Sebelum membaca, jangan lupa follow dulu akun penulisnya, Ya.Â
Cerita ini merupakan kelanjutan dari bab sebelumnya. Merupakan sebuah cerita Novel dengan gendre horor misteri. Saya sudah siapkan banyak kejutan dalam alurnya, jadi...jangan sampai baca setengah-tengah.
         Â
"Apa kamu bilang!" Alex tersentak.
"Urusan kita sudah selesai! Selamat malam!" teriak suara di seberang.
"Tunggu dulu!" Alex menyusun kata-kata yang sepantasnya dijadikan permohonan. "Bagaimana kalau saya berminat untuk datang ke rumah nomer 13 itu. Dan dengar, ya---Anda ini benar-benar bajingan. Saya ulangi lagi. ANDA BENAR-BENAR BAJINGAN!"
Terdengar napas lega dari seberang sana sampai kemudian. "Besok! pukul empat sore ...." Pria itu menyebutkan alamat lengkap.
Gagang telepon diletakkan, Alex menarik napas dalam-dalam. Ia berhak melibatkan dirinya demi keselamatan kedua anak-anaknya. Tapi ada yang menganggu pikirannya. Apa maksud pria asing itu menyuruhnya utuk datang ke rumah Nomer 13? Rumah itu memang akrab dengan Alex. Tapi itu dulu ketika dirinya masih kanak-kanak. Ia tidak pantas lagi mengenang masa lalu yang kurang menyenangkan. Ia tidak ingin mengenang kembali masa lalunya yang bodoh. Penuh penderitaan sekaligus kekeringan hati yang berkepanjangan.
****
Satu Minggu sebelum penemuan mayat tak berkepala itu, pesawat telepon  tak hentinya berdering. Ia merasa ancaman dengan suara pria bernada dingin itu. Terlalu menakutkan sekaligus membosankan. Pria misterius itu mengancam Alex akan menghabisi nyawa kedua anak-anaknya bila tak dapat memenuhi ancaman tersebut. Sesungguhnya ada yang tidak Alex mengerti dengan ancaman lelaki yang tidak jelas asal-usulnya itu.
Baru ketika ia menemukan mayat laki-laki tak berkepala di halaman belakang rumahnya, segala sesuatu yang membuat hati dan pikirannya terancam mulai terbuka satu demi satu. Ia menjajaki susunan keheranannya  dengan keseriusan ancaman dari pria misterius. Sehari penemuan mayat tak berkepala itu, si pria misterius kembali menelepon. "Mayat yang kautemukan adalah awal dari hidupmu yang semakin memburuk."
"Dasar Sialan! Bangsat!" Alex emosi.
Lelaki itu tertawa kecil. Tampak puas dan ada nada keinginan kuat ketika berkata,"tenang, Pak Alex. Orang sabar disayang Tuhan. Dan tentunya masih ada mayat-mayat lainnya yang akan tergeletak di sekitar rumahmu kalau kamu tidak mengikuti apa yang aku inginkan."
"Ke rumah nomer 13?" Sela Alex tergesa-gesa
"Betul!"
"Maaf. Sebenarnya ada apa di rumah nomer 13 itu? Rumah itu ...."
"Aku tidak bisa menceritakan lewat telepon. Kita harus bertemu dulu."
"Kapan?"
"Lusa. Di ...." Pria itu menyebutkan alamat yang dimaksud. Dan melanjutkan. "Kalau sampai tidak datang." Ia diam dan melanjutkan dengan nada lebih dingin lagi. "Aku tidak akan segan-segan menggorok leher kedua anak-anakmu, Pak Alex."
Tapi hari yang dimaksud dengan pria asing itu, tak kunjung diabaikan Alex. Masih banyak waktu dan sesuatu yang harus ia jalani bersama keluarganya ketimbang menuruti keinginan lelaki asing yang tolol itu. Tidak berguna. Bikin runyam kepala saja, pikirnya. Tapi sekali lagi perasaan takut itu selalu muncul tiba-tiba. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengawasi dirinya dari jarak dekat. Alex tetap tidak memedulikan perjanjian dengan lelaki itu ketika pada malam itu. Dan malam ini, lelaki itu kembali meneleponnya. Ia dilanda kejenuhan sekaligus ketakutan akan ancaman pria misterius itu. Ia merasa dirinya menjadi orang paling bodoh di dunia.
****
Hari yang cerah dan buruk---begitu kental dan di tempat penuh dosa, air susu terasa asin, Alex bangun pagi-pagi sekali. Kemudian ia membangunkan kedua anak-anaknya untuk segera berbenah-benah barang-barang yang sekiranya diperlukan. Lisa terheran-heran melihat gelagat ayahnya yang seperti orang ketakutan. "Ayah kenapa? Kok kayak orang dikejar setan!"
"Nggak apa-apa. Selama beberapa hari ini, kita semua tidur di hotel saja."
Bagi Lisa dan Lesi, pernyataan ayahnya itu merupakan surga yang lama mereka harapkan di neraka dunia. "Ah, yang benar, Yah?" sambil berkata itu Lesi meloncat.
"Asyik tidur di hotel." Sahut Lisa
"AYO KITA JALAN SEKARANG!"
Dan ketika daun pintu dipentangkan, laki-laki besar berdiri di sana dengan menodongkan pistol tepat di kening Alex. "Anda adalah seorang ayah yang baik, sebaiknya ikut saya sekarang!" suara yang lembut dan api neraka menjadi dingin bersama kekuatan suara itu.
BAB 1
Ia mungkin akan pergi ke Aula Makanan Umum---di mana sekelompok laki-laki pemburu cinta, menikmati makanan basi, dan mengakuinya sebagai wanita cantik yang tak akan masuk neraka. Cardigan hitam menyelimuti kaos putih bergambar dua ekor kucing bermain di padang rumput---dan celana Capri yang dikenakannya, membuatnya lebih pantas disebut sebagai 'wanita idaman'. Tetapi itu tidak membuat Alex terpesona, sebab kedua anak-anaknya dan dirinya dalam keadaan kedua tangan terikat di kursi kayu yang semakin panas seperti ada api neraka melekat.
Itu adalah suatu tempat yang cukup hangat---dan kau dapat membayangkan Elvis Presley dan Johnny Cash membicarakan betapa manisnya dirimu. Lemari dua pintu dan meja dari kayu pinus, ada di sudut sana, masih bagus dan itu cukup layak digunakan sampai tiga tahun mendatang. Sikat gigi dan pasta yang membusuk terdampar di kusen jendela, tidak memberikan pemandangan berarti selain penawaran roh-roh yang kapan saja muncul untuk mencekikmu. Tak ada yang mau masuk ke dalam ruangan itu selain orang-orang yang tidak beriman dan terlalu banyak merokok.
Wanita itu berdiri di liang pintu. Senyumannya mengingatkan kita dengan seorang perempuan cantik dari New York yang menyanyikan 'Time after time'. Potongan rambutnya cukup bagus; pendek dicat pirang dan penuh harmoni---tentu saja itu adalah pelengkap sejenis wajah berbentuk kotak. Ini adalah keseimbangan dunia, di mana wanita-wanita cantik beraksi. Kamu tidak akan pernah tahu betapa besarnya dunia tanpa wanita.
"Selamat siang, Pak Alex---saya pikir, ini adalah waktu yang bagus untuk berbincang-bincang, apakah Anda setuju dengan pengakuan saya, Pak Alex?" ia berkata, dan sesungguhnya, kualitas suaranya diakui oleh laki-laki yang berprestasi. Tetapi tidak untuk Alex. Menurutnya, perempuan itu tak kalah mengerikan dari iblis di neraka.
"Jamine!" itu adalah suara penuh kejutan yang tercipta dari lubang mulut Alex.
Jasmine adalah wanita kaya raya yang peduli dengan nasib orang lain. Jika itu memang adalah kebaikan. Â Belanja ke supermarket membeli kopi, susu dan senyuman yang manis, itu bukan kebiasaan Jasmine yang tak peduli seberapa pantas jika seorang wanita cantik yang kaya raya pergi ke sana hanya untuk membeli kopi dan susu.
"Kenapa kamu berbuat ini sama saya?" Alex bertanya. Ekspresinya tidak melebihi aturan seseorang merasakan rasa takut. Ia hanya peduli dengan kedua anak-anaknya.
"Saya pikir tidak ada lagi yang harus dijelaskan, Pak Alex yang Terhormat." Jasmine berkata sambil maju satu langkah---lebih efisien dan hangat. Dan ia melanjutkan. "Tidak ada harapan yang baik untuk orang-orang yang tidak membayar utang"
"Tapi tempo hari saya sudah bilang kalau akan dibayar lunas dua Bulan lagi. Bukankah itu suatu perjanjian yang resmi, Jasmine?"
"Saya tidak berpikir untuk membuat perkara demikian sebagai peresmian." Ia tersenyum, yang harus dilakukannya setelah semua ini selesai, hanyalah pergi ke tempat karaoke dan menyanyikan lagu-lagu Eric Clapton. Oh itu sungguh manis. Anda benar-benar wanita cemerlang, Jasmine.
"Kemudian, apa yang Anda inginkan dari saya?dan sebentar, tolong lepaskan kedua anak-anak saya. Ini tidak bisa terjadi."
Lisa dan Lesi memiliki penampilan wajah cantik dan diselimuti salju tipis yang mengingatkan setiap orang dengan salju di film Dead Snow dan tubuh mereka seperti tangkai mawar di musim semi; bola mata hijau dan cukup menyeimbangkan sifatnya yang manja. Tetapi sekarang, wajah indah itu menjadi ketakutan itu cukup mengerikan, tak mengherankan jika setiap gadis akan dipenuhi sikap tak biasa ketika dihadapkan rasa takut. Itu benar. Dan sekarang, dengan kedua tangan terikat, tidak banyak yang harus mereka lakukan selain berdoa pada Tuhan.
"Dan saya hanya menginginkan Pak Alex untuk datang ke rumah nomer 13." Jasmine tersenyum manis, sebaiknya Alex tidak memandang senyuman itu. Senyuman yang diciptakan dari api neraka sangat pedih untuk dipandang.
"Untuk apa saya pergi ke sana, Jasmine? Untuk apa?"
Jasmine tertawa. Jika gagasan mengubah dunia adalah candaan, sebaiknya ditertawakan saja sejak sekarang. Setiap orang pantas menertawakan yang susah. Jasmine berkata, "Pak Alex yang Terhormat. Saya kira, semuanya akan berjalan dengan sempurna jika Anda pergi ke rumah nomer 13 dan mengambil koper yang disembunyikan di salah satu kamar rumah itu. Saya hanya meminta Anda. Akan tetapi, lebih tepatnya memohon. Apakah Anda mau membawakan koper itu kepada saya, Pak Alex?"
Embusan angin cukup hangat, suatu inisiatif alam yang ceroboh telah masuk melalui ventilasi jendela. Alex angkat bicara. "Koper? Apa isi di dalamnya?"
Jasmine tersenyum. "Itu tidak penting, Pak Alex. Dan sekarang ada yang lebih penting dari itu, yaitu kedua anak-anakmu. Saya hanya menginginkan Anda membawakan koper itu ke hadapan saya---dan saya hanya meminta itu saja. Dan bahkan, kalau saya harus menjawab apa isi di dalam koper itu, kelihatannya perasaan Anda akan tidak tenang setelah melihat isinya. Oh, ya, Pak Alex, saya minta koper itu sudah ada bersama saya, dalam waktu satu Minggu."
"Apa?! Satu Minggu, untuk masuk ke rumah yang sudah lama tidak dihuni."
"Sekarang sudah ada penghuninya---seorang dokter yang menurut  saya cukup baik dan intelektual. Apa Anda ingin membuang waktu untuk anak-anak Anda, Pak Alex. Saya tidak segan-segan untuk menggorok leher mereka."
"BANGSAT!" seru Alex
"Anda yang Bangsat!" Jasmine tidak mau kalah, dan itu tidak membuat suatu perubahan yang bagus.
Lisa dan Lesi menangis. Hanya kecil, dan itu cukup membuat usaha Alex untuk secepatnya pergi ke rumah sialan itu.
Suara Jasmine sekarang lebih lembut. Cukup menggairahkan---dan kaubebas berimajinasi. "Saya ingin Anda pergi ke rumah nomer 13 itu dan membawa koper itu ke hadapan saya. Apa itu kurang jelas, Pak Alex yang Terhormat?"
Berikan ia penjelasan, Alex. Berikan ia kepuasan. Berikan ia pengakuan yang manis. Berikan ia satu kecupan hangat di keningnya. Bukankah semua wanita menginginkan hargadirinya begitu tinggi di hadapan laki-laki. Oh, ya, sekarang kau bisa berpikir seperti itu, Alex. Kau tidak perlu takut. Kau hanya pergi ke rumah nomer 13 itu dan lakukan untuk kedua anak-anakmu.
"Kapan saya harus ke rumah terkutuk itu?"
(Pembaca yang baik hati dan tidak sombong, jangan sekali-kali kalian menjadi Jasmine, Ya.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H