MARIO Teguh dalam facebook pernah menulis, “Sering wanita itu aneh; mengabaikan laki-laki yang ingin membahagiakannya, dan bertarung untuk mengejar laki-laki yang akan membuatnya menangis. Dan jika mereka dikecewakan, mereka menyalahkan semua laki-laki sebagai pemberi harapan palsu sebagai makhluk yang tak mampu setia”.
Apa yang ditulis Mario Teguh ini tidak salah namun tidak juga wanita pada umumnya seperti gambaran Mario Teguh ini. Tapi yang menarik dari pernyataan Mario Teguh ini bahwa status ini banyak disukai para facebookers, ada ribuan yang setuju dengan komentar Mario Teguh, termasuk saya. Dan pastinya dari sekian ribu yang sepakat dengan Mario Teguh memiliki alasan masing-masing tentang sikap dan prilaku wanita yang seperti itu.
Catatan kali ini saya tekankan bukan pada prilaku wanita yang “mengabaikan laki-laki yang ingin membahagiakannya, dan bertarung untuk mengejar laki-laki yang akan membuatnya menangis” tapi pada orientasi apa dibalik prilaku wanita yang seperti itu kepada laki-laki. Tentunya sudah jadi pemahaman umum kalau wanita diidentikkan sebagai pribadi dengan perasaannya yang dominan, berbeda dengan laki-laki yang rasionya dominan. Suatu pemahaman wajar yang justru setelah dikaji kembali bukan menjadi pemahaman yang benar tapi justru berpotensi sesat bahwa antara laki-laki dan perempuan bukan subjek yang dipolarisasi antara rasio dan perasaan, karena rasio dan perasaan bernilai sama dalam diri laki-laki dan wanita. Polarisasi itu muncul justru karena orientasi masyarakat yang mempolarisasi antara laki-laki dan perempuan. Pada titik inilah sebagai langkah awal saya memulai catatan ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dinamika masyarakat sangat menentukan keberadaan entitas dan identitas yang berada pada dinamika masyarakat itu. Keberadaan masyarakat secara tidak langsung telah memolakan entitas yaitu segenap peran, tugas, hak, kewajiban, status yang terbangun dan tersusun. Keberadaan identitas adalah pribadi-pribadi yang berinteraksi kesemuanya akan tertuju pada hubungan sehat yaitu adanya partisipasi aktif produktif atas segala peran, tugas, hak, kewajiban, status bagi siapapun dan dalam bentuk apapun. Disini masyarakat dibangun atas landscape struktur yang dilingkupi oleh suprastruktur yaitu hubungan produksi dan sumber-sumber produksi.
Pada titik suprastuktur masyarakat ini akan terlihat kecendrungan bahwa tidak selamanya partisipasi dapat bernuansa sehat, ketika aspek produksi telah memolakan masyarakat menjadi objek konsumsi maka yang ada bukan partisipasi melainkan mobilisasi dan ketundukkan. Masyarakat melihat dirinya tidak lagi subjek yang bertindak melainkan komponen-komponen hidup sebagai lahan jual-beli atas sekian barang-barang produksi. Identitas manusia menjadi sama dengan benda-benda sehingga tidak aneh bila identifikasi diri seseorang menjadi sama dengan barang-barang. Tak ada keunikan selain keseragaman yang terlihat dari tampilnya individu anonim yang satu sama lain bersaing untuk menjadi paling tenar dengan koleksi barang-barang yang dimiliki, dan yang paling suci (soleh) dengan tampilan maupun kegiatan-kegiatan karikatif yang dilakukan. Karena hasil akhirnya tidak mengubah nalar maupun menjadikan orang itu dapat berpikir luas dan holistik, yang sering muncul justru picik, sempit, dan merasa paling benar (fanatik ilusif).
Realitas masyarakat yang seperti itu kemudian dijabarkan Erich Fromm sebagai pribadi-pribadi yang lahir dari masyarakat yang sakit. Dimana satu ciri dari masyarakat sakit adalah proyeksi pembenarannya yaitu jenis argumentasi yang menjustifikasi suatu mekanisme tertentu yang disebut kebenaran tapi sebenarnya menyembunyikan banyak manipulasi dan ketidak-masuk-akalan atas seluruh tatanan sosial yang terbentuk. Fromm menterjemahkan proyeksi pembenaran ini sebagai mekanisme melarikan diri dari kebebasan. Menurut Fromm ciri orang yang mentalnya sehat adalah orang yang mampu bekerja produktif sesuai dengan tuntunan refleksi sebagai output kemandirian berpikir-bernalarnya atas lingkungan sosialnya yang perlu diubah, serta mampu berpartisipasi dalam kehidupan yang dipenuhi akalsehat. Berbeda dengan ciri orang yang mentalnya sakit maka produktifitas kerjanya berada dalam logika tuntutan-tuntutan dengan beragam rasionalisasi (kadang membawa-bawa nama Tuhan padahal lebih didorong kepentingan subjektif) serta cenderung establish (tidak mau berubah) dan banyak dipengaruhi oleh sudutpandang senang-tidak senang, dekat-tidak dekat, serta selalu percaya hal-hal irrasionalitas atas kehendak manusia yaitu konspirasi-konspirasinya, dan dominasi-hegemoniknya. Pribadi bermental sakit ini bertendensi suka mempersusah diri dan atau menyakiti dirinya sendiri walaupun telah belajar hingga jenjang pendidikan tinggi.
Secara lebih khusus Fromm menguraikan 3 bentuk pelarian diri manusia terhadap kebebasannya [escape from Freedom], yaitu :
- Seseorang lari dari kebebasannya yang merupakan hak-nya dengan cara meluruhkan diri pada orang lain menjadi follower yang terlihat dari munculnya manusia-manusia seragam-anonim yang minus kepribadian. Ini terjadi dengan 2 cara : Pertama dengan takluk pada kekuasaan orang lain berbentuk gaya hidupnya, pengaruh dan otoritasnya, citra dan fantasinya, yang membuatnya pasif dan tunduk. Kedua, menjadi bagian dari upaya untuk menundukkan orang lain. Fromm mengatakan bahwa bentuk paling ekstrem dari model lari dari kebebasan seperti ini adalah Masokhisme dan Sadisme. Masokhis adalah tindakan menyakiti diri sendiri sebagai suatu kenikmatan seperti setia bertahan untuk dipukuli bersama seseorang demi pembuktian cinta, tindik tubuh atas nama gaya hidup dan seni; sadisme adalah upaya memberi sakit pada orang lain diluar batas kewajaran sebagai bentuk loyalitas pada sesuatu yang dianggap berharga. Menurut Fromm kedua sifat ini membuat orang dikuasai oleh keinginannya untuk memainkan peranan yang aneh dan berbeda dengan orang lain.
- Seseorang yang lari dari kebebasannya dengan cara memahami dirinya dengan mengecilkan arti penderitaan bahkan meniadakan diri mereka sendiri. Penderitaan ini adalah upaya mengikatkan diri kepada sesuatu hal yang dianggap penting, dan suci. Menyediakan diri untuk dikekang dan diikat bersama rasionalisasi-rasionalisasinya. Fromm menambahkan bahwa kalau keinginan seseorang dirusak untuk menghalangi keadaan sekelilingnya, dia akan mengarahkan keinginan ini ke dalam, kepada dirinya sendiri. Bentuk paling ekstrem dari menyakiti diri sendiri ini adalah bunuh diri (ada beberapa ajaran agama yang mensahkan bunuh diri sebagai pembuktian ketaatan, kepatuhan, dan loyalitas pada ajaran agama tersebut) tapi bentuk lain juga ada, serta beragam seperti seseorang yang mengalami ketergantungan pada narkoba, alkohol, tergantung pada barang-barang dan sifat konsumtif (hedonis), tergantung pada kekuatan dan kepercayaan diri yang berlebihan (megalomania) sampai pada keinginan selalu pasif dengan membenarkan diri (apatis).
- Cara ketiga ini adalah imbangan horizontal dari otoritarianisme yang bersifat vertical, yaitu seseorang yang lari dari kebebasan dengan cara bersembunyi dibalik hierarki kekuasaan yang otoriter, disebut juga konformitas otomaton. Orang yang menggunakan konformitas otomaton ini persis seperti bunglon. Dia akan berubah sesuai dengan warna yang ada disekelilingnya. Keberadaan “hakiki” manusia adalah kebebasan, maka bentuk-bentuk pelarian dari kebebasan ini memencilkan kepribadiannya dari dirinya sendiri. Maksud Fromm disini adalah kebebasan yang betul-betul bersifat pribadi, bukan kebebasan politik (yang sering disebut “kemerdekaan”). Sebagai contoh, orang mengidap sadisme seksual (masokhisme seksual), seperti gay, lesbian, eksibisionis, orang seperti ini adalah orang yang memiliki persoalan psikologis sehingga mempengaruhi perilaku seksualnya.
Usaha-usaha manusia yang berorientasi lari dari kebebasannya ini tidak saja dikondisikan oleh masyarakat yang sakit tapi keluarga sebagai organisasi terkecil masyarakat ikut berkontribusi bagi terciptanya orientasi mental seseorang untuk membenci kebebasan dengan lari dari kebebasannya. Fromm menunjukan dua jenis keluarga yang cenderung mendidik anak-anaknya menjadi seseorang dengan kepribadian yang demikian, antara lain :
1. Keluarga-keluarga simbiotik
Dalam keluarga simbiotik [Simbiosis adalah hubungan dua makhluk hidup di mana keberadaan yang satu menentukan keberadaan yang lain] beberapa anggota keluarga “dikuasai” oleh anggota keluarga yang lain. Contoh yang paling jelas orang tua yang “menguasai” anaknya, sehingga kepribadian anak tumbuh menjadi bayangan keinginan orang tua. Dalam masyarakat tradisional hal ini biasa terjadi terutama pada diri anak-anak perempuan. Tapi ada pula anak yang menguasai orang tua, dalam kasus ini, anak mendominasi atau memanipulasi orang tua yang keberadaannya hanya melayani keinginan anaknya.
2. Keluarga yang acuh tak acuh
Ciri keluarga ini adalah pengabaian yang dingin, kalau bukan kebencian yang dingin. Jenis keluarga yang “dingin” ini adalah bentuk pertama dari dua bentuk keluarga yang acuh tak acuh dalam peradaban manusia. Dalam keluarga ini, tuntunan orang tua kepada anak-anaknya sangat kuat, mereka diharapkan mampu meraih standar penghidupan yang lebih baik. Hukuman yang diberikan apabila anak berbuat salah dilaksanakan dengan “darah dingin” yang dijatuhkan “demi kebaikanmu sendiri”. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga ini sangat terdorong bahkan cenderung bernafsu untuk meraih kesuksesan sebagaimana yang diinginkan budaya yang membesarkan mereka. Bentuk kedua dari keluarga acuh tak acuh adalah keluarga modern. Perubahan cara pandang tentang bagaimana mengasuh anak telah membuat para orang tua tidak mau lagi menjatuhkan hukuman fisik dan perasaan bersalah kepada anak-anak mereka yang bersalah. Cara ini ditukar dengan gagasan yang lebih baru, yakni dengan menjadikan anak-anak setara dengan orang tua, seorang ayah menjadi “sahabat” anaknya. Atau seorang ibu menjadi “teman curhat” anaknya. Tapi masalahnya adalah ketika mereka mengontrol emosi anak-anak, orang tua cenderung tidak terlalu tanggap. Dalam keluarga seperti ini anak-anak tumbuh tanpa tuntunan orang tua mereka. Mereka memperoleh nilai-nilai yang diperlukan untuk tumbuh dewasa dari teman-teman atau dari media massa. Lari dari keluarga sangat kentara dalam keluarga ini, yaitu konformitas otomaton. Keluarga semacam inilah yang sangat dicemaskan Fromm. Menurut Fromm keluarga sangat ideal jika orang tua bertanggung jawab dalam mendidik dan memberdayakan akal pikiran anak-anaknya dalam suasana yang penuh cinta. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga semacam ini mampu memperlihatkan kebebasan mereka dan bertanggung jawab pada diri mereka sendiri serta kepada masyarakat secara keseluruhan.
Dengan demikian kembali kepada apa yang dikatakan Mario Teguh tentang wanita sebetulnya mencerminkan keberadaan wanita itu sendiri sebagai entitas yang hadir dari masyarakat sakit. Problem eksistensialis perempuan yang sejak kecil telah dijauhkan atau dibatasi lingkup hidupnya dari ruang-ruang bebasnya (dengan pembenaran atas nama etika, adat, dan agama) membuat perempuan tidak bisa, dan tidak dibiasakan untuk menyusun konsep kebahagiaannya sendiri, yang terjadi konsep itu tersusun dari dan oleh teman sebaya dalam dinamika pergaulan maupun media massa, selain disusun pihak yang berwenang bisa ortu atau kerabat. Perempuan diposisikan sebagai manusia berharga yang justru karena dinilai berharga ini, perempuan dijauhkan dari hak pribadinya untuk bebas dan tidak diberi kepercayaan kalau perempuan memiliki kehendak baik dalam dirinya berupa tanggungjawab. Sehingga tidak aneh bila kemudian melihat seorang perempuan yang bertarung, mengejar laki-laki yang akan membuatnya menangis, dan mengabaikan laki-laki yang ingin membahagiakannya, karena pada sisi pembentukan logika berpikir perempuan kebahagiaan merupakan sesuatu yang asing hingga mesti diperjuangkan kalau perlu dengan mengorbankan dirinya untuk disakiti laki-laki (suatu potensi eksistensialis masokhis). Maklum perempuan hadir tidak dari ruang hampa tapi dari sekian dinamika masyarakat yang terlihat santun, rapi, harmonis dan agamis, tapi ironisnya justru sakit secara watak dan karakternya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI