Mohon tunggu...
Dr. Dedi Nurhadiat
Dr. Dedi Nurhadiat Mohon Tunggu... Dosen - Penulis buku pelajaran KTK dan Seni Budaya di PT.Grasindo, dan BPK Penabur

Manajemen Pendidikan UNJ tahun 2013. Pendidikan Seni Rupa IKIP Bandung lulus tahun 1986. Menjabat sebagai direktur media SATUGURU sejak tahun 2021 hingga sekarang. Aktif di Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) sejak tahun 2020. Menjabat sebagai kepala sekolah di beberapa SMA sejak Tahun 2009 hingga sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pak Minto Guru SD Madiun, yang Layak Mendapat Penghargaan Nasional Hardiknas/Harkitnas (Terungkit di Pelepasan Siswa SMA5 Tambun Selatan)

15 Mei 2022   12:05 Diperbarui: 15 Mei 2022   17:20 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bayangan Pk Minto "berkaus merah muda." Penemu Kompor Tenaga Surya.

Judul di atas ini, muncul saat penulis terperanjat mendengar sambutan Dr.Asep Sudarsono, M,Pd di acara pelepasan siswa kelas 3, SMA5 Grand Wisata, Bekasi. Kepala KCD3 itu membahas tentang pentingnya melanjutkan kuliah.  Pidato dengan narasi awal tentang D3 (diploma tiga) dan manfaat  seringnya Re-Uni. Seperti pada video siaran langsung di FB berikut  ini.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1058337258366713&id=100053609911816&sfnsn=wiwspwa

Sesungguhnya sambutan itu, melanjutkan gurauan dengan penulis tentang kisah pribadi sebelum beliau naik mimbar. Ada seloroh yang terungkap menyentuh hati penulis tentang alumni ITB. Jika beliau bernostalgia tentang asmara dan  keindahan masa lalu (kuasa Allah), sedang penulis berhubungan dengan persaingan dunia kerja dengan alumni ITB,  bagai "kawah candra di muka." 

Pernah penulis punya ambisi jadi penemu teknoligi tanpa harus kuliah di ITB. Untuk menunjukan kemampuan dibidang itu. Hal ini  mengingatkan kepada tokoh penemu "Kompor Tenaga Surya" dari orang biasa berstatus Guru Sekolah Dasar di Madiun. Akhirnya Pk Minto, sempat bersanding dengan penulis dalam suatu kegiatan di Diknas Pendidikan Madiun.

Penulis tergugah mengungkap kembali  kisah lama ini,  untuk HARDIKNAS/HARKITNAS 2022.  Akibat  gurauan kepala KCD3 menjelang naik mimbar. Dari gurauan  itu, memiliki persamaan karena menyebut nama harum alumni ITB (Institut Teknoligi Bandung).

Tentu  dalam sebuah perbincangan hangat, menyangkut masa lalu yang melahirkan situasi hari ini. Populernya alumni ITB jaman dahulu, membuat terkesan tidak akan terlupakan. ITB itu adalah  salah satu Institut yang mampu melampaui popularitas Universitas yang ada. Namun tak diduga, alumninya sempat menggerakkan hati penulis, untuk bangkit ingin bersaing dengannya. Dan sesungguhnya kita semua punya garapan masing-masing yang bisa bersinergi. Bukan bersaing tapi membangun suatu bangunan kokoh atas dasar saling menghargai. Kini impian itu terwujud dan saya tuliskan di akhir tulisan.

Yang tentu saja  topik tulisan berikut ini, hanya menguraikan dari segi hal pribadi. Bukan menyangkut institusi keorganisasian.  Tentu sudutnya sangat berbeda. Walau IKIP dan ITB sempat adu pengaruh masalah tenaga guru.

Walaupun sama-sama Institut  tetap  IKIP berbeda dengan ITB. Nama ITB yang terus menggema di hati  pelajar yang hendak melanjutkan  kuliah ke PTN. Bahkan sesama  PTN sempat IKIP Bandung berseteru di tahun 1983 karena ITB juga mengeluarkan lulusan untuk tenaga guru. Akhirnya program keguruan di ITB menghilang, sejak konflik itu mencuat. Ini adalah pembelajaran berharga bagi penulis.

Dalam persaingan ilmu keguruan IKIP Bandung tampak lebih perkasa dan percaya diri memasang bendera antar negara di depan kampus Bumi Siliwangi hingga saat ini. Dirasakan penulis yang sempat  beberapa kali duduk sebangku dengan   mahasiswa IKIP Bandung asal Malaysia. Bahkan sempat berdampingan kost di kampung Negla, Bandung Utara, saat itu.

