunggulan sistem supply chain tetapi ada peran prouktivitas tenaga kerja. Mudah ditebak bahwa tanpa komitmen, integritas dan profesionalisme tenaga kerja sulit hal itu bisa terjadi.

Apa yang terjadi jika dalam pembangunan tersebut buruhnya banyak mengeluh dan produktivitas rendah? Maka semua akan serba normatif, dan proyek akan biasa biasa saja. Pabrik Tesla yang selesai dalam waktu 156 hari mungkin akan dianggap normal jika selesai dalam waktu 2 tahun atau 4 kali lebih lama dibanding record yang dicapai.

Dalam simulasi grafik yang saya buat, dampak dari lamanya waktu fabrikasi ternyata sangat signifikan mempengaruhi tingkat resiko dan keberhasilan sebuah proyek investasi.

ilustrasi pribadi
ilustrasi pribadi

Pada Proyek A (Nilai proyek A dan B sama tetapi durasi fabrikasinya berbeda)

Pekerjaan Fabrikasi selesai dalam waktu 156 hari (setara 26 minggu), break event point bisa tercapai pada minggu ke 101.

Sedangakan Proyek B

Pekerjaan fabrikasi baru selesai pada minggu ke 106.

Perbedaan yang mencolok dari sisi resiko dan waktu break event point.

Begitu besarnya dampak produktivitas buruh pada sebuah bisnis menyebabkan daya saing investasi bisa melorot tajam. Sebagus apapun regulasi dan peraturan investasi diperbaiki, jika produktivitas buruh tidak bisa dinaikkan, maka daya saing investasi tersebut sulit untuk naik.

Bagaimana meningkatkan produktivitas buruh?

Mari kita buang jauh jauh dulu pikiran, "menjadi buruh di negeri sendiri", mari kita lihat kepentingan bangsa ini secara lebih luas, berpikir lebih obyektif, mau mendengar.

Jika kita jujur dan melihat disekitar tempat kerja kita, adakah diantara pegawai yang produktivitasnya rendah? Memang benar pekerja tipe ini tidak bikin masalah dan secara normatif masuk dan pulang sesuai jam kerja, tetapi perusahaan kesulitan untuk mengupgradenya sesuai perkembangan jaman. Disisi lain perusahaan kesulitan menggantinya dengan tenaga kerja baru karena terkait normatif dan biaya pesangon yang besar.

Disini seolah - olah perusahaan seperti menghadapi dilema dengan biaya mahal hanya karena peraturan yang tidak memungkinkan kompetisi antara pegawai dan calon pegawai.

Tentu investor akan berpikir ulang untuk membangun pabrik disini, dengan resiko waktu produksi bisa terlambat sampai beberapa tahun, sedangkan pabrik yang sama di negara lain dalam jangka waktu lebih singkat sudah BEP. Seperti ilustrasi di atas.

Tidak Semua Pengusaha Besar, Ada juga UMKM

Mari kita bandingkan dengan pelaku UMKM dengan omset 3 sampai 20 juta per bulan. Mereka ini juga rakyat berpenghasilan rendah. Karena dengan omset seperti itu, maka penghasilan bersih mereka hanya dikisaran 1 juta sampai 10 juta fluktuatif.

Tidak ada istilah Omset Minimum Regional bagi pelaku UMKM. Artinya jika omset hari ini dibawah target, ya tanggung sendiri. Tidak bisa protes ke pemerintah untuk membeli barang dagangannya sehingga tercapai Omset Minimum Regional.

Bagaimana UMKM bisa bertumbuh, jika kesulitan mendapatkan tenaga kerja karena peraturan yang memberatkan?

Jadi kurang fair jika buruh minta perlindungan berlebihan karena merasa rakyat kecil. Sementara rakyat kecil lain, seperti pedagang asongan, pedagang kecil dan pelaku UMKM lainnya tidak mendapat perlindungan semewah kaum buruh.

Dari sisi tenaga Kerja Kontrak. 

Jika seorang memang kompetitif dalam pekerjaannya tidak seharusnya takut dibayar murah. Tentu perusahaan juga butuh tenaga kerja berkualitas tinggi. Perusahaanpun sebenarnya tidak ingin mengganti tenaga kerjanya yang memang sesuai kualifikasi yang diperlukan.

Dalam case proyek Tesla 156 hari, tentu sebagian besar diantaranya adalah pekerja kontrak. Tidak mungkin mempermanenkan mereka karena memang ini jenis pekerjaan on demand. Bahkan tenaga kantoran di proyek seperti ini pun sebagian besar kontrak.

Jika dikerjakan dengan tenaga kerja tetap, maka proyek akan sangat lambat dan sangat mahal.

Bagi pemerintah, 

Lebih baik pemerintah berkata apa adanya saja. Memberikan perspektif jangka panjang dan lebih luas pada kepentingan bangsa ini saat ini dan masa depan. Dunia sudah berubah secara cepat. Memang tidak mudah memberi perspektif jangka panjang dalam suasana kekinian. Dimana sekilas yang tidak terlalu burukpun dianggap sangat buruk sekali.

Tidak ada prestasi tanpa perjuangan. Mari membuka mata atas apa yang dilakukan kompetitor kita China. Faktanya bahwa China yang sudah menjadi pusat manufaktur terkemuka dunia pun, sangat bagus dalam memperlakukan investor: (lihat penjelasan di video youtube bagian bawah artikel ini)

  1. Pemerintah China menjamin supply chain untuk Tesla selama masa Covid-19
  2. Pemerintah China memberi bantuan masker dan thermometer covid-19 untuk Tesla
  3. Bank lokal China memberi pinjaman 1.5 Milyar USD dari bank lokal untuk Tesla. Nilai ini cukup signifikan mengingat nilai investasi Tesla 5 Milyar USD
  4. Pemerintah China memberi bantuan penginapan dan transportasi pada tenaga kerja Tesla untuk menghindari pabrik tidak beroperasi karena efek lockdown.

Jika hal itu terjadi disini, apakah tidak disangka pemerintah adalah kaki tangan Tesla? Cara mainnya memang seperti itu. Inilah bisnis, anda tidak bisa menuntut banyak tanpa memberi fasilitas dan kepastian.

Katakan saja, Omnibus Law Cipta Kerja memang untuk mempersiapkan tenaga kerja Indonesia menjadi tenaga kerja tangguh dengan produktivitas tinggi di level internasional. Kompetisi harus terjadi dan kita tidak bisa begitu saja mengabaikan perlombaan ini, atau kita akan tertinggal di belakang.

Tidak mudah menyenangkan semua orang, semua kelompok. Tetapi apabila hal ini untuk kebaikkan bersama, mari belajar mempercayai pemimpin kita, supaya tidak selalu kita mulai dari NOL lagi.

Simak Videonya di bawah ini:


Salam Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun