Cerita ini hanya sebagian kecil pendahuluan. Dan akan segera dibukukan, di Februari mendatang.
Bagaimana peran iblis yang menjelma dalam diri manusia?
Dan bagaimana senyuman laknat seorang perempuan yang dinginnya seakan meniup api neraka?
Prolog
Cempaka Putih-Jakarta Pusat. Pertengahan Oktober 2010. Rencananya, Alex akan membawa kedua anak-anaknya berlibur ke Dufan.Â
Dua hari menjelang liburan mereka yang dianggap sebagian orang-orang miskin disebut kesenangan masing-masing---dan itu keburukan untuk masa mendatang, lelaki itu menemukan sesosok mayat tanpa kepala tergeletak di halaman belakang rumah berjenis kelamin laki-laki, ketika hendak membuang sampah di tong sampah yang terletak di sudut halaman belakang rumah tersebut.Â
Pemandangan paling buruk dalam sejarah kehidupan Alex, mengakibatkan liburan ke Dufan bersama keluarganya diundur sampai tiba dimana penekanan masalah mengerikan itu berakhir. Â Nyatanya justru semakin membengkak saja.
Ketika salah satu petugas polisi menanyakan kronologis penemuan mayat yang tak lagi berkepala itu, Alex meminta agar dirinya diintrogasi di tempat yang tak ingin didengar keluarganya.Â
Akhirnya petugas polisi berbadan kekar dengan gaya bicara santun---yang mengingatkan banyak orang dengan suara manis 'Ray Pesetron', membawanya ke dalam kamar, di mana ruangan itu biasa dijadikan tempat untuk bercinta dengan almarhumah istrinya.Â
Di ruangan yang harum bunga mawar itu, Alex dapat menceritakan kronologis penemuan mayat itu terhadap petugas dengan lancar tanpa ada keraguan sedikit pun.Â
Petugas polisi yang tadi malam baru saja bercinta lima kali dengan istri kedua, terlihat sungguh-sungguh mendengarkan dengan seksama. Ia sendiri sulit memercayai bahwa apa yang dikatakan Alex, seperti gaya berbicara penulis novel yang baru saja mendapatkan penghargaan bergengsi. Tapi itu benar. Mayat tak berkepala itu benar-benar ada dan baru saja dibawa oleh tim forensik untuk diautopsi.
Dengan segala kehormatan atas dedikasi yang diberikan terhadap keluarganya, Alex, seorang lelaki yang dua Bulan lalu dihadapkan tekanan ketika menyadari usianya memasuki 55 Tahun dengan perawakan kurus meski dalam sehari ia sudah makan sebanyak empat piring.Â
Wajahnya terkesan dingin namun tak pernah lepas dari senyumannya yang manis. Ia tidak pernah suka bercermin, sebab menurutnya, cermin tak ubahnya jelmaan setan yang terkutuk.Â
Kalau saja di dunia ini segalanya tentang cermin, ia lebih memilih untuk bunuh diri secepatnya---dan setelah itu pergi ke surga bernyanyi 'If I never sing another song' bersama Matt Monro.
"Sudah ratusan kali saya menangani kasus pembunuhan dengan mayat yang kondisi tubuhnya sudah tak bagus. Tapi baru pertama kali ini, tubuh saya dibuat gemetaran." Demikian pernyataan petugas polisi sesudah mendengarkan keseluruhan uraian Alex mengenai penemuan mayat tak berkepala itu.
Keesokan harinya, keluarga Alex masih tak ingin saling berbicara. Alex sendiri hanya duduk-duduk sambil merokok di ruang depan. Pintu dan jendela dibiarkan terpentang lebar.Â
Kedua anak-anaknya sepanjang hari hanya mengurung di dalam kamar seraya berpikir; makan apa hari ini. Tapi dari sekian banyaknya pikiran makanan itu, tak satu pun yang mereka dapatkan. Neraka turun membasuh sekujur tubuh, dan akhirnya kedua anak-anak itu minggat ke rumah sahabatnya.Â
Penemuan mayat tak berkepala itu membuat jalan pikiran mereka menjadi sulit untuk dikondisikan. Sayangnya mereka sudah banyak berupaya mendirikan ketabahan berkali-kali, mencoba untuk melupakan mayat tak berkepala itu, sungguh-sungguh berat rasanya.Â
Seakan-akan bayangan terhadap mayat itu, sudah melekat di benak mereka dan tak akan bisa terkelupas meski segala upaya dimentahkan. Tak ada hitam di antara kegelapan.
Alex kerapkali mengingatkan kedua anak-anaknya untuk tidak mempersoalkan perihal mayat tak berkepala itu dengan berlarut-larut. Sudah ada untuk yang kedua puluh kalinya, mereka menyatakan ketakutannya atas penemuan tubuh tak berkepala itu.Â
Sampai tiga hari selepas penemuan mayat itu, anak-anak belum pernah melihat halaman belakang rumah lagi. Untuk pergi ke dapur saja---demi sekadar buang air atau minum dan menyantap makanan, sepasang mata mereka selalu ditutupi punggung lengan.Â
Pintu dan jendela dapur selalu tertutup. Gorden dibiarkan tertutup pula meski suasana dapur terasa hanyir dengan bau makanan yang tak habis disantap disertai bau pesing dari air kencing yang tak dibanjur.
Barulah setelah Alex menenangkan dengan pelbagai upaya cara mengatasi rasa takut kedua anak-anaknya, pintu dan jendela dapur dibuka dan sebentar-sebentar mereka membuang muka demi meredakan trauma berkepanjangan. Alex tak sampai hati melihat anak-anaknya mendapati tekanan hebat seperti itu.Â
Ada niat untuk membawa mereka menemui psikiater. Namun malam harinya, ketika niat itu dinyatakan, kedua anak-anak itu menolaknya dengan nada lembut.Â
Mereka tidak merasa gila apalagi tertekan atas penemuan mayat itu---dan itu baik-baik saja. Yang mereka pikirkan hingga membuat enggan memandang halaman belakang adalah; mengapa mayat yang sudah tak berkepala itu bisa tergeletak di halaman rumah belakang. Itu sangat tidak wajar.Â
Alex adalah lelaki yang banyak mengejutkan banyak orang---dan kejutan adalah kesenangan yang bagus untuk kesehatannya. Ia berani menyatakan kehendaknya pada siapapun dan tak peduli akan akibatnya.Â
Dengan sentuhan rambutnya yang keriting didukung dengan wajahnya yang bulat, senantiasa ada penegasan terhadap mereka yang mengamatinya dengan seksama. Selalu tersimpan rasa kasihsayang yang mendalam terhadap keluarganya.
Menurut Alex---dan ini bukan dugaan semata---atau memang selanjutnya disebut kecurigaan, pagar yang menjadi pelindung halaman rumahnya itu, Â diperkokoh oleh batubata dengan tinggi mencapai empat meter.Â
Kedua, di sisi luar halaman belakang rumah mereka, terdapat beberapa rumah tetangga yang dapat memantau dengan jelas bila memang ada orang jahat yang sengaja membuang mayat hasil pembunuhannya di halaman belakang rumahnya. Itu sungguh tidak wajar mengingat selama ini keluarga Alex terkenal dengan kesantunannya.Â
Mereka tidak memiliki musuh sama sekali. Hal itu diperjelas dengan pengakuan para tetangga sekitar, ketika petugas polisi meminta keterangan mereka perihal keseharian Keluarga Alex.
Lisa dan Lesi. Mengakui ketakutan yang dirasakan ayahnya. Menurut mereka, tinggal di rumah yang baru saja ditemukan mayat tanpa kepala, sungguh mengerikan dan tak akan asing lagi bagi hantu-hantu jahat untuk mendatangi rumah mereka.Â
Konon, bila rumah itu pernah ada peristiwa pembunuhan, maka para makhluk tak kasatmata memusatkan kiblatnya untuk bersemayam di rumah itu dan mencari kesepakatan dengan penghuni rumah agar bersedia membagi ruang, sekadar untuk melakukan ritual masing-masing. Jarang ada manusia yang mau membagi tempat tinggal demi kepentingan makhluk-makhluk alam lain. Itu sama saja membagi sial---dan sial itu busuk dan haram.
Tapi Alex segera menenangkan Lisa dan Lesi melalui telepon, "Kalian pulang sekarang. Ayah akan menyuruh paranormal untuk mengusir hantu-hantu yang berdatangan ke rumah ini."
Anak-anak itu buru-buru menjawab, "Kami belum mau pulang kalau Ayah hanya akan menyuruh paranormal mengusir hantu dan bukan berkata 'paranormal yang Ayah panggil, baru saja mengusir para hantu-hantu itu'"
Selesai menelepon anak-anaknya, Alex memanggil paranormal yang bersedia membantu untuk membersihkan rumahnya akan kemungkinan adanya makhluk alam lain yang bersemayam di setiap sudut rumahnya. Â 10 menit setelah pengusiran itu berhasil dilakukan paranormal yang memiliki tubuh kurang bagus karena terlalu banyak merokok dan makan lontong sayur, Alex kembali menelepon anak-anaknya, "Ayah sudah membawa paranormal itu---dan hantu-hantu itu sudah dia usir. Rumah kita sudah aman. Kalian bisa pulang sekarang."
Lisa dan Lesi cukup puas merasakan nyenyaknya tidur malam itu di rumah sendiri. Alhasil, pekerjaan rumah yang diberikan guru di sekolah, mereka kerjakan pagi-pagi sebelum sarapan dan siap sedia sebelum berangkat ke sekolah. Alex cukup puas melihat kedua anak-anaknya memancarkan aura semangat yang boleh dibilang seperti embun yang menetes di pagi hari hingga pagi seterusnya.Â
Kepuasan memang selalu dinantikan bagi orang-orang yang baru saja dihadapkan tekanan hebat. Namun perilaku bahagia yang diperlihatkan kedua anak-anaknya, tidak seperti yang diperlihatkan Alex. Wajah laki-laki itu masih tampak murung---dan kemurungan adalah ciptaan api neraka. Ia tak habis pikir dengan apa yang mengganggu di benaknya.
Sesungguhnya ada yang tak beres dan bukan hanya anggapannya saja bahwa penemuan mayat tak berkepala itu dilakukan oleh orang yang sudah tak tahu dimana harus membuang mayat hasil pembunuhannya itu. Ia merasa bahwa penemuan mayat itu, bukan sekadar aksi dari orang gila yang melakukan semua itu demi kesenangan pribadi saja.Â
Alex merasakan adanya keganjilan dari penemuan mayat tak berkepala itu. Alex merasa ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan di luar sana, mengancam dirinya serta dan kedua anak-anaknya.
Lisa kerapkali memergoki ayahnya termenung di teras rumah sambil bergumam sendiri. Gadis itu mengintip dan mendengar melalui celah pintu yang terbuka sedikit. Entah apa yang dipikirkan sang ayah kala itu.Â
Namun, dugaannya menyatakan bahwa ada yang tak beres dengan jalan pikiran Alex. Sejak itu, Lisa sering berdoa pada Tuhan agar ayahnya diberikan kekuatan dan tidak sampai terjerumus ke dalam pemikiran orang yang tak waras.Â
Setiap malam, Lisa selalu memandangi wajah Alex selagi tidur, dan tak lupa mengecup kening ayahnya. Pernah pada suatu malam, gadis itu kepergok selagi mengamati wajah Alex melalui celah pintu.Â
Ada kesan iba, ketika Alex memandangi wajah anaknya yang pucat pasi. Buru-buru Alex mengajak Lisa makan malam dengan mie instan meski waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam---dan makan larut malam tidak baik untuk kesehatan---menurut dokter yang kelaparan. Sebelumnya mereka jarang makan malam di waktu seperti itu.
Alex sendiri enggan mengakui rasa takut itu terhadap kedua anak-anaknya. Ia lebih memilih untuk menyimpan saja sampai waktu yang ditentukan menurut keinginannya. Kapan saja ia bisa membicarakannya. Tidak mesti sekarang.
Orang yang dilanda rasa takut berlebihan tanpa ada kejelasan yang bermaksud untuk diperkirakan dugaannya, biasanya selalu mencari keramaian dan tak ingin masuk ke dalam kegelapan. Dan setiap mau tidur, biasanya Alex selalu mematikan lampu kamar.Â
Namun, sejak rasa takut itu menyerang, semua lampu yang ada di rumah itu dinyalakan terkecuali kamar Lisa dan Lesi sebab kedua anak-anak itu tak ingin tidur dalam suasana terang benderang.
Lisa heran melihat ayahnya seperti itu. "Ayah kenapa? Kenapa lampu dinyalakan semua? Kan sayang listrik, Yah."
Singkat saja Alex menjawab, "Ayah takut gelap, Lisa!" sesudah itu ia tidur tanpa menghiraukan anaknya yang masih mengamati dirinya dengan terheran-heran melalui celah pintu.
Tengah malam itu, Alex mendengar deringan pesawat telepon dari ruang tengah sana. Meski rasa kantuk masih menyergap, buru-buru ia melangkah dan mengangkat gagang telepon itu. "Halo."
"Kalau hidup keluargamu ingin bahagia. Kamu harus datang ke rumah Nomer 13." Kata suara pria dari seberang sana bernada keras.
"Tidak mungkin. Apapun alasannya itu. Anda benar-benar keparat, ya---lebih baik, Anda perpanjang penis untuk memuaskan istri Anda. Dasar Bajingan. Anjing!."
"Potongan kepala yang masih segar akan tergeletak di depan terasmu." Ancam orang bernada dingin itu. Sampai kemudian melanjutkan dengan nada cukup sentimental tetapi terdengar cukup merdu.
"Tentunya mayat dari orang yang paling dekat denganmu. Salah satu anakmu!"
Bersambung...
(Ikuti terus cerita selanjutnya, semoga selalu bahagiaq, Pembaca)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H