"apakah ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuk merubahnya?" tanyaku Kembali.
"ada, doa. Hanya doa yang bisa merubahnya," tandasnya kemudian.
"kalau begitu, aku akan selalu berdoa agar semesta tak bisa memisahkan kita,"ucapku.
Dia memalingkan pandangan. Lelaki itu begitu tak ramah pada setiap tegukan kopi yang tak hangat lagi. Di balik jendela, jalan terbentang luas dengan gemuruh hujan yang mengguyur bumi. Aku mencoba sedikit tenang dalam hati yang kacau berantakan.
Susana menjadi hening. Tiada lagi percakapan, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Bagaiamna bisa Hanz? Bagaimana bisa kamu berpikir semua akan baik-baik saja, sedangkan kamu sendiri tahu, kita tengah sama-sama bertarung dengan waktu untuk sebuah perpisahan yang terjeda?" ucapku lirih.
                                       ***
Sepekan setelah perbincangan kita Ketika itu, aku tidak pernah lagi melihat senyumnya, tak pernah lagi mendengar tutur manjanya. Semua itu hilang perlahan, bersama waktu yang berjalan.
Beberapa kali, aku sempat tak sengaja berjumpa dengannya di jalan, atau di caf langganan. Namun sialnya, ia berpaling dan selalu menghindar. Di kampus, akupun selalu menanyai kabar atau sekedar mengirimkan surat lewat teman dekatnya, namun semua tak pernah dapat jawaban.
Aku hancur, tapi aku tak bisa berbuat banyak. Seluruh insan di bumi ini seakan mengutuku pada waktu itu, aku tahu siapapun takkan mendengarkan. Betapa aku mencintai Hanz.
Dia lelaki yang pernah menerimaku apa adanya dan mencintaiku sepenuh hatinya. Namun, kita di hadapkan pada sebuah takdir yang tak memungkinkan kita untuk bersama. Restu orang tua.