Mohon tunggu...
Dr. Dedi Nurhadiat
Dr. Dedi Nurhadiat Mohon Tunggu... Dosen - Penulis buku pelajaran KTK dan Seni Budaya di PT.Grasindo, dan BPK Penabur

Manajemen Pendidikan UNJ tahun 2013. Pendidikan Seni Rupa IKIP Bandung lulus tahun 1986. Menjabat sebagai direktur media SATUGURU sejak tahun 2021 hingga sekarang. Aktif di Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) sejak tahun 2020. Menjabat sebagai kepala sekolah di beberapa SMA sejak Tahun 2009 hingga sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nilai Positif Perbandingan Suara Adzan dan Suara Anjing(Kajian Dunia Pendidikan)

25 Februari 2022   04:48 Diperbarui: 11 Maret 2022   14:48 1041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Barometer reaksi masyarakat terhadap isu kontroversi suara adzan & suara anjing itu punya nilai bagi NKRI. Jika kita bandingkan dengan reaksi hal serupa sebelumnya, kita bisa menilai kadar marahnya masyarakat. Karena hiruk-pikuk demikian sudah pernah terjadi jauh sebelum menteri agama mengeluarkan pernyataan. Seperti  kontroversi  Dedi Mulyadi yang telah membantah  analogikan suling dengan Al-Quran, tetap dahsyat  dan viral. 

Yang paling dahsyat itu bara api masyarakat muslim, saat Sukmawati Soekarnoputri  menyinggung adzan dan cadar di tahun 2018. Dalam puisi beliau "kidung lebih merdu dari Adzan."  Menelaah dampak viralnya peristiwa yang di uraikan di atas, hingga menyangkut hukum.  para pejabat saat mengeluarkan pernyataan tentang adzan itu perlu kehati-hatian.  Karena  sudah ada contoh sebelumnya. Seperti pada uraian di atas. 

Hebohnya pernyataan sensitif hingga viral, jika digambarkan seperti membakar semak belukar saat kemarau panjang. Jangan sampai menunggu angin kencang meniup. Sebelum membesar  segeralah meminta maaf, untuk mematikan bara apinya. Jangan menunggu ada yang menyeretnya ke jalur hukum. Karena umat muslim Indonesia itu sesungguhnya sangat pemaaf.

 

Kisah lama cukup jadi peringatan, seperti kisah  seruling, puisi  tentang kidung dan konde, haramnya wayang. Terbukti berbanding terbalik dengan semaraknya kelakson telolet yang berisik tapi menghibur sebagian orang.  Setiap ada bara api membakar semak,   seharusnya ada kelompok yang menyejukan umat, sebelum pelaku dugaan penista digiring ke ranah hukum. Dan tentu saja hal ini jadi bidang kajian dunia pendidikan.

Kita wajib bersyukur, peristiwa apapun di Indonesia, jika sudah mentok hampir semua bisa selesai dan damai. Walaupun banyak yang harus digiring  dulu ke ranah hukum.  Seperti peristiwa sebelumnya saat masyarakat begitu antusias menyaksikan berita tentang alotnya kasus M.Kace dan  simpatiknya masyarakat terhadap perubahan sikap ektrem Ustad Yahya Waloni. 

 

Panggung hiburan bentukan seniman kalah seru, bahkan tampaknya tersisih oleh  panggung diluar itu. Yaitu panggung yang menyerempet pelanggaran. Patut di apresiasi bahwa masyarakat mayoritas  muslim di Indonesia cukup bijak dalam bereaksi, terhadap pelaku pelanggaran.   Masyarakat sangat menghargai peran para tokoh dan  penerintah, hingga banyak kasus bisa  dianggap tuntas  setelah pemuka agama turun tangan atau ditangani penegak hukum. 

Reaksi spontan masyarakat,  terhadap pernyataan mentri agama saat ini, sungguh dakhsyat. Karena anjing itu barang najis. Walau  penanganan  bisingnya suara, akibat arah pengeras suara,  punya makna positif. Karena dibalik itikad baik ini, ada kemelut menyangkut delik hukum. Akibat pernyataan yang kontroversi, keliru dalam memilih kata-kata, dan perbandingan.  

Nilai positif dari reaksi masyarakat tentang peristiwa ini. Munculnya kreativitas nilai seni. Kreasi seni saat ini, membanjiri medsos dengan berbagai   share video lucu menyudutkan menteri agama. Peristiwa ini, telah banyak melahirkan konten menarik dan cukup mengobati luka umat seakidah. Ramainya konten video menyindir mentri agama di medsos setara dengan saat Giring Ganesya kakinya terperosok di lumpur. Kisah pelantun lagu "Laskar Pelangi" di depan stadion yang dalam proses pembangunan. Giring tampak habis-habisan di bully kreativitas seni. Medsos  begitu ramai dengan parodi yang menghibur rakyat, yang membuat gerah pelaku ricuh.

Tentang perbandingan suara adzan dan suara hewan, mengapa lebih dakhsyat dari peristiwa viralnya Giring terperosok di lumpur?  Karena suara adzan itu merupakan nilai religi. Kita ambil saja nilai positif yang ditimbulkannya. Untuk kemelut menteri  agama banyak kisah menghibur. Tak terhitung deretan video lucu, dan share ceramah berbagai ustad.  Menyindir Yaqut Cholil Qoumas atau dikenal sebagai Gus Yaqut. Mentri dan politikus Indonesia ini, memang sering menuai kontroversi sejak jadi politisi. Tambah jadi sorotan sejak  menjadi Menteri Agama di Kabinet Indonesia Maju. Tepatnya sejak 23 Desember 2020. 

Nilai positif kontroversi pembenahan arah toa, mengingatkan kita pada peristiwa Gusdur saat mengungkapkan "Assalamu alaikum"  perlu diganti dengan "selamat pagi" atau "selamat malam." Akibatnya sejak saat itu, pekik salam bernilai religi mewarnai kehidupan. Bahkan sejak saat itu ucapan salam bernilai religi membanjiri berbagai arena jagat hiburan dan rapat dinas. Ucapan salam bernilai religi, mengukuhkan budaya salam di Indonesia. Maka kisruh arah toa untuk suara Adzan,  kini layak  jadi bidang kajian yang mendalam. Kita ambil nilai positifnya bagi NKRI.

Pengaturan yang dibidik sesungguhnya hanya pada arah toa mesjid. Bukan pada larangan suara adzan. Tidak se ektrim pemerintah Turki yang sempat mengganti adzan dengan bahasa daerah setempat, hingga mengorbankan banyak nyawa melayang. Pak mentri agama hanya kurang tepat memilih kata dalam sebuah ilustrasi. Fatalnya menyandingkan suara syahdu adzan dengan suara hewan yang kotorannya menajiskan. Terlalu kontras, terkesan melecehkan.  Sebaiknya segera meminta maaf saja.

Sebenarnya masyarakat  merasa bosan, dengan pernyataan kontroversi beliau sejak belum jadi mentri. Bahkan banyak individu yang apatis terhadap banyak hal, menyangkut ungkapkan beliau itu. Masyarakat ada yang tak mau menghiraukan ucapannya.  Tapi kali ini tidak demikian adanya. Desakan  masyarakat itu, tampaknya patut di apresiasi sebagai puncak amarah. Semoga hal ini jadi bahan kajian untuk semua pihak. Agar hati-hati memilih kata-kata. Semoga menjadi khikmah. Penulis yakin jika mentri agama secara individu segera minta maaf, insyaallah akan cepat mereda. Karena bangsa ini sangat pemaaf. Apalagi sama-sama satu akidah.

Tentang masyarakat muslim pemaaf, kita tengok, khikmah dari kontroversi berita heboh Neil Amstrong yang turun di bulan, berhasil meluluhkan Rusia dalam perang dingin. Reaksi penolakan, menuduh kisah turun di bulan sebagai berita hoax itu, melibatkan peran umat muslim penduduk mayoritas Indonesia. Walau  kini ada bukti analisa  rasional pada video Neil Amstrong, menyangkut; semak di permukaan bulan yang tertangkap kamera, langit warna hitam tanpa bintang, bayangan yang menyebar ke berbagai arah, dan sebagainya. Pro dan kontra tiada berkesudahan. Menjadi ranah kajian ilmu pengetahuan. Tapi rakyat Indonesia mulai memaafkan Neil Amstrong  walaupun diduga penyebar hoax. Kapan masyarakat memaafkan ? Yaitu sejak berita heboh"mendengar suara adzan di bulan." Padahal diduga  berita itupun hoax juga. Karena Neil Amstrong menolak undangan MUI saat itu.

Rakyat indonesia itu pemaaf, dan mudah di redam. Namun jika ada yang mengulang hal yang sama kisah lama bisa muncul lagi. Dan selalu menghubung-hubungkan. Kontroversi pernyataan suara seruling, sudah lenyap. Tentang kidung sudah sunyi.  Tatkala muncul pernyataan merdunya suara adzan disandingkan dengan bisingnya suara anjing, menyegarkan ulang memori lama. Menghubungkan sosok-sosok pelakunya yang sesungguhnya tidak ada hubungan. Karena peristiwanya juga berbeda. Namun memiliki persamaan, yaitu membuat panas perasaan banyak orang.  Yang sudah tertidurpun bangun lagi.  Karena pernyataan saat ini,  datang dari individu dengan status nomor satu, di kementrian agama. Niatnya baik namun jika salah memilih kata-kata, beginilah akibatnya.

Jika ingin mengkritisi suara adzan dengan toa, kan lebih bijak membandingkannya dengan adzan yang menggunakan sound di Masjidil Haram. Dilokasi kiblat umat Islam ini, sound hanya di arahkan ke dalam mesjid. Tidak mengarah ke bagian luar mesjid. Mungkin reaksinya akan lebih positif. Walau akar budaya Indonesia tetap mendampinginya. Lebih bijak jika merangkul budaya setempat.

Perlu dipahami, di Indonesia itu ada budaya kentongan dan bedug sejak dahulu. Kini digantikan dengan toa. Sehingga kentongan dan bedug menghilang seiring waktu. Menghilangnya dengan cara damai, karena sesuai hukum alam. Tradisi kentongan dan beduk yang melegenda saja bisa hilang secara perlahan. Lebih elok, jika mentri agama menerapkan cara-cara bijak seperti ini. Berdamai dengan hukum alam. Mungkin melalui  koordinasi lintas mentri.

Seharusnya mentri pariwisata, segera mengambil alih, dengan cara yang lebih rasionil dan meningkatkan nilai budaya. Di giring ke ranah pariwisata. Dengan harapan bersama agar perekonomian rakyat membaik. Tentu saja, dengan mengangkat budaya lama demikian, istilah "bid'ah" akan jadi bidang kajian baru. Namun membumi. 

Panggilan salat dengan toa diarahkan ke luar lokasi mesjid, di daerah terpencil bisa dikembalikan ke budaya lama. Setiap mesjid punya bedug dan kentongan. Jika hal ini jadi sebuah regulasi akan tampak lebih manusiawi. Ketimbang  membuat pernyataan suara adzan disandingkan dengan suara hewan. Adzan itu produk budaya kelas tinggi yang bernilai religi. 

Dengan bekerjasama lintas mentri. Lewat koordinasi untuk pengembangan pariwisata dan industri. Produk UMKM menjadi terbantu. Ketimbang menebar isu sensitif. Dengan kentongan dan bedug, pengrajin kulit dan pemahat kayu bisa hidup. Remaja berkumpul di mesjid bermain dengan alat hiburan ini. Maka dunia fotografi dan wisatawan akan fokus ke Indonesia.

Mengapa suara adzan jadi sorotan? Sedangkan suara kelakson bis telolet sempat jadi bahan hiburan.  Reaksi masyarakat terhadap klakson bis antar kota dengan suara "telolet"jadi bahan berita unik dan menarik walau berisik. Reaksi masyarakat itu sesungguhnya bisa di analisa. Bukan hanya sekedar isu berisik. Tapi diduga ada makna lain.

Semua ini bisa jadi bahan kajian  dari hal menyangkut nilai kefanatikan penduduk, dari reaksi spontan yang normal, perbandingan pro dan kontra, hingga batas waktu durasi reaksi bisa bertahan. Hal ini bisa jadi bahan riset untuk kokohnya NKRI.

Jika suatu peristiwa heboh itu di tutup dengan berita lain. Melalui kisah bentukan yang sengaja dibuat, tentu harus setara daya hebohnya. Bisa dikaji, durasi  reaksinya dan tensi. Bagaimana kontroversi suara panggilan salat bisa diredam? Sehingga rakyat menjadi tenang. Seperti damainya provinsi DKI saat ini. 

Walau kontroversi bisa ditutup dengan isu baru. Namun berapa banyak isu baru bisa dibutuhkan untuk menghilangkan jejak kontroversi itu, hingga kisruhnya bisa tenggelam, dst. Minta maaf adalah jalan termudah dan murah. Solusi lanjutannya  koordinasi dengan budayawan dan dinas pariwisata, seperti dalam uraian di atas.

Biarkan kontroversi pernyataan mentri agama itu menggelinding ke ranah kajian dan hukum.  Untuk bidang kajian positifnya, dapat digelembungkan. bisa dikaji dari suara adzan 5 kali waktu salat disandingkan dengan rotasi putaran bola dunia. 

Adzan dhuhur jam 12.00 itu, bersamaan dengan  jejak bayangan  tubuh. Setiap bayangan tubuh terinjak kaki diterik matahari maka di daerah itu suara adzan dhuhur serempak berbunyi. Dan hal ini terus berulang selama bumi berputar mengitari matahari. Apakah suara anjing juga seperti itu?

Suara anjing dan suara bis telolet tidak akan seirama dengan putaran bumi.  Suara adzan itu  tiada henti, selalu seirama dengan putaran bumi. Kajian ini sudah lama muncul sejak penemuan bola dunia berputar. Dan bergemanya suara adzan mengitari bola dunia, bisa diangkat ulang sesuai kontroversi yang berkembang saat ini(DN)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun