Mohon tunggu...
Dr. Dedi Nurhadiat
Dr. Dedi Nurhadiat Mohon Tunggu... Dosen - Penulis buku pelajaran KTK dan Seni Budaya di PT.Grasindo, dan BPK Penabur

Manajemen Pendidikan UNJ tahun 2013. Pendidikan Seni Rupa IKIP Bandung lulus tahun 1986. Menjabat sebagai direktur media SATUGURU sejak tahun 2021 hingga sekarang. Aktif di Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) sejak tahun 2020. Menjabat sebagai kepala sekolah di beberapa SMA sejak Tahun 2009 hingga sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pak Minto Guru SD Madiun, yang Layak Mendapat Penghargaan Nasional Hardiknas/Harkitnas (Terungkit di Pelepasan Siswa SMA5 Tambun Selatan)

15 Mei 2022   12:05 Diperbarui: 15 Mei 2022   17:20 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benar juga adanya banyak mahasiswa mengambil program diploma itu, karena terdesak oleh keadaan. Walaupun berada di universitas, mahasiswa  progran diploma itu pamornya kurang menarik. Diantaranya karena pertimbangan ketidak mampuan dalam berbagai hal. Terutama segi ekonomi keluarga.  Ini adalah realita di masyarakat yang sering silau oleh harumnya Universitas Negeri. Tapi berbeda dengan Institut sekelas ITB. Atau sekolah kedinasan sekelas STAN atau STPDN.

Terlepas dari pamor Institut atau universitas. Banyak mahasiswa terpaksa mengambil program diploma karena rata-rata memperhitungkan bidang ekonomi orang tua yang menggalang pembiayaan. Kuliah itu perlu anggaran yang memadai untuk bisa tuntas. Padahal peluang beasiswa  bagi masa depan mahasiswa, banyak dibuka di masa Orde Baru.  Syaratnya harus berprestasi.

Mengapa lebih bangga berkuliah di Universitas? Disamping kuliah di progran kedinasan ? Padahal tidak beda jauh antara universitas dengan  institut itu.   

Karena sama-sama menyediakan dua jenis pendidikan berupa program akademik dan vokasi.  Vikasi untuk  keguruan, kalah pamor dari vokasi teknologi dan kedinasan diluar guru. Hanya saja jika universitas mencakup beragam rumpun ilmu. Sedangkan  Institut itu,  hanya menyediakan beberapa rumpun ilmu yang sejenis.

Terasa kuliah di Universitas lebih bergengsi, karena pergaulan mahasiswa lebih luas, lintas ilmu. Bahkan bagi mereka yang mencari pasangan hidup terasa lebih bangga jika punya calon pasangan, berstatus kuliah di universitas ? Hal demikian sering dijadikan patok ukur,  oleh para mahasiswa Institut untuk memacu diri di tempat kerja (ini dahulu). Jika ada alumni universitas negeri di tempat kerjanya, sering jadi benchmarking. Walau pada akhirnya yang keluar sebagai pemenang kehidupan dalam berkarir adalah kualitas diri.

Di Insitut itu pergaulannya lebih fokus pada disiplin ilmu khusus. Kurang luas cakupannya. Seperti IKIP yang fokus pada ilmu didaktika dan metodik. Terlebih lagi  program diploma lebih menitikberatkan pada praktik ketimbang teorinya.  Perkuliahan diploma itu, bidang ajar yang digeluti biasanya hanya sesuai pesanan pengguna lulusan. Yaitu agar lulusan  siap terjun ke lapangan dengan segera, sesuai kebutuhan.

Sekolah kedinasan dan Institut dibidang teknoligi, gengsinya  berada di barisan paling atas. Seperti;  ITB, STAN, STPDN, STTD, dst. Namun sejak pemerintah mengeluarkan program sertifikasi guru, program keguruan melejit, jadi rebutan. Namun belum setara dengan popularitas keguruan di negeri Malaysia. IKIP Bandung lebih bergengsi dan berani memasang bendera lintas negara ketimbang UNPAD atau ITB, mengapa ? Asrama yang dibangun UNPAD yang diperuntukan bagi mahasiswa dari luar negeri, kini  hanya di isi  oleh mahasiswa dalam negeri saja  (Akan di bahas pada topik khusus). Pamor penyelenggara keguruan boleh berbangga untuk hal ini.

Karena mahasiswa diploma itu, disiapkan untuk para calon pekerja lapangan. Maka perkuliahannya dilakukan sekitar 60% untuk praktik dan 40% teori. Kebalikan dari program sarjana yang harus menguasai maksimal dalam segala hal. Penguasaan teori-teori harus maksimal sebelum terjun ke prakteknya. Kompetisi para mahasiswa, tentu orientasinya pada masa depan, setelah menuntaskan pendidikan.

Pengalaman pribadi penulis tentang hal ini, sangat  dirasakan sekitar tahun 1987 sd 1990an. Saat itu, penulis membawa naskah ke penerbit. Semula, naskah penulis disambut dengan senang hati, namun harus berhadapan dengan editor dan ilustrator lulusan ITB (Institut Teknoligi Bandung). Yang punya pamor di perusahaan tersebut.

Naskah yang semula siap terbit setelah beberapa bulan, berada di meja redaksi ternama di Jakarta, jadi ngulur dan hampir tidak bisa terbit. Karena dinilai oleh team yang ada di dalam, dianggap  isi naskahnya sangat meragukan. Para pakar lulusan perguruan tinggi di sana, menilai penulis hanya lulusan diploma dari sebuah institut. Sedangkan saingan penulis  di pasar buku nasional saat itu, sekelas Profesor dan Doktor. Mereka datang dari berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia. Sedangkan saya sebagai penulis pemula, lulusan diploma dari Institut keguruan.

Saat itu, penulis buku itu sangat terhormat. Seperti sangat dikenal, penulis buku "Seni Rupa" untuk SMP dan SMA di peberbit Angkasa Bandung, tahun 1987 adalah dosen ITB bernama " Onong Nugraha."Beliau adalah Ilustrator kawakan di berbagai majalah dan koran  kota Bandung. Siapa yang tidak silau ?  Hal inilah yang diduga membuat para alumni ITB, sangat ciut untuk menulis buku pelajaran SD, SMP, SMA, atau SPG. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun