Mohon tunggu...
Dristy Aulia
Dristy Aulia Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan penulis

generasi anti sensasi, kejar prestasi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Buku Figuran-Dialog Sendu Kita di Ruang Sederhana

4 November 2021   17:41 Diperbarui: 4 November 2021   17:53 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bertepatan pada tanggal 18 Februari lalu, saya mengadakan sebuah acara kecil di sebuah pondok pesantren, yang terletak di kabupaten Bogor, Jawa Barat. Beberapa orang memeluk bangga, juga mengucapkan selamat seraya berjabat tangan "Selamat ya Teh atas launcing bukunya," begitu kurang lebih mereka ucapkan secara bergiliran. "Iya, makasih,"jawab saya singkat, hambar.

Suasana masih ramai. Karena kami menggelar acara makan bersama. Sebagian orang menghampiri saya sekedar berbincang dan ngobrol biasa dengan sesekali minuman yang telah tersedia sebelumnya. Sementara itu, mataku masih sibuk mencari sesosok yang tak juga hadir dalam pandangan. Sepertinya, dia tidak datang.

"Dia kemana?" tanyaku pada seoarang anak kecil yang sudah tak asing mendengar pertanyaanku, tentang DIA. Tentu saja anak itu sudah tau, siapa Dia yang aku maksud. "Kak Hanz berhalangan hadir Teh, katanya ada urusan keluarga,"jawabnya jujur. Karena undangan syukuran launcing buku itu dadakan, aku pikir mungkin dia juga tidak sempat membacanya.

"Ok, makasih ya Dek," sahutku.

Tak bisa aku pungkiri, tiada rasa bahagia sedikitpun saat itu. Yang ada hanya sekelumit resah yang berkecambuk dalam hati. Ada sakit, yang tak nanpak oleh siapapun juga. Aku meredamnya sendiri, dan dia, mungkin dia adalah orang yang juga tau perihal jeda ruang tunggu yang menunggu akhir dari perpisahan kita.

Hari hampir larut.

Suasana mulai sepi. Aku memeluk erat buku bersampul hitam itu.

FIGURAN.

Judul yang sengaja aku angkat untuk mewakilkan banyak kisah dan dialog sederhana dalam lembaran ceritanya.

Figuran itu sendiri artinya adalah seorang tokoh pemeran yang tak banyak ditampilkan, juga sering kali tak dianggap. Figuran itu adalah aku. Aku yang sebenarnya ada, tapi ditiadakan. Dia, pemilik nama tokoh peran utama, adalah anugerah terindah yang dihadiahkan semesta agar aku bahagia, walau Sementara.

Aku menyukai segala tentangnya. Tatapannya, manjanya, marahnya, dan apapun yang ada pada dirinya, kecuali saat ia mengatakan "Aku mau pergi, "entah mengapa kalimat itu selalu terdengar bagaikan sebuah berita tentang bencana besar yang akan menjadi kutukan.

Disisilain, aku tetap harus realistis. Suatu hari, aku akan pergi, dan dia akan hilang. Tempat ini, adalah sebuah ruang tunggu yang menjeda perpisahan dua insan, untuk saling mengenang.

"Aku sudah tau buku itu tentang apa," ujar Hanz yang tiba-tiba saja datang. Entah sejak kapan dia berdiri di situ. Aku tidak terlalu memerhatikan sekitar.

"Buku itu adalah ungkapan pamit, yang menyisipkan banyak pesan terakhir soal perasaanku selama ini," lirihku.

Hanz dengan tatapan sendunya masih berdiri di sana, samar. Karena sudah hari sudah mulai gelap, dan aku belum menyalakan lampu luar.

"Nanti, jika aku sudah pergi. Kamu bacalah. Di situ ada semua tentang kita yang ingin  aku ceritakan sejak dulu, tapi semesta sudah terlanjur mengutuk semua tentang kita, karena itu aku menulis semuanya dalam buku. " ujarku.

Tanpa mendengar jawaban apapun darinya, aku bergegas pergi. Aku tak ingin, ada air mata yang jatuh dan dia akan tahu, betapa sakitnya aku.

Manusia di bumi ini mana tahu, ada wanita paling bahagia sepertiku yang pernah menjadi pemilik sosok terindah itu. Sekaligus menjadi wanita paling tersisih, saat semua mencaci perjalanan kisahnya, karena aku hanya seorang budak yang mencintai Tuannya.

Malam pun larut.

Doaku hanya satu, aku ingin tertidur selamanya. Dunia ini terlalu rumit, dan aku tidak begitu kuat untuk kembali berjalan di esok hari.

Namun, takdir masih memaksaku untuk tetap berdiri. Keesokan harinya, aku sembunyi-sembunyi keluar dari kota itu tanpa sepatah katapun, pada siapapun. Biarkan semuanya hilang begiti saja, tentang aku yang pernah singgah, biar kupercepat pemergianku, tanpa harus kau tahu.

Jakarta, 4 September 2021

"Heh kamu. Nulis buku tentang Pak Presiden bagus tuh, banyak kebaikannya. Lah ini buku tentang gua, gak ada baik-baiknya," isi sebuah pesan singkat masuk ke ponselku.

Aku tersenyum haru.

Setelah beberapa bulan yang lalu aku menghilang, dia kembali dengan pesan singkat yang membuatku mengingat seribu kenangan yang berusaha aku lupakan. Aku tidak peduli, darimana dia dapat no telephonku. Yang pasti aku tahu, dia tidak benar-benar tiada. Hadirnya tak hanya sekedar dalam hatiku sendiri, melainkan dia juga menyadari artinya aku selama ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun