Mohon tunggu...
Dr. Dedi Nurhadiat
Dr. Dedi Nurhadiat Mohon Tunggu... Dosen - Penulis buku pelajaran KTK dan Seni Budaya di PT.Grasindo, dan BPK Penabur

Manajemen Pendidikan UNJ tahun 2013. Pendidikan Seni Rupa IKIP Bandung lulus tahun 1986. Menjabat sebagai direktur media SATUGURU sejak tahun 2021 hingga sekarang. Aktif di Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) sejak tahun 2020. Menjabat sebagai kepala sekolah di beberapa SMA sejak Tahun 2009 hingga sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Anak Guru Kok Nakal? (Kepala Sekolah Harus Peduli)

30 Desember 2021   15:39 Diperbarui: 7 Februari 2022   07:46 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak semua anak guru nakal,  justru banyak yang sukses. Namun tidak bisa dipungkiri bagi pasangan yang keduanya mengejar karier, hal demikian sering terjadi. Bukan hanya di keluarga guru saja. Namun jika hal ini terjadi di keluarga guru, tentu akan menjadi sorotan tajam.


Dalam tulisan ini, akan membahas topik pentingnya Day Care di sekitar kantor khususnya sekolah. Mengapa harus di sekolah. Karena guru selalu jadi sorotan.

Day Care atau sering disebut juga sebagai Taman Penitipan Anak (TPA), sudah biasa ditemukan di kota-kota besar. Peranan TPA sangat penting bagi pasangan suami istri yang super sibuk. Karena masa depan anak itu tergantung lingkungannya.

Sesuai dengan yang tertulis pada Pedoman Teknik Penyelenggaraan Taman Penitipan Anak.   Salah satu bentuk adalah PAUD pada jalur nonformal (PAUD nonformal) sebagai wahana kesejahteraan yang berfungsi sebagai pengganti keluarga untuk jangka waktu selama orangtuanya sibuk bekerja.

Walau di masyarakat perkotaan, penitipan anak demikian itu, banyak dikelola secara profesional. Ironisnya hal demikian tidak banyak  terjadi di dunia pendidikan kita. Bahkan seringnya  dianggap urusan keluarga masing-masing guru saja.

Seandainya ada manajemen sekolah yang memperhatikan keluarga guru, hingga menyentuh masalah Day Care. 

Keluarga guru SMA2 Cikarang Barat dengan anaknya (koleksi)
Keluarga guru SMA2 Cikarang Barat dengan anaknya (koleksi)
Ini merupakan bagian dari kesejahteraan. Karena kesejahteraan itu bukan hanya masalah material belaka.

Banyak masalah kesejahteraan guru itu dinilai dengan nilai ekonomi  seperti menaikan nominal  berupa; menaikan upah, tunjangan hari raya, atau tunjangan sertifikasi. Padahal banyak hal lain seperti;  Day Care, akses memasukan anak kandungnya ke sekolah kedinasan, ruangan kantor ber AC, dst. Jadi tidak semata-mata berupa nominal belaka.

Kita ambil contoh, banyak sekolah kedinasan didominasi oleh organisasi tertentu di luar sepengetahuan  organisasi keguruan. Sehingga anak guru tidak memiliki akses informasi yang akurat ke arah itu. Informasi  patut diduga dikuasai sebagian masyarakat yang punya akses.

Semua guru bangga anak didiknya diterima diperguruan tinggi favorite. Termasuk di berbagai lembaga pendidikan kedinasan. Namun informasi pendidikan kedinasan dimikian sangat tertutup untuk para guru. Sementara orangtua siswa tertentu lebih paham tentang hal itu.

Dengan adanya Day Care diharapkan kesejahteraan guru itu tidak lagi fokus ke pinansial semata. Bisa merambah ke banyak hal yang membuat nyaman para guru. Terutama yang memiliki anak balita. Dengan demikian terjadi kompetisi sehat di masyarakat luas. Pada akhirnya, dapat mengangkat citra anak guru bisa lebih terhormat, dan layak ditauladani.

Anak guru tidak boleh  ada yang gagal apalagi nakal. Namun untuk menuju ke arah itu, perlu ada manajemen khusus yang melindunginya.  Apakah organisasi PGRI, MKKS, AKSI, MGBK,  dst; berpikir sejauh itu? Tentu saja jawabnya tidak.

Selama ini, sangat ironis, guru dipacu untuk mencerdaskan anak didiknya, dengan iming-iming sertifikasi guru. Padahal  untuk mendapatkan hal itu, tidak mudah. Belum juga semua guru mendapat tunjangan, tapi dari lembaga lain sudah menaikan  kesejahteraan. Dasarnya perhitungan gaji guru ditambah tunjangan sertifikasi. Alasan usulannya agar berimbang dengan gaji guru ditambah sertifikasi.

Untuk itu, para guru jangan bangga ketika ada usulan kesejahteraan demikian. Sebab tidak jarang hal itu untuk kepentingan lain. Diantaranya sebagai patokan kesejahteraan dunia diluar guru. Mereka berjuang untuk guru, padahal patut diduga hanya jembatan untuk kesejahteraan para pejuang semu. Walau banyak juga yang berjuangnya begitu ikhlas untuk kesejahteraan guru. Realita di lapangan, bagi guru untuk mendapatkan kesejahteraan itu, sangat melelahkan.

Untuk itu, perjuangan kali ini jangan fokus ke masalah pinansial, tapi ada kesejahteraan lain yang terlupakan. Termasuk penyediaan Day Care untuk para guru yang memiliki anak balita. Jika kelak ditiru organisasi lain, tentu tidak akan ada kecemburuan. Justru untuk masa depan anak bangsa pada umumnya.

Begitu juga masalah sekolah kedinasan yang banyak didominasi oleh organisasi diluar guru. Guru sekolah TK, SD, SMP, SMA, SMK  seolah-olah hanya diperankan sebagai pendidik dan pengajar saja. Anak kandung para guru, tidak memiliki akses khusus ke perguruan tinggi yang mengelola kedinasan. Ini adalah masalah kesejahteraan lain yang perlu diperjuangkan (DN).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun