Judul di atas ini, muncul saat penulis terperanjat mendengar sambutan Dr.Asep Sudarsono, M,Pd di acara pelepasan siswa kelas 3, SMA5 Grand Wisata, Bekasi. Kepala KCD3 itu membahas tentang pentingnya melanjutkan kuliah. Pidato dengan narasi awal tentang D3 (diploma tiga) dan manfaat  seringnya Re-Uni. Seperti pada video siaran langsung di FB berikut  ini.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1058337258366713&id=100053609911816&sfnsn=wiwspwa
Sesungguhnya sambutan itu, melanjutkan gurauan dengan penulis tentang kisah pribadi sebelum beliau naik mimbar. Ada seloroh yang terungkap menyentuh
hati penulis tentang alumni ITB. Jika beliau bernostalgia tentang asmara dan  keindahan masa lalu (kuasa Allah), sedang penulis berhubungan dengan persaingan dunia kerja dengan alumni ITB,  bagai "kawah candra di muka."ÂPernah penulis punya ambisi jadi penemu teknoligi tanpa harus kuliah di ITB. Untuk menunjukan kemampuan dibidang itu. Hal ini  mengingatkan kepada tokoh penemu "Kompor Tenaga Surya" dari orang biasa berstatus Guru Sekolah Dasar di Madiun. Akhirnya Pk Minto, sempat bersanding dengan penulis dalam suatu kegiatan di Diknas Pendidikan Madiun.
Penulis tergugah mengungkap kembali  kisah lama ini,  untuk HARDIKNAS/HARKITNAS 2022.  Akibat  gurauan kepala KCD3 menjelang naik mimbar. Dari gurauan  itu, memiliki persamaan karena menyebut nama harum alumni ITB (Institut Teknoligi Bandung).
Tentu  dalam sebuah perbincangan hangat, menyangkut masa lalu yang melahirkan situasi hari ini. Populernya alumni ITB jaman dahulu, membuat terkesan tidak akan terlupakan. ITB itu adalah  salah satu Institut yang mampu melampaui popularitas Universitas yang ada. Namun tak diduga, alumninya sempat menggerakkan hati penulis, untuk bangkit ingin bersaing dengannya. Dan sesungguhnya kita semua punya garapan masing-masing yang bisa bersinergi. Bukan bersaing tapi membangun suatu bangunan kokoh atas dasar saling menghargai. Kini impian itu terwujud dan saya tuliskan di akhir tulisan.
Yang tentu saja  topik tulisan berikut ini, hanya menguraikan dari segi hal pribadi. Bukan menyangkut institusi keorganisasian.  Tentu sudutnya sangat berbeda. Walau IKIP dan ITB sempat adu pengaruh masalah tenaga guru.
Walaupun sama-sama Institut  tetap  IKIP berbeda dengan ITB. Nama ITB yang terus menggema di hati  pelajar yang hendak melanjutkan  kuliah ke PTN. Bahkan sesama  PTN sempat IKIP Bandung berseteru di tahun 1983 karena ITB juga mengeluarkan lulusan untuk tenaga guru. Akhirnya program keguruan di ITB menghilang, sejak konflik itu mencuat. Ini adalah pembelajaran berharga bagi penulis.
Dalam persaingan ilmu keguruan IKIP Bandung tampak lebih perkasa dan percaya diri memasang bendera antar negara di depan kampus Bumi Siliwangi hingga saat ini. Dirasakan penulis yang sempat  beberapa kali duduk sebangku dengan  mahasiswa IKIP Bandung asal Malaysia. Bahkan sempat berdampingan kost di kampung Negla, Bandung Utara, saat itu.
Walau begitu, ITB tetap menyilaukan bagi sebagian  calon mahasiswa PTN di Indonesia. Padahal realita di lapangan, kualitas pribadi sangat mewarnai.  Tidak selamanya kuliah di politeknik, program diploma, atau di institut lebih rendah gengsinya di banding nama perguruan tinggi. Banyak contoh alumni berprestasi di dunia kerja, yang dapat jadi rujukan untuk hal ini.
Terbukti tidak semua lulusan IKIP  program  diploma, bisa lebih rendah pamornya dari lulusan universitas ternama, terbukti setelah mereka ada di lapangan.  Namun tidak bisa tutup mata, lulusan Universitas itu akan sering  jadi Benchmarking bagi pesaingnya untuk hal tertentu. Ini merupakan jasa Universitas bagi  bangsa Indonesia. Semua ini  berkat almamaternya yang handal, dari para individu sebelumnya.