Aku menyukai segala tentangnya. Tatapannya, manjanya, marahnya, dan apapun yang ada pada dirinya, kecuali saat ia mengatakan "Aku mau pergi, "entah mengapa kalimat itu selalu terdengar bagaikan sebuah berita tentang bencana besar yang akan menjadi kutukan.
Disisilain, aku tetap harus realistis. Suatu hari, aku akan pergi, dan dia akan hilang. Tempat ini, adalah sebuah ruang tunggu yang menjeda perpisahan dua insan, untuk saling mengenang.
"Aku sudah tau buku itu tentang apa," ujar Hanz yang tiba-tiba saja datang. Entah sejak kapan dia berdiri di situ. Aku tidak terlalu memerhatikan sekitar.
"Buku itu adalah ungkapan pamit, yang menyisipkan banyak pesan terakhir soal perasaanku selama ini," lirihku.
Hanz dengan tatapan sendunya masih berdiri di sana, samar. Karena sudah hari sudah mulai gelap, dan aku belum menyalakan lampu luar.
"Nanti, jika aku sudah pergi. Kamu bacalah. Di situ ada semua tentang kita yang ingin  aku ceritakan sejak dulu, tapi semesta sudah terlanjur mengutuk semua tentang kita, karena itu aku menulis semuanya dalam buku. " ujarku.
Tanpa mendengar jawaban apapun darinya, aku bergegas pergi. Aku tak ingin, ada air mata yang jatuh dan dia akan tahu, betapa sakitnya aku.
Manusia di bumi ini mana tahu, ada wanita paling bahagia sepertiku yang pernah menjadi pemilik sosok terindah itu. Sekaligus menjadi wanita paling tersisih, saat semua mencaci perjalanan kisahnya, karena aku hanya seorang budak yang mencintai Tuannya.
Malam pun larut.
Doaku hanya satu, aku ingin tertidur selamanya. Dunia ini terlalu rumit, dan aku tidak begitu kuat untuk kembali berjalan di esok hari.
Namun, takdir masih memaksaku untuk tetap berdiri. Keesokan harinya, aku sembunyi-sembunyi keluar dari kota itu tanpa sepatah katapun, pada siapapun. Biarkan semuanya hilang begiti saja, tentang aku yang pernah singgah, biar kupercepat pemergianku, tanpa harus kau tahu.