Penafsir menurut Gadamer tidak menghadapi objek tafsirannya dalam posisi seorang pengamat yang bebas nilai. Penafsiran selalu membawa horison ekspetasi-keyakinan dan praktek, konsep dan norma-yang berasal dari dunia kehidupannya. Dia selalu melihat objek tafsirannya dari perspektif yang dibuka oleh horison yang menyelimutinya. Seorang penafsir feminis-liberal dengan ulama ortodoks pasti memiliki pemaknaan yang berbeda atas satu ayat suci tentang hubungan lelaki-perempuan. Namun, apakah lalu Gadamer terjebak dalam relativisme yang dikritisinya sendiri? Tentu saja tidak. Penafsir, setelah menyelami secara lebih mendalam teks yang dikajinya, mengalami gegar semiotis. Semakin jelas baginya bahwa sebagian konsepsi dan keyakinannya tidak bisa serta-merta diterapkan pada teks yang berasal dari permainan bahasa berbeda. Sebuah penafsiran yang baik harus selalu terbuka pada perbedaan kultural dan tidak memaksakan konsepsi, keyakinan, atau ideologinya pada makna teks.
Keterbukaan penafsir pada teks yang dikajinya lambat laun menyibakkan horison yang menyelimuti diri penafsir. Dengan kata lain, penafsiran berakhir pada eksplitasi ontologism (permainan bahasa). Struktur prejudis-prasangka yang tadinya tersembunyi semakin lama semakin jelas setelah penafsir terbentur dengan keasingan teks yang dihadapinya. Hermeneutika Gadamer, sebab itu, pertama-tama bukan persoalan epistemologis (bagaimana memahami makna teks) melainkan ontologis (ketersingkapan horison yang merupakan cara berada penafsir). Gadamer kemudian memperkenalkan konsep "fusi horison" dalam tradisi hermeneutika filosofis. "Fusi horison" adalah peleburan horison penafsir dan teks guna melahirkan makna baru. Hermeneutika bukan mereproduksi makna historis sebuah teks melainkan sebuah aktivitas produksi. Dalam "fusi horison" penafsir mengkonseptualisasi teks sedemikian rupa sehingga keasingan tetap terjaga sekaligus dibawa ke dalam relasi keterpahaman dengan dunia kehidupannya sendiri.
Penafsiran, sebab itu, bergerak secara melingkar. Bertolak dari teks sebagaimana tertangkap oleh struktur prejudis penafsir. Kemudian, teks yang bersangkutan lambat laun resisten dan menghasilkan eksplitasi ontologis (permainan bahasa) sang penafsir. Nah, bertolak dari kesadaran itulah fusi horison berlangsung. Hasil dari peleburan dua permainan bahasa adalah rentang pemaknaan baru.
Makna teks tidak terlepas dari peristiwa dan interpretasi yang mengikutinya. Kita tidak pernah berhadapan dengan makna asali. Makna teks adalah agregat sedimentasi pemaknaan yang terus muncul dari retrospektif baru. Makna teks pada prinsipnya tak selesai, ia terbuka bagi interpretasi-interpretasi dari perspektif yang akan datang. Pergerakan sejarah dan situasi sang penafsir menghasilkan aspek maknawi baru dan pembacaan baru warisan klasik.
Habermas memandang kritik Gadamer sebagai gugatan keras bagi historisisme. Historisisme adalah keimanan pada perkembangan sejarah kesadaran yang mematahkan kuasa tradisi sekali untuk selamanya. Lahirnya masyarakat industri adalah konfirmasi empiris terhadap klaim historisisme. Industrialisasi menunjukkan bahwa masyarakat modern bukan lagi kelanjutan masa lalu. Masa depan masyarakat modern sekarang dapat direkayasa dan dirancang secara teknis. Sebagaimana realitas fisik, realitas sosial sekarang terbuka bagi kendali rasionalitas-bertujuan yang berbasis pada sains.
Sebagaimana dikemukakan Gadamer, Habermas juga menganggap ilusif gagasan tentang masyarakat yang sepenuhnya terlepas dari sejarah. Dalam tataran teoretis, ia juga menolak klaim a-historis ilmu-ilmu sosial. Bahwasannya ilmu sosial bisa bebas dari kebertalian dengan konteks atau situasi historis. Konsep-konsep seperti urbanisasi, birokratisasi, industrialisasi, peran, dan reference group, misalnya, harus dipahami dalam konteks kesejarahan masyarakat industri sekarang.
Kepentingan di balik hermeneutika adalah kepentingan dialogis antar-budaya baik dalam lempeng sejarah yang sama maupun berbeda. Orientasi pendekatan hermeneutis bukan pada pengamatan berjarak melainkan partnership dalam dialog. Atau apa yang disebut Habermas sebagai kepentingan perluasan intersubjektivitas. Muaranya adalah inklusivisme.
Karena kita tidak memonopoli kebenaran dan kebaikan (merujuk pada ketertanaman kita pada permainan bahasa yang kontigen sifatnya), maka kita harus mempertahankan keterbukaan pada keyakinan dan nilai dari budaya yang berbeda. Dengan kata lain, kita harus siap belajar dari budaya yang berbeda.
Habermas mendukung garis-garis besar pemikiran Gadamer tentang pendekatan hermeneutika yang nonobjektifis. Namun, ia memiliki keberatan mendasar terhadap implikasi konservatif dari pendekatan Gadamer apalagi bila dikaitkan dengan dimensi emansipatoris ilmu-ilmu sosial. Penafsiran bagi Gadamer tidak bisa melepaskan diri dari tradisi. Penafsiran adalah preservasi tradisi guna dileburkan dengan horison teks yang bermuara pada pemaknaan baru. Gadamer menurut Habermas hanya sampai pada kesadaran tradisi tapi tidak mengajukan metodologi untuk mengkritisinya. Tradisi bagi Habermas tidak pernah netral, ia adalah konstruk sejarah yang ditopang oleh permainan kuasa dan ideologi. Di sini Habermas masih menyimpan asumsi-asumsi Marxian tentang sejarah. Gadamer hanya memikirkan bagaimana dialog antar tradisi dimungkinkan namun tidak memikirkan relasi kritis antara penafsir dan tradisi yang menyelimutinya. Dengan kata lain, logika verstehen Gadamer tidak memberi tempat bagi kritik ideologi. Refleksi kritis, menurut Habermas, harus mempertanyakan keabsahan tradisi. Refleksi menyibak otoritas yang mana gramatika suatu permainan bahasa dimutlakkan sebagai satu-satunya undang-undang untuk menafsirkan kenyataan dan bertindak sesuai dengannya. Dengan kata lain, hermeneutika harus bersikap kritis dengan membongkar distorsi-distorsi yang melandasi tradisi.
Habermas mengajukan keberatan yang mendasar terhadap pelbagai gagasan metodologis ilmu sosial yang mereduksi sebuah penelitian sosial pada eksplikasi makna. Makna baik subjektif maupun intersubjektif bagi Habermas harus selalu dilihat sebagai proses komunikasi yang rentan bagi distorsi ideologis. Makna yang tertanam dalam satu budaya tertentu ditentukan oleh ranah nonlinguistik seperti kerja sosial dan dominasi politik. Meski keduanya tak bisa dilepaskan dari bahasa, namun mereka tidak ditentukan oleh bingkai signifikasi. Justru perubahan pada modus produksi atau sistem relasi kuasa-lah yang menentukan perubahan pada pola-pola penafsiran. Kita ambil contoh perbedaan konsep tentang tanah di abad pertengahan dan modern. "Tanah" di abad pertengahan yang berporos pada sistem ekonomi feodalistis berarti simbol kehormatan dan status. Sedangkan "tanah" di periode modern yang kapitalistis berarti modal. Pergeseran itu mengandaikan adanya pergeseran modus dan relasi produksi. Modus produksi feodalistis yang statis-tradisional berganti dengan modus produksi kapitalistis yang progresif-modern. Perubahan modus produksi tersebut melahirkan relasi kuasa baru antara pemilik modal dengan buruh yang menggantikan relasi feodal antara para lord dan serf.
Habermas mau mengatakan bahwa tradisi pemaknaan yang meliputi kita ditopang oleh relasi kuasa dan modus produksi tertentu. Apabila kita tidak membongkar sistem kuasa yang menopang pemaknaan lewat sebuah kritik ideologi, kita belumlah tuntas memahami sebuah sistem makna yang diwarisi tradisi. Sebuah tradisi pemaknaan menurut Habermas tidak cukup hanya dijadikan jembatan untuk peleburan horison melainkan juga dijadikan sasaran refleksi kritis. Dengan kata lain, Habermas menuntut dimasukkannya kritik ideologi dalam proses penafsiran. Sesuatu yang menurutnya belum diadopsi sempurna dalam hermeneutika ontologi Gadamer.