Walau begitu, ITB tetap menyilaukan bagi sebagian  calon mahasiswa PTN di Indonesia. Padahal realita di lapangan, kualitas pribadi sangat mewarnai.  Tidak selamanya kuliah di politeknik, program diploma, atau di institut lebih rendah gengsinya di banding nama perguruan tinggi. Banyak contoh alumni berprestasi di dunia kerja, yang dapat jadi rujukan untuk hal ini.

Terbukti tidak semua lulusan IKIP  program  diploma, bisa lebih rendah pamornya dari lulusan universitas ternama, terbukti setelah mereka ada di lapangan.  Namun tidak bisa tutup mata, lulusan Universitas itu akan sering  jadi Benchmarking bagi pesaingnya untuk hal tertentu. Ini merupakan jasa Universitas bagi  bangsa Indonesia. Semua ini  berkat almamaternya yang handal, dari para individu sebelumnya.

Benar juga adanya banyak mahasiswa mengambil program diploma itu, karena terdesak oleh keadaan. Walaupun berada di universitas, mahasiswa  progran diploma itu pamornya kurang menarik. Diantaranya karena pertimbangan ketidak mampuan dalam berbagai hal. Terutama segi ekonomi keluarga.  Ini adalah realita di masyarakat yang sering silau oleh harumnya Universitas Negeri. Tapi berbeda dengan Institut sekelas ITB. Atau sekolah kedinasan sekelas STAN atau STPDN.

Terlepas dari pamor Institut atau universitas. Banyak mahasiswa terpaksa mengambil program diploma karena rata-rata memperhitungkan bidang ekonomi orang tua yang menggalang pembiayaan. Kuliah itu perlu anggaran yang memadai untuk bisa tuntas. Padahal peluang beasiswa  bagi masa depan mahasiswa, banyak dibuka di masa Orde Baru.  Syaratnya harus berprestasi.

Mengapa lebih bangga berkuliah di Universitas? Disamping kuliah di progran kedinasan ? Padahal tidak beda jauh antara universitas dengan  institut itu.   

Karena sama-sama menyediakan dua jenis pendidikan berupa program akademik dan vokasi.  Vikasi untuk  keguruan, kalah pamor dari vokasi teknologi dan kedinasan diluar guru. Hanya saja jika universitas mencakup beragam rumpun ilmu. Sedangkan  Institut itu,  hanya menyediakan beberapa rumpun ilmu yang sejenis.

Terasa kuliah di Universitas lebih bergengsi, karena pergaulan mahasiswa lebih luas, lintas ilmu. Bahkan bagi mereka yang mencari pasangan hidup terasa lebih bangga jika punya calon pasangan, berstatus kuliah di universitas ? Hal demikian sering dijadikan patok ukur,  oleh para mahasiswa Institut untuk memacu diri di tempat kerja (ini dahulu). Jika ada alumni universitas negeri di tempat kerjanya, sering jadi benchmarking. Walau pada akhirnya yang keluar sebagai pemenang kehidupan dalam berkarir adalah kualitas diri.

Di Insitut itu pergaulannya lebih fokus pada disiplin ilmu khusus. Kurang luas cakupannya. Seperti IKIP yang fokus pada ilmu didaktika dan metodik. Terlebih lagi  program diploma lebih menitikberatkan pada praktik ketimbang teorinya.  Perkuliahan diploma itu, bidang ajar yang digeluti biasanya hanya sesuai pesanan pengguna lulusan. Yaitu agar lulusan  siap terjun ke lapangan dengan segera, sesuai kebutuhan.

Sekolah kedinasan dan Institut dibidang teknoligi, gengsinya  berada di barisan paling atas. Seperti;  ITB, STAN, STPDN, STTD, dst. Namun sejak pemerintah mengeluarkan program sertifikasi guru, program keguruan melejit, jadi rebutan. Namun belum setara dengan popularitas keguruan di negeri Malaysia. IKIP Bandung lebih bergengsi dan berani memasang bendera lintas negara ketimbang UNPAD atau ITB, mengapa ? Asrama yang dibangun UNPAD yang diperuntukan bagi mahasiswa dari luar negeri, kini  hanya di isi  oleh mahasiswa dalam negeri saja  (Akan di bahas pada topik khusus). Pamor penyelenggara keguruan boleh berbangga untuk hal ini.

Karena mahasiswa diploma itu, disiapkan untuk para calon pekerja lapangan. Maka perkuliahannya dilakukan sekitar 60% untuk praktik dan 40% teori. Kebalikan dari program sarjana yang harus menguasai maksimal dalam segala hal. Penguasaan teori-teori harus maksimal sebelum terjun ke prakteknya. Kompetisi para mahasiswa, tentu orientasinya pada masa depan, setelah menuntaskan pendidikan.

Pengalaman pribadi penulis tentang hal ini, sangat  dirasakan sekitar tahun 1987 sd 1990an. Saat itu, penulis membawa naskah ke penerbit. Semula, naskah penulis disambut dengan senang hati, namun harus berhadapan dengan editor dan ilustrator lulusan ITB (Institut Teknoligi Bandung). Yang punya pamor di perusahaan tersebut.

Naskah yang semula siap terbit setelah beberapa bulan, berada di meja redaksi ternama di Jakarta, jadi ngulur dan hampir tidak bisa terbit. Karena dinilai oleh team yang ada di dalam, dianggap  isi naskahnya sangat meragukan. Para pakar lulusan perguruan tinggi di sana, menilai penulis hanya lulusan diploma dari sebuah institut. Sedangkan saingan penulis  di pasar buku nasional saat itu, sekelas Profesor dan Doktor. Mereka datang dari berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia. Sedangkan saya sebagai penulis pemula, lulusan diploma dari Institut keguruan.

Saat itu, penulis buku itu sangat terhormat. Seperti sangat dikenal, penulis buku "Seni Rupa" untuk SMP dan SMA di peberbit Angkasa Bandung, tahun 1987 adalah dosen ITB bernama " Onong Nugraha."Beliau adalah Ilustrator kawakan di berbagai majalah dan koran  kota Bandung. Siapa yang tidak silau ?  Hal inilah yang diduga membuat para alumni ITB, sangat ciut untuk menulis buku pelajaran SD, SMP, SMA, atau SPG. 

Berbeda dengan penulis yang berada di lapangan. Pengajar yang terjun langsung mengajar siswa. Walau kenyataannya saya hanya dari lulusan program diploma dari sebuah Institut. Penulis merasa banyak kesenjangan antara kebutuhan dan realita di sekolah. Buku yang beredar di sekolah hanya sebatas proyek pesanan pemerintah yang berkuasa saja. Sedang di lapangan membutuhkan hal lebih dari itu. Butuh tata cara praktis menyablon kaos, membatik, atau memadukan musik, tari, teater lengkap dengan propertinya.

Karena penulis adalah lulusan diploma dari sebuah Institut di Bandung.  Dan sudah mulai mengajar sejak lulus SPG. Wajar jika mengetahui betul, keadaan lapangan secara detile ketimbang profesor yang menghadapi mahasiswa. Penulis merasa lebih paham tentang kebutuhkan masyarat pengguna buku cetak ditingkar SD, SMP dan SMA. Apalagi mereka yang kuliah di Institut Teknoligi yang tidak belajar didaktik dan metodik. Akta mengajar itu sangat penting untuk menulis buku pelajaran.

Karena kemelut proses penerbitan buku SMA yang dibuat terombang-ambing, di PT Inter Masa, Jakarta. Akhirnya, penulis sedikit tersendat melanjutkan karir dalam bidang ini. Karena di dalam penerbit besar tersebut, harus bertemu dengan para pakar lulusan Universitas ternama, khususnya seni murni. Yang sangat paham tentang konsep teoritis. Ilmunya berkelas Internasional. Tapi buku itu, bukan sekedar membahas materi. Perlu metoda pembangkit imaginasi yang tidak mereka miliki.

Akhirnya penulis yang merasa percaya diri dengan ilmu yang diperoleh saat bekerja di lapangan. Pergi menjauh, membawa naskah buku pelajaran untuk SMP dan SD ke Gramedia Jakarta. Saat itu, secara kebetulan awal mula lahirnya Grasindo dan Elex Media Kopuntindo. Penulis begitu percaya diri menunjukan, jejak lapangan.

Dalam beberapa bulan saja, sejak buku pelajaran itu terbit, semua toko buku Gramedia, di seluruh Indobesia, dibanjiri buku pelajaran yang penulis buat. "Seni Rupa dan Kerajinan" menjadi buku Best Sellers, atau
produk yang laku keras. Hingga masuk di berita koran "Tempo" dengan tulisan satu halaman penuh dengan judul berita "Sampingan yang Renyah Bin Halal."

Sejak saat itu, penulis mulai sangat sibuk menerima undangan untuk jadi pembicara, lewat Grasindo Jakarta. Bangkalan Madura, Batang, Madiun dan  Surabaya adalah proyek pertama yang dikunjungi. Dalam perjalanan itu,  sempat menatar para Penilik/Pengawas SD berdampingan dengan Pk Minto (Madiun). Sangat bangga mengapa? Karena beliau itu begitu viral sebagai penemu "Kompor Tenaga Surya."  Beberapa statsiun TV luar negeri menayangkan hasil temuannya. Diantaranya lewat TV dari Nagoya,  Jepang.  Bahkan TMII di Jakarta, memajang karya beliau untuk para pengunjungnya.

Liputan kompor tenaga surya itu viral luar biasa, sejak tayang di TV Jepang. Akhirnya TVRI menyusul ikut jejak statsiun televisi luar negeri, mempublikasikannya.  Sangat wajar jika saya sangat bangga berdampingan dengan Pk Minto.

Saya sebagai penulis buku pelajaran "Kerajinan Tangan & Kesenian" pertama di Indonesia, tidak merasa lebih berarti dari Pk Minto.

Namun pola penulisan buku "Seni Budaya"  dan "KTK" yang akhirnya di adopsi penerintah, penulis merasa bangga walau "sangat kehilangan."  BSNP mengeluarkan buku pelajaran yang menggabungkan materi ajar dari berbagai disiplin ilmu seni dalam satu buku, menggerus buku yang saya terbitkan, jauh sebelumnya. 

Sayapun bangga merasa jadi seorang pelopor yang "tanpa tanda jasa." Saya akan tetap jadi orang yang seperti itu, walau sering berbenturan. Seperti saat ujian naik golongan ke 4d yang harus gagal. Berhasil di presentasi karya ilmiah; PTS, Best Practice, dan pembuatan jurnal.  Tapi harus bertekuk lutut, gugur di test tulis mata pelajaran dan managerial. Gugur ?

Walau harus gugur, sejak saat itu saya seorang penulis, merasa bangga dengan orang-orang seperti pak Minto. Dia adalah guru SD dari Madiun. Saya ingin menunjukan karya ke seluruh dunia, seperti beliau. Walau banyak rintangan. Saya ingin meniru jejak "Pak Minto"  hanya sebagai guru SD. Tapi sering jadi Dosen undangan di beberapa perguruan tinggi, mempublikasikan dan menularkan ilmunya.

Tak lama sejak saat itu, saya mendapat undangan dari perguruan tinggi NCGU konon dari USA. Saat saya berkunjung ke markas NCGU di Depok, Jawa Barat. Penulis di pertunjukan foto Dr. Hamzah Haz Wakil Presiden ke sembilan yang menjabat tahun 2021, Foto Dr. Maya Olivia Rumantir M.A., Ph.D. Foto menteri Pendidikan,  hingga foto Bupati Bekasi,  yang sedang wisuda mengenakan toga gelar Doktor Honoris Causa. Konon kata mereka saya diundang di sejajarkan dengan mereka  karena melihat karya yang ada di toko buku  (maaf saya kurang percaya diri/ tidak percaya).  Maka saya menolaknya, dan tahun berikutnya saya di undang kembali. Undangan ke dua saya tidak hadir.

Akhir tahun 2021, saya menerima undangan penganugrahan penghargaan Nasional Indonesia Emas dari organisasi berbeda. Pak Saronto, S.Pd  stap wakasek SMA1 Setu begitu tergopoh-gopoh menunjukan undangan itu. Sayapun menolaknya sebab ada gejala seperti NCGU dari USA. Mengapa ? Hanya saya pendam sendiri. Sementara, banyak pihak sangat bangga dengan penghargaan semacam itu, dan hal ini, sesungguhnya bisa jadi peluang bagi perjuangan jenjang karir. Saya ingin melupakan semua itu, untuk beberapa catatan khusus. Diantaranya mau menerima jika "tanpa pamrih."

Walau saya hingga saat ini, merasa satu perjuangan dengan "Pak Minto."  Saya tetap bangga walau saat Idul Fitri 2022 kemarin,  saya dapat surat istimewa "telah mengikuti UKKJ," namun belum bisa naik golongan ke IVd. Padahal beberapa tahapan bisa lolos dengan upaya maksimal, dan melelahkan. Diduga di tahap akhir harus gugur  karena mendapat nilai hanya 60 (untuk Bidang Studi Gambar). 

Tampaknya saat test tulis, ada sedikit berontak dalam hati(kurang ikhlas), ketika menghadapi banyak soal tentang melukis teknik Aquareel yang terkesan mempromosikan cat air.  Konon cat air itu buatan RRC. Saya keberatan jika seluruh siswa harus membeli cat lukis bahan itu, berapa banyak uang mengalir ke luar negeri? (tampak seperti suatu alasan yang dibuat-buat). Cukup vaksin Covid-19 saja yang harus beli ke luar negeri mengabaikan vaksin Merah Putih. Tapi khusus untuk PBM, saya lebih bangga membuat cat buatan bangsa sendiri dari minyak bunga matahari, getah pelepah pisang, atau batuan berwarna, itu adalah  produk dalam negeri. Atau saya bangga dengan Seni Rupa berupa; batik parang rusak dari Yogya, batik Solo, motip awan dari Cirebon, patung akar dari Bali, motif songket dari Dayak, atau ukiran dari Jepara. Disamping itu kan golongan 4d itu akan otomatis didapat setelah purna bakti (sambil mengelus dada).

Tapi saya bangga, pernah punya karya  yang diterbitkan  di Grasindo, Jakarta yang sering di jadikan buku rujukan nasional. Buku SD, SMP, SMA itu sempat  bestseller dan jadi koleksi berbagai perpustakaan nasional. Dan digunakan sebagai rujukan baik oleh mahasiswa perguruan tinggi, maupun rujukan bagi penulis naskah buku pelajaran.

Saat penulis berada  di "bursa naskah buku BSNP" ada guru SD yang jadi penulis, dan naskahnya lolos  dalam seleksi buku nasional. Dia datang menghampiri dan mencium tangan saya "Terima Kasih bapak. Saya sejak jadi guru, selalu menggunakan buku yang bapak tulis. Sekarang buku saya lolos satu jilid untuk SD" Ucap dia.  Saya lupa bertanya siapa namanya. Tapi harga beli lepas buku itu tampak lumayan besar untuk penulis pemula, walau belum setara dengan royalty rutin 6 bulan sekali dalam setahun, bagi penulis komersil. Itulah kebanggaan masa lalu bagi penerbit & penulis.

Saya saat itu, menulis naskah  tanpa pamrih. Tanpa ada hasrat ingin dikenal sebagai penulis. Cukup bisa dimanfaatkan saja sudah bangga. Meluncur dan terbitpun secara alamiah sesuai prosedur yang ada. Hingga bukunya sempat dibeli pemerintah DKI. Tapi Kok ada penulis  yang lolos di BSNP tahu nama saya Dedi Nurhadiat yang bukunya dia gunakan setiap kali mengajar ? Diduga  mungkin karena saya sering menatar, dan di halaman akhir buku, selalu memasang foto terbaru.

Bagi para pembaca naskah ini, yang mengenal Pak Minto, dan seorang penulis buku SD yang saat itu, begitu tulus menjabat tangan saya. Sampaikanlah pesan penulis kepada mereka, "saya ingin bertemu." Semoga yang bersangkutan juga sempat membaca tulisan ini.

Flyer lomba menulis HARDIKNAS /HARKITNAS tingkat nasional. Diselenggarakan Media SATUGURU.
Flyer lomba menulis HARDIKNAS /HARKITNAS tingkat nasional. Diselenggarakan Media SATUGURU.

Saya hanya ingin berbagi ilmu kepada para pembaca kompasiana. Jika mereka sempat dipertemukan ulang, mungkin bisa jadi "konten youtube."  Karena mereka itu adalah orang-orang hebat. Toh identitas Pak Minto mudah di lacak. Begitu juga penulis buku SD yang yang naskahnya lolos di BSNP, begitu mudah di lacak. Masalahnya apakah mereka masih ingat dengan saya saat ini?Bagi penulis, dua tokoh di atas adalah Pahlawan Pendidikan, dan Pahlawan Hari Pendidikan Nasional. Maka saya dan jajaran redaksi media SATUGURU mengadakan lomba menulis tingkat nasional 2022. Seperti flyer yang penulis share di naskah ini. Semoga nanti lahir  banyak"Minto" yang lain, lahir pada generasi berbeda.

Media SATUGURU itu di dalamnya terdiri dari para lulusan perguruan tinggi tersebut di atas. Mereka semua adalah lulusan perguruan tinggi yang pernah mewarnai Indonesia, dari sudut yang berbeda. Kita semua pada akhirnya bersatu karena punya kepentingan yang sama untuk Indonesia agar bangkit lewat pendidikan.  Kami di organisasi ini, ingin berbagi berkah.

Media SATUGURU itu didukung oleh alumni lintas Perguruan Tinggi Ternama dari mulai ITB, UI, UPI, UNJ, IPB,  UNY, dan beberapa perguruan tinggi swasta lainnya. Bahkan pelopornya adalah Ir. Isnawan,  lulusan IPB yang menyekolahkan anaknya di luar negeri. Insyaallah akan mengharumkan Indonesia pada saatnya. Wallohualam (DN).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